Pemerintah Tak Serius Pecat PNS Koruptor
2.357 Pegawai Negeri Sipil (PNS) telah divonis bersalah karena terbukti melakukan korupsi. Namun baru 891 yang diberhentikan secara tidak hormat berdasarkan data Badan Kepegawaian Negara (BKN) per 14 Januari 2019. Masih ada 62 persen PNS yang belum dipecat, sehingga berpotensi menyebabkan kerugian negara akibat gaji yang terus dibayarkan. Oleh sebab itu, proses pemecatan harus segera dilakukan.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turut menyayangkan hal tersebut. Dalam pernyataannya di portal daring Kompas.com pada Minggu (27/01/19), juru bicara KPK Febri Diansyah menilai Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) baik di tingkat pusat maupun daerah tidak mematuhi peraturan perundang-undangan.
Tiga instansi telah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) mengenai keharusan untuk melakukan pemecatan terhadap PNS yang telah dijatuhi hukuman dari pengadilan. SKB tertanggal 13 September 2018 itu diteken oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dan Kepala Badan Kepegawaian Negara. Akan tetapi SKB tersebut seakan-akan diabaikan.
Poin ketiga SKB tersebut menjelaskan bahwa jangka waktu penjatuhan sanksi paling lama bulan Desember 2018. Menteri Dalam Negeri juga kembali menegaskan bahwa pada akhir tahun 2018 persoalan PNS yang terjerat kasus korupsi akan segera diselesaikan. Upaya dan komitmen itu patut diapresiasi, namun pada praktiknya tak berjalan sesuai rencana. Hingga akhir Januari 2019 masih banyak ribuan PNS koruptor yang belum dipecat.
Indonesia Corruption Watch (ICW) melalui mekanisme permintaan informasi yang dijamin oleh UU Keterbukaan Informasi Publik memeroleh data BKN. Data BKN per tanggal 17 September 2018 menunjukkan bahwa terdapat 98 PNS koruptor yang bekerja di Kementerian dan 2.259 PNS koruptor yang bekerja di provinsi, kabupaten, dan kota (data terlampir).
Sementara itu, selama periode 2016 hingga semester I 2018 ICW mencatat ada sebanyak 1.111 PNS ditetapkan sebagai tersangka oleh aparat penegak hukum. Sebagian besar modus yang dilakukan adalah laporan fiktif dan penggelembungan harga dalam proses pengadaan. Hal ini menunjukkan bahwa upaya untuk membenahi birokrasi di Indonesia jauh dari kata sempurna bahkan bisa dikatakan belum berjalan signifikan.
Pemecatan PNS yang telah divonis bersalah karena melakukan korupsi telah diatur sesuai Undang-Undang. Dalam Pasal 87 ayat (4) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU Nomor 5 tahun 2014) dan Pasal 250 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negari Sipil (PP Nomor 11 tahun 2017). Dinyatakan bahwa PNS diberhentikan tidak hormat karena dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau pidana umum.
Sementara itu tanggung jawab untuk memberhentikan PNS diserahkan kepada menteri, pimpinan lembaga, sekretaris jendral dan kepala daerah. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 53 UU Nomor 5 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa PPK dalam hal ini menteri, pimpinan lembaga, sekretaris jendral dan kepala daerah memiliki tanggung jawab untuk melakukan pemberhentian terhadap PNS yang tersangkut kasus hukum.
Lambatnya proses pemecatan PNS koruptor menunjukkan minimnya komitmen pemberantasan korupsi dari instansi-instansi yang berwenang, baik di tingkat pusat maupun daerah. Hal tersebut patut disayangkan mengingat gaji PNS koruptor yang terus dibayarkan berpotensi menimbulkan kerugian negara. Ketidaktegasan dalam proses pemecatan juga akan memberi preseden buruk ke depannya.
Salah satu contohnya yaitu Abd Samad, terpidana kasus korupsi bantuan sosial untuk guru mengaji di Taman Pendidikan Alquran. Ia meminta bantuan sebesar Rp50.000 per-PNS untuk meringankan beban dendanya agar dapat bebas pada akhir Desember 2018 lalu. Permintaan tersebut diakomodir oleh Sekretaris Daerah Kota Batam dengan menandatangani surat yang ditujukkan ke Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dan ditembuskan ke Wali Kota Batam dan Wakil Wali Kota Batam. Hal tersebut menunjukkan bahwa PPK gagal dalam memahami konsep korupsi secara paripurna sehingga kejadian Abd Samad dianggap sebagai upaya jiwa korsa yang keliru.
Oleh sebab itu, Indonesia Corruption Watch mendesak agar:
1. Presiden RI Joko Widodo sebagai pembina PNS tertinggi memerintahkan PPK, dalam hal ini menteri dan kepala daerah untuk segera melakukan proses pemecatan terhadap PNS yang telah divonis bersalah karena melakukan tindak pidana korupsi.
2. PPK, dalam hal ini menteri dan kepala daerah, segera melakukan pemecatan terhadap PNS yang telah divonis bersalah karena melakukan tindak pidana korupsi.
3. Mendesak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI dan/atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk melakukan penghitungan terhadap potensi kerugian negara terkait pemberian gaji PNS koruptor.
Jakarta, 28 Januari 2019
Narahubung
Wana Alamsyah
Egi Primayogha