Pelajar dan Politik Uang dalam Pemilu
Pemilu 2024. Bagi pelajar, terutama kelas dua belas menggunakan hak pilih merupakan pengalaman pertama mereka mencoblos. Sayangnya, pemilu yang seharusnya diselenggarakan dengan adil, jujur, bebas, dan rahasia diwarnai politik uang. Politik uang menghancurkan harapan, peserta didik menjadi warga negara yang menggunakan hak pilih dengan cerdas.
Politik uang yang jelas-jelas melanggar hukum dan pada mulanya dianggap memalukan, sudah dianggap legal. Banyak kiai dan pemuka agama bukan hanya menyarankan untuk menggunakan politik uang untuk meraih kemenangan, juga sering terlibat dan melibatkan diri dalam politik uang. Para pelajar tanpa dosa menceritakan bahwa mereka menerima politik uang.
Salah seorang, guru di sekolah menengah atas di Lebak-Banten bercerita; muridnya, yang punya hak pilih menerima amplop berisi uang. Rata-rata mereka mendapat sampai empat amplop, isinya Rp 30 ribu, Rp 50 ribu, dan Rp 80 ribu, Rp 100 ribu. Begitu pun dengan murid-murid saya, banyak diantara mereka mengaku menerima uang, untuk memilih calon anggota dewan pada pemilu 2024. Pelajar, menjadi bagian tak terpisahkan dari praktek politik uang menjadi kabar buruk.
Pelajar yang menggunakan hak pilih jelas menunjukan tingkat pendidikan yang lebih baik, bandingkan misalnya, rerata tingkat pendidikan masyarakat Indonesia yang baru mencapai tingkat sekolah menengah pertama. Menunjukan, tingkat pendidikan tidak terlalu berpengaruh terhadap politik uang. Pemilu mestinya bertambah baik, namun dari pemilu ke pemilu politik uang terus meningkat.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan praktek politik uang salah satu bentuk suap, dan lebih ngeri lagi dianggap bisa menjadi induknya korupsi. Pemimpin yang lahir dari bagi-bagi uang, kemungkinan besar lebih memikirkan mengembalikan modal dengan berbagai cara; menerima suap, gratifikasi, atau korupsi yang lainnya.
Penelitian Burhanuddin Muhtadi (2019) dalam Buku Kuasa Uang; Politik Uang dalam Pemilu Pasca-Orde Baru, menggambarkan pada pemilu 2009 legislatif hanya 11,2 persen responden yang menjadi target pembelian suara, meningkat menjadi 29 persen pada April 2014.
Bercermin pada penelitian Burhanuddin, kemungkinan besar praktik politik uang pada pemilu 2024 lebih besar dan luas, baik pengaruh maupun dampaknya. Hampir semua calon yang kalah, termasuk pada pemilu 2024 terlepas dari kekecewaan atas hasil pemilu, mengatakan uang yang mereka keluarkan lebih sedikit. Menunjukan, kuasa uang begitu berpengaruh untuk menjadi pemimpin.
Apapun reformasi pemilu yang dilakukan, menurut Burhanudin Muhtadi, strategi politik uang akan semakin merajalela, jika tidak ada penegakan hukum. Mengingat tingginya permintaan pemilih terhadap politik uang, perlu pendidikan sistematis kepada pemilih. KPU, Bawaslu, media massa, dan LSM harus bersinergi untuk melakukan pendidikan politik.
Sekolah dan Pendidikan Politik
Sekolah mengajarkan nilai-nilai baik yang ada di tengah masyarakat dan pendidikan berusaha memperbaiki nilai-nilai yang kurang baik dan atau buruk yang ada di tengah-tengah masyarakat.
