Partai Politik dan Tindak Pidana Pemilu
Partai politik (parpol) merupakan instrumen penting dalam negara demokrasi karena mempunyai peranan yang sangat strategis dalam proses pemerintahan dengan warga negara. Dalam ilmu perbandingan politik sejak lama para pakar berpendapat bahwa parpol sebetulnya menentukan demokrasi (political parties created democracy). Kajian terhadap parpol menentukan elemen bekerjanya demokrasi, jika parpol dibiarkan bermasalah, sama saja mentoleransi ‘sakitnya demokrasi’.
Kajian terhadap parpol dan pemilu menarik untuk dilakukan karena parpol juga berpotensi melakukan tindak pidana dan menikmati keuntungan dari terjadinya tindak pidana, khususnya pidana pemilu. Ketentuan pidana ini diatur dalam Pasal 488-Pasal 554 UU Pemilu. Rumusan pasal tersebut secara spesifik diformulasikan terhadap parpol (peserta pemilu) sebagai korporasi atau badan hukum, namun hingga saat ini belum ada parpol yang dipidana (kecuali politisi/pengurusnya). Praktik ini dinilai belum cukup mencerminkan nilai-nilai keadilan dalam upaya penyelesaian pelanggaran pidana pemilu di Indonesia.
Tindak Pidana Pemilu
Data penelitian KPK mengungkap bahwa tahun politik merupakan masa dimana rawan terjadi korupsi. Kebutuhan dana politik yang besar mengharuskan para calon dalam pemilu/pilkada membutuhkan dukungan pihak sponsor, yang ujungnya dapat bermuara pada korupsi politik karena bantuan yang diberikan tidak gratis. Terdapat 82,3% calon kepala daerah mengaku dibiayai oleh pihak ketiga dengan imbalan tertentu (Dalilah, 2019).
Dalam beberapa kasus, dana politik yang besar tersebut digunakan untuk aktivitas seperti mahar politik terhadap parpol atau money politics terhadap pemilih, dimana hal itu merupakan bagian dari tindak pidana pemilu. Aktivitas politik ini tentunya melibatkan parpol sebagai peserta atau organ yang berwenang menentukan calon dalam kontestasi politik.
Hingga saat ini belum ada partai politik yang dapat dipidana, walaupun parpol/kadernya terindikasi melakukan tindak pidana pemilu. Pukat UGM menilai bahwa hampir setiap parpol yang memiliki perwakilan sebagai anggota dewan atau pejabat kementerian pada Kabinet Indonesia Bersatu 2009-2014 terlibat dalam tindak pidana korupsi, dengan persentase Demokrat 28,40%, Hanura (23,50%), PDI-P (18,08%), PKS (17,24%), Golkar (16,03%), PKB (14,28%), PPP (13,16%), dan Gerindra (3,85%). Dari jumlah itu, pertanggungjawaban pidana sebagian besar dibebankan kepada pengurusnya (Wangga, 2018).
Dalam tindak pidana pemilu misalnya terjadi manipulasi dana kampanye oleh parpol. ICW (2021) mencontohkan pelaporan dana kampanye parpol dalam pemilu legislatif 2009 hampir semuanya tidak jujur. PKS melaporkan belanja kampanye Rp36,3 miliar, padahal belanja iklan saja Rp74,6 miliar. Laporan kampanye Golkar Rp142,9 miliar, padahal iklannya Rp277,3 miliar. Laporan PAN Rp17,9 miliar, padahal iklannya Rp71,1 miliar. Laporan Hanura Rp1,2 miliar, padahal iklannya Rp44,8 miliar. Laporan PDI-P Rp38,9 miliar, padahal iklannya Rp102,9 miliar (Republika, 2013).
Pada pemilu 2019, ditemukan 8 parpol yang tidak patuh pada aturan dana kampanye serta 9 parpol bermasalah soal identitas penyumbang yang tidak transparan (Hermanto, 2019). Jika merujuk pada Pasal 496 UU Pemilu, parpol yang melakukan manipulasi dana kampanye diancam dengan pidana kurungan satu tahun dan denda Rp 12 juta. Faktanya tidak ada satupun parpol yang berhasil dimintai pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana pemilu tersebut.
Pertanggungjawaban Pidana Parpol
Upaya pertanggungjawaban pidana parpol ditujukan untuk menjamin keadilan pemilu (electoral justice). Sistem keadilan pemilu merupakan instrumen penting untuk menegakkan hukum dan menjamin sepenuhnya penerapan prinsip demokrasi melalui pelaksanaan pemilu yang bebas, adil, dan jujur. Sistem keadilan pemilu dikembangkan untuk mencegah dan mengidentifikasi ketidakberesan pada pemilu, membenahi ketidakberesan tersebut, serta memberikan sanksi kepada pelaku.
Menempatkan parpol sebagai badan hukum dan kemudian mengalamatkan adanya pertanggungjawaban secara pidana senyatanya bukan merupakan isu hukum baru, karena sistem hukum pidana Indonesia telah mengatur pertanggungjawaban pidana parpol kepada korporasi, pengurus, atau pengurus sekaligus korporasinya. Secara de jure posisi pertanggungjawaban pidana korporasi parpol kajiannya sudah selesai, namun secara de facto mengapa kesannