Apakah Caleg Bali Harus Menjadi Anggota Keluarga Bupati/Walikota Untuk Lolos Kursi Dewan Dalam Pemilu 2024?
Pada pergelaran Pemilu 2024 khusus Pemilihan legislatif (Pileg), para calon legislatif (Caleg) yang bertanding di Provinsi Bali diwarnai oleh calon yang berasal dari keluarga bupati/walikota se-Bali. Penulis mendata setidaknya ada enam caleg yang berasal dari keluarga bupati/walikota yang berada di lima dari sembilan kabupaten/kota di Bali. Para bupati/walikota ini merupakan pejabat publik yang aktif menjabat sampai periode 2024, kecuali Bupati Gianyar yang aktif sampai Oktober 2023. Di Kabupaten Jembrana, ada bupati mengusung anaknya dan wakil bupatinya mengusung istrinya untuk maju nyaleg DPRD Provinsi Bali. Di Kabupaten Karangasem, ada bupati yang mengusung dua anaknya di pos strategis yaitu DPRD Kabupaten Karangasem dan DPRD Provinsi Bali. Ada Bupati Badung mengusung anaknya di DPRD Kabupaten Badung, ada Bupati Gianyar yang mengusung anaknya dan ada Walikota Denpasar yang mengusung adiknya untuk maju nyaleg DPRD Provinsi Bali. Fenomena ini lazim kita kenal sebagai fenomena “Politik Dinasti” di Pileg Bali.
Mengapa Partai Politik Memilih Mereka?
Hasil penelusuran beberapa berita mengenai pencalonan para caleg politik dinasti ini, penulis menemukan bahwa partai politik memilih mereka karena Pertama, alasan untuk memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan dalam Undang-Undang 7 Tahun 2017 (UU Pemilu); Kedua, alasan untuk memelihara patron-klien atau bahasa sederhananya memelihara loyalis para pendukung bupati/walikota; Ketiga, alasan narasi formalitas bahwa anak/istri/kerabat bupati/walikota ikut nyaleg karena berasal dari kata hati mereka untuk mengabdi kepada masyarakat. Persoalan keterwakilan perempuan, partai politik di Bali mempunyai strategi untuk mengusung anak perempuan ataupun istri pejabat publik (bupati/walikota) untuk mengisi kekosongan kuota perempuan guna mendulang suara dalam Pileg 2024. Partai politik juga bersikap pragmatis dengan mengizinkan keluarga pejabat publik ini, untuk ikut nyaleg dengan memelihara pendukungnya demi keuntungan suara bagi partai politik supaya menang dalam Pileg maupun Pilpres 2024.
Pragmatisme partai politik juga didukung oleh kurangnya pendidikan politik masyarakat Bali. Menjelang pemilihan pada 14 Februari, penulis bertanya-tanya kepada sejumlah warga di Kabupaten Jembrana, Kabupaten Gianyar, dan Kota Denpasar, Kenapa mereka memilih caleg politik dinasti tersebut? Alasan mereka bermacam-macam antara lain para caleg keluarga bupati/walikota ini sudah terkenal dan populer di masyarakat lewat promosi dari keluarganya (ayahnya), masyarakat merasa berhutang budi kepada tokoh bupati/walikota karena sudah mengabdi kepada daerah dan menyejahterakan masyarakat sehingga mereka memilih anak atau keluarganya, dan masyarakat minim informasi mengenai calon-calon yang berkompetisi dalam Pemilu 2024.
Problematika Caleg Politik Dinasti
Hasil Pileg 2024 ini sungguh mengagetkan masyarakat Bali pasalnya caleg keluarga bupati/walikota ini sebagian besar lolos ke parlemen DPRD Provinsi maupun Kabupaten. Para caleg dari pendatang baru maupun petahana pun menjadi kalah saing dengan Caleg “Politik Dinasti” Bali ini. Salah satu dari mereka mendapatkan suara tertinggi yaitu Putu Diah Pradnya Maharani yaitu caleh muda akan berusia 22 tahun itu mendapatkan 132 ribu suara pemilih. Diah Maharani merupakan anak dari Made Agus Mahayastra yang merupakan Bupati Gianyar Periode 2018-2023. Penulis mengamati media sosial dan melakukan observasi langsung terkait kampanye Diah Maharani ini cukup unik, karena setiap berkunjung ke banyak banjar atau desa-desa di Kabupaten Gianyar itu dia selalu didampingi oleh ayahnya itu sendiri. Hal tersebut dapat dijelaskan dalam Teori Politik yaitu Kapital Sosial dimana seseorang atau Caleg Politik Dinasti tersebut mendapatkan keuntungan dari reputasi, jaringan, dan sumber daya yang dibangun oleh orang tua mereka yang merupakan pejabat publik. Kapital sosial ini dapat memberikan pembangunan kapital simbolik karena nama besar keluarga bupati/walikota tersebut dapat meningkatkan kepercayaan dan legitimasi politik, sehingga garis dan hubungan keluarga dapat berperan signifikan untuk mempertahankan dan memperluas pengaruh politik.
Ketika para caleg politik dinasti terpilih menjadi anggota dewan, justru permasalahan baru akan segera dimulai dalam perpolitikan daerah Bali. Kita mengenal sistem politik bernama Trias Politika sebagai sistem untuk check and balances antar lembaga pemerintah seperti lembaga legislatif dengan lembaga eksekutif supaya tidak terjadi kesewenang-wenangan kekuasaan yang dapat merugikan masyarakat. Permasalahannya adalah para bupati/walikota se-Bali sudah mempunyai taktik cerdik supaya memuluskan rencana proyek/kebijakan mereka dengan memasukkan anggota keluarga mereka ke pos-pos strategis DPRD Kabupaten/Kota maupun Provinsi. Harapannya anak/adiknya dapat melobi anggota dewan lainnya supaya meloloskan proyek/kebijakan tersebut sehingga mengurangi mekanisme pengawasan di DPRD Kabupaten/Kota maupun Provinsi. Penulis berharap masyarakat Bali dapat mengawasi kinerja para caleg Politik Dinasti ini dan kritis juga terhadap tindakan-tindakan kebijakan yang dibuat oleh bupati/walikota masing-masing kabupaten/kota se-Bali.**
Penulis,
Teja Wijaya
Mahasiswa Hukum Universitas Terbuka
*Artikel Sayembara Opini Antikorupsi 2024