Pola-Pola Korupsi di Perguruan Tinggi
ABSTRAK
Institusi Perguruan Tinggi saat ini tercoreng karena praktek korupsi. Perguruan Tinggi yang dikenal dengan Tri Dharma ini telah menjadi lahan bagi suburnya praktik korupsi. Beberapa kalangan bahkan menilai korupsi di Perguruan Tinggi sebagai suatu kejahatan kerah putih (white collar crime) karena dilakukan oleh orang-orang terdidik dan terpelajar.
Dalam pantauan Indonesia Corruption Watch terdapat sedikitnya 37 kasus dugaan korupsi di Perguruan Tinggi yang telah dan sedang diproses oleh institusi penegak hukum maupun pengawas internal. Jumlah kerugian keuangan negara yang ditimbulkan mencapai Rp 218,804 miliar dan nilai suap mencapai sekitar Rp 1,78 miliar. Pada sisi aktor, pelaku korupsi di Perguruan Tinggi merupakan civitas akademika, pegawai pemerintah daerah dan pihak swasta. ICW melakukan pemetaan sedikitnya 12 (dua belas) Pola Korupsi di Perguruan Tinggi antara lain Korupsi dalam pengadaan barang dan jasa; Korupsi dana pendidikan atau Corporate Social Responsibility (CSR); Korupsi anggaran internal Perguruan Tinggi; Korupsi dana penelitian; Korupsi dana beasiswa mahasiswa; Korupsi penjualan asset milik Perguruan Tinggi; Suap dalam penerimaan mahasiswa baru; Suap dalam pemilihan pejabat di internal Perguruan Tinggi; Suap atau “jual beli” nilai; Suap terkait akreditasi (Program Studi atau Perguruan Tinggi); Korupsi dana SPP mahasiwa; dan Gratifikasi mahasiswa kepada Dosen.
Komisi Pemberantasan Korupsi menyebutkan ada empat faktor penyebab permasalahan dalam pengelolaan anggaran pendidikan termasuk yang terjadi di Perguruan Tinggi, yaitu lemahnya pengendalian internal, lemahnya sistem administrasi (data tidak andal), adanya kekosongan pengawasan, dan lemahnya pengawasan publik atau sosial. Dimana keempat faktor ini berkontribusi dalam potensi terjadi korupsi di Perguruan Tinggi.
Dampak korupsi di sektor pendidikan tidak hanya pada penghabisan atau merugikan uang negara, namun lebih luas dari pada itu, korupsi di sektor pendidikan – dalam hal ini termasuk Perguruan Tinggi – akan merusak kredibilitas penyelenggara pendidikan sebab korupsi terjadi sejalan dengan fungsi yang dijalankan oleh Perguruan Tinggi.
Tercemarnya nama baik Perguruan Tinggi karena pratek korupsi sudah selayaknya harus diperbaiki. Oleh karenanya diperlukan suatu usaha sistematis untuk mencari jalan keluar dalam memperbaiki citra Perguruan Tinggi dimata publik. Perguruan Tinggi harus dikembalikan sebagai tempat pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat yang bebas dari korupsi serta penghasil orang-orang yang berbudi luhur bukan penghasil para koruptor.
Penerapan kurikulum antikorupsi tidak cukup untuk mencegah terjadinya korupsi di Perguruan Tinggi. Sebab kurikulum antikorupsi hanya berakhir sampai ruang kelas antara mahasiswa dengan dosen pengajarnya. Namun tidak mempengaruhi cara pengelolaan Perguruan Tinggi itu sendiri. Oleh karena itu, pencegah korupsi harus mencakup perbaikan tata kelola yang sistematis. Prinsip ini mencakup aspek transparansi, partisipasi dan akuntabilitas sebuah lembaga. Selain itu perlu juga dibangun zona antikorupsi (zero tolerance) di Perguruan Tinggi untuk mencegah merebaknya praktik korupsi yang dilakukan civitas akademika.
Siti Juliantari Rachman dan Emerson Yuntho
Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch