Menuju 2024, demokrasi elektoral Indonesia masih dibayang-bayangi oleh calon wakil rakyat yang memiliki rekam jejak buruk. Sebab, meskipun baru-baru ini Mahkamah Konstitusi (MK) telah melarang mantan terpidana korupsi maju sebagai calon anggota DPRD dan DPR RI, namun pembatasan ini belum berlaku bagi pencalonan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Berkat kekosongan hukum tersebut, mantan terpidana yang memiliki niat untuk menjadi calon anggota DPD dapat langsung mendaftarkan diri tanpa ada pembatasan berarti.
Gembar gembor narasi penguatan pemberantasan korupsi yang digaungkan oleh Presiden Joko Widodo tak pernah terbukti. Alih-alih membaik, nasib pemberantasan korupsi justru kian mundur belakangan waktu terakhir. Indeks Persepsi Korupsi tahun 2022 yang baru saja dilansir oleh Transparency International Indonesia (TII), menunjukan skor Indonesia anjlok empat poin yaitu dari 38 menjadi 34. Tak cukup itu, peringkat Indonesia pun terjun bebas, dari 96 menjadi 110.
Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) tahun ini layak disikapi dengan rasa berkabung atas runtuhnya komitmen negara dan robohnya harapan masyarakat. Setelah menggempur habis-habisan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui revisi regulasi kelembagaan, ditambah mengobral remisi dan pembebasan bersyarat kepada para koruptor, kali ini hukuman kepada pelaku korupsi pun berhasil dipangkas melalui pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tak kurang sudah 176 kepala daerah tersandung permasalahan hukum. Terakhir dan saat ini sedang ramai dibincangkan masyarakat adalah Gubernur Papua, Lukas Enembe. Bagaimana tidak, di balik dugaan gratifikasi Rp 1 miliar yang disangka KPK ternyata turut ditemukan adanya aliran dana tak wajar yang mencapai setengah triliun rupiah. Jika kemudian tudingan dan temuan KPK terbukti, maka Lukas bisa dianggap kepala daerah paling korup sepanjang sejarah.
Alih-alih mendorong efektifitas efek jera bagi pelaku korupsi, melalui Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pemerintah justru kian melemahkannya. Setelah mempreteli habis-habisan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu, kali ini pelemahan sistematis terhadap penegakan hukum pemberantasan korupsi tertuang dalam naskah RKUHP.
Penegakan etik di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menuai sorotan. Penetapan Dewan Pengawas pada hari ini telah menggugurkan sidang dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Lili Pintauli Siregar patut dipertanyakan. Dalam keterangan persnya, Dewan Pengawas memandang Lili bukan lagi insan KPK, karena pengunduran dirinya telah mendapat persetujuan Presiden Joko Widodo melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 71/P/2022. Akibatnya, proses sidang etik tidak dapat dilanjutkan.
Penindakan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi tak lebih dari sekadar retorik, penuh kontroversi, dan tumpul. Kesimpulan ini bukan analisa kosong, melainkan berdasarkan sejumlah temuan Indonesia Corruption Watch, satu diantaranya menyangkut kegagalan meringkus buronan mantan calon anggota legislatif asal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Harun Masiku. Bagaimana tidak, terhitung sejak ditetapkan sebagai tersangka, 900 hari pencarian telah berlalu tanpa menghasilkan temuan signifikan.
Komitmen Mahkamah Agung (MA) dalam mendukung upaya pemberantasan korupsi kembali dipertanyakan. Hal ini menyoal penolakan kasasi yang diajukan penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas vonis bebas Samin Tan pada tingkat pertama. Alhasil putusan Samin Tan pun telah berkekuatan hukum tetap dengan dasar pertimbangan ganjil, yakni, tidak terbukti memberikan suap kepada mantan anggota DPR RI, Eni Maulani Saragih.
"Tim penyusun Amicus Curiae yang terdiri dari, ELSAM, FITRA, ICW, dan Febri Diansyah menyerahkan Amicus Curiae pada hari ini, Jumat 10 Juni 2022, ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Palangkaraya dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi atas nama Willem Hengki, Kepala Desa Kinipan"
Kotak Pandora perihal nasib Brotoseno akhirnya terbongkar. Alih-alih diberhentikan, eks Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi itu justru kembali bekerja di Polri. Ironisnya, Brotoseno telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan praktik korupsi dan dikenakan hukuman selama lima tahun penjara. Kembalinya yang bersangkutan sebagai anggota Kepolisian aktif menjelaskan semangat anti-korupsi yang sangat buruk di institusi Polri.