James Arthur dalam H.A.R Tilaar (2015) menyatakan sekolah harus mempromosikan pengertian terhadap kebaikan bersama. Peserta didik menjadi sadar politik dan sadar akan hak dan kewajibannya sebagai anggota masyarakat yang berpolitik. Dalam kurikulum diajarkan life skill politik dan life skill sosial. Life skill politik, antara lain kemampuan untuk menyampaikan pendapat sendiri, berbagi pendapat dengan yang lain dan mengambil keputusan bersama. Peserta didik mulai belajar hidup demokrasi di lingkungan sekolah.
Selama ini, sekolah telah mengajarkan tentang pemilu sebagai instrumen demokrasi kepada peserta didik. Demokrasi, melalui pemilu dianggap sebagai sistem yang lebih baik untuk memilih pemimpin. Peserta didik telah diajarkan kelemahan dan kelebihan penyelenggaraan pemilu di Indonesia.
Peserta didik juga mempelajari nilai dan prinsip demokrasi. Pemilu sebagai prosedur dimana warga negara memilih pemimpin mereka. Pemilu juga dianggap sebagai kontrol kekuasaan. Selain pembelajaran reguler, pendidikan politik di sekolah pada Kurikulum Merdeka, masuk ke dalam Pembelajaran Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) tema Suara Demokrasi.
Pendidikan politik di sekolah juga dilakukan dalam kegiatan ekstrakurikuler, seperti melalui kegiatan OSIS terutama saat pemilihan Ketua OSIS bukan hanya sekedar memilih ketua baru kepemimpinan siswa, namun juga bagaimana praktek memilih pemimpin dilakukan dalam lingkup sekolah. Pendidikan politik untuk peserta didik, juga sering dilakukan oleh KPU dan Bawaslu, biasanya dibungkus dengan kegiatan sosialisasi pemilu untuk pemilih pemula.
Lemahnya peserta didik menangkal virus politik uang, terlepas menyebar uang ketika pemilu sudah dianggap legal oleh masyarakat, menunjukan pendidikan di sekolah telah gagal membentuk warga negara yang cerdas dalam bidang politik. Sebab itu, sekolah perlu meninjau ulang bagaimana proses pendidikan politik, lebih umum pendidikan kewarganegaraan pada peserta didik.
Apakah ada yang salah dengan pendidikan politik yang dilakukan di sekolah? Apakah materi pelajaran yang diberikan terlalu teori sehingga bersifat pengetahuan semata untuk pelajar, belum bisa merubah sikap dan keinginan mereka untuk bertindak memperbaiki keadaan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat?
Politik uang, yang terjadi ditengah-tengah masyarakat pada pemilu harus dibawa ke ruang kelas. Mendiskusikan permasalahan tersebut bersama peserta didik. Mengajak peserta didik untuk berpikir secara kritis pengaruh dan dampak politik uang, bagi sistem demokrasi dan perjalanan Bangsa Indonesia. Bujukan moral yang terjadi dalam praktek politik uang, harus ditebalkan bahwa konsekuensinya, terlalu besar bagi lahirnya pemimpin yang dibayangkan dari sistem pemilu.
KPK sudah mengingatkan bahwa politik uang bisa berdampak pada meningkatnya praktek korupsi. Pemimpin yang lahir dari transaksi uang, susah diharapkan membawa kemajuan terhadap kehidupan masyarakat. Politik uang yang begitu terang benderang, telah menempatkan Indonesia sejajar dengan negara terbelakang dalam pelaksanaan demokrasi.
Penutup
Apakah pemilu selanjutnya, dan atau proses pemilihan pemimpin di tingkat desa, politik uang akan semakin meningkat? Gejalanya sudah tampak. Seberapa ikhlas kita melihat politik uang, terus akan berlangsung? Sebagai guru, kita harus bergerak, menekan politik uang dengan melakukan pendidikan politik secara kritis kepada peserta didik. Sehingga regenerasi politik uang bisa terputus, paling tidak mengalami penurunan. Kelak, kita berjumpa dengan pemilu tanpa politik uang.
Penulis,
Ginanjar Hambali
Guru SMAN 7 Pandeglang
*Artikel Sayembara Opini Antikorupsi ICW 2024