Tren Vonis Kasus Korupsi 2023

Sumber foto: ICW
Sumber foto: ICW

Pengistilahan korupsi dengan berbagai bentuk seperti extraordinary crime, serious crime, hingga white collar crime menggambarkan betapa buruknya praktik kejahatan ini. Bukan sekadar karena dilakukan oleh pejabat publik, akan tetapi dampak yang dirasakan korban (masyarakat) telah secara langsung menyentuh segala lini kehidupan, baik perekonomian, sosial, maupun hak asasi manusia. Oleh sebab itu, baik struktur, substansi, maupun kultur hukum harus mengambil peran untuk dapat menutup celah korupsi dan menindak pelakunya. Namun, keinginan semacam itu sulit terwujud di tengah permasalahan penegakan hukum yang semakin melemah dan berpihak pada pelaku kejahatan. 

Dukungan pemangku kepentingan dan sinergitas memberantas korupsi antara aparat penegak hukum juga memburuk. Misalnya saja, dukungan berupa legislasi yang berkualitas dari pemerintah dan DPR tak terlihat selama sepuluh tahun terakhir. Bukannya mengundangkan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset, Rancangan Undang-Undang Pembatasan Transaksi Uang Kartal, atau merevisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pembentuk regulasi malah mengubah Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Undang-Undang Pemasyarakatan, dan mengesahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Baru. Akhirnya, praktik korupsi yang merugikan keuangan negara dengan jumlah besar mengalami hambatan dalam konteks pemulihan, praktik suap-menyuap merajalela, KPK makin melemah, terpidana korupsi mendapat banyak kemudahan, dan hukuman ringan bagi pelaku diprediksi marak ke depan. 

Penyimpangan arah politik hukum ini tidak bisa dilepaskan dari faktor kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Padahal, dalam beleid Nawacita (janji politik dalam Pemilihan Umum tahun 2014) tertuang secara jelas bahwa penegakan hukum akan diperkuat dengan basis nilai-nilai antikorupsi. Lagipun tunggakan legislasi yang memperkuat pemberantasan korupsi itu bukan hal baru lagi, mungkin sudah lebih dari sepuluh tahun lalu digaungkan. Apalagi, paket regulasi-regulasi di atas bukan tuntutan masyarakat semata, akan tetapi turut disuarakan oleh aparat penegak hukum. Sebab, aturan terkini belum cukup ampuh menjadi obat mujarab untuk menghentikan laju kejahatan korupsi. 

Begitu pula terjadi pada muara penegakan hukum, yakni, proses persidangan bagi para terdakwa korupsi. Seringkali hukuman yang dijatuhkan majelis hakim tidak mencerminkan keadilan, khususnya bagi korban, baik negara maupun masyarakat. Gambaran pidana pokok, penjara dan denda, terbilang sangat ringan. Selain itu, hukuman tambahan seperti uang pengganti dan pencabutan hak tertentu juga tidak menggambarkan dampak kejahatan korupsi. Akibatnya, praktik korupsi terus berulang, kerugian negara membengkak, dan kinerja aparat penegak hukum lain (Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK) menjadi tak berarti. Keseriusan menjaga komitmen antikorupsi dan keberpihakan pada korban semakin layak dipertanyakan kepada lembaga kekuasaan kehakiman. 

Proses hukum yang dijalankan oleh negara, mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan proses persidangan selayaknya mengedepankan konteks penjeraan bagi pelaku. Penjaraan di sini bukan berarti mengesampingkan pendekatan pidana modern seperti restoratif atau pemulihan, akan tetapi memanfaatkan semaksimal mungkin substansi hukum yang ada untuk mencegah berulangnya tindak pidana. Oleh sebab itu, mendorong aparat penegak hukum untuk menggunakan delik pencucian uang, memaksimalkan penelusuran aset hasil kejahatan, memanfaatkan aturan pidana tambahan uang pengganti, dan menghukum berat pelaku diyakini menjadi salah satu cara untuk menguatkan penegakan hukum pemberantasan korupsi. 

Berkenaan dengan ulasan di atas, setiap tahun Indonesia Corruption Watch selalu melansir kepada masyarakat hasil temuan dari Tren Vonis. Dokumen ini berisi pemantauan tim terhadap proses persidangan tindak pidana korupsi setiap tahunnya di seluruh pengadilan, baik tingkat pertama, banding, maupun kasasi atau peninjauan kembali. Dalam ulasannya, masyarakat dapat melihat secara terang bagaimana kinerja dua institusi di persidangan, yakni, penuntut umum (Kejaksaan Agung) dan majelis hakim (Mahkamah Agung/MA). Adapun, temuan yang dapat dilihat seperti performa MA dalam menjamin transparansi putusan kepada masyarakat, kinerja kejaksaaan melalui penuntut umum saat menyematkan pasal dakwaan dan tuntutan, dan vonis yang dijatuhkan majelis hakim kepada terdakwa. 

Meskipun itu, sebenarnya temuan setiap tahun belum membawa kabar yang menggembirakan. Ragam keringanan hukuman selalu tampak dihasilkan oleh penuntut umum melalui tuntutan dan majelis hakim terkait vonis akhir. Belum lagi ditambah perekonomian negara yang tak kunjung pulih, bahkan terus menerus merugi akibat kegagalan lembaga kekuasaan kehakiman menjatuhkan pidana tambahan uang pengganti. Semata-mata temuan Tren Vonis ini untuk memberikan gambaran utuh kepada masyarakat tentang penegakan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia. Selain itu juga dapat dijadikan bahan pembelajaran dan evaluasi bagi pemangku kepentingan.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan