Tidak dapat dipungkiri, hampir semua sektor kehidupan bernegara terganggu oleh pandemi COVID-19, termasuk pendidikan. Ancaman hilangnya satu generasi karena proses pendidikan tidak dapat diselenggarakan akibat pandemi bukan isapan jempol belaka. Pandemi memaksa siapapun, siap atau tidak, untuk beralih dengan cepat dari aktivitas lapangan ke pendekatan virtual. Bagi lembaga pendidikan yang sudah ditopang oleh teknologi informasi, mereka mudah beradaptasi. Tapi, sebagian besar tempat belajar generasi awal dan muda kita tidak memilikinya.
Setelah lebih dari dua tahun mengalami pandemi Covid-19, performa pemerintah dalam menangani pandemi masih belum memuaskan. Beberapa masalah serius yang mengemuka dalam penanganan pandemi tersebut antara lain, ketidaksinkronan data penerima jaring pengaman sosial seperti bansos, pengadaan almatkes yang diduga kuat menguntungkan kelompok yang terafiliasi dengan pejabat publik, keterlambatan pembayaran insentif tenaga kesehatan, hingga pengalokasian anggaran yang terfokus pada penyelamatan perekonomian.
Pemberian efek jera kepada pelaku korupsi tidak cukup hanya dengan mengandalkan pemidanaan penjara semata. Sistem antikorupsi harus mulai menitikberatkan kepada perampasan aset hasil kejahatan. Konsep ini dapat mengakomodir tujuan pemidanaan pada era modern, yakni keadilan bagi korban (restorative justice), bukan lagi fokus pada pembalasan semata (retributive justice). Sehingga, penanganan perkara korupsi tidak cukup dengan menghukum pelaku, namun mesti melihat aspek pemulihan terhadap korban, salah satunya negara dan masyarakat dalam konteks perekonomian atau keuangan.
Upaya perlindungan terhadap pelapor tindak pidana korupsi kembali menjadi sorotan. Pada akhir tahun 2021, Nurhayati (Bendahara Keuangan di Desa Citemu, Cirebon, Jawa Barat) ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian Resor (Polres) Cirebon setelah dirinya melaporkan dugaan tindak pidana korupsi Dana Desa tahun anggaran 2018-2020 yang dilakukan oleh Kepala Desa Citemu. Pemolisian Nurhayati ini akan menjadi preseden buruk bagi peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi.
Masa depan pemberantasan korupsi menemui jalan terjal. Betapa tidak, sesumbar yang selama ini diucapkan oleh pemerintah untuk membantah pelemahan terhadap agenda pemberantasan korupsi belum terbukti. Alih-alih meningkat signifikan, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia hanya bertambah satu poin, dari 37 menjadi 38. Hal ini setidaknya menjadi pertanda bahwa pemberantasan korupsi selama masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo berjalan di tempat.
Pemberantasan korupsi semakin berada di titik nadir. Segala narasi penguatan yang kerap disampaikan oleh pemerintah dan DPR terbukti hanya ilusi semata.
Realita penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi, mengalami kemunduran pada tahun 2020 lalu. Buronan korupsi selama sebelas tahun, Joko S Tjandra, diketahui menyuap sejumlah pihak agar terbebas dari proses hukum, salah satunya Jaksa Pinangki Sirna Malasari.
Pemberantasan korupsi kian mendekati titik nadir. Fenomena state capture, dimana cabang-cabang kekuasaan negara semakin terintegrasi dengan kekuatan oligarki untuk menguasai sumber daya publik dengan cara-cara korup dan kemampuan untuk meruntuhkan sistem penegakan hukum terjadi di berbagai bidang.
Pemberantasan korupsi kembali berada di titik nadir. Betapa tidak, regulasi yang dianggap pro terhadap pemberantasan korupsi seperti Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 (PP 99/2012) malah dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA). Dari sini, masyarakat dapat melihat bahwa lembaga kekuasaan kehakiman tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi. Pada masa mendatang, akibat putusan MA ini, narapidana korupsi akan semakin mudah untuk mendapatkan pengurangan hukuman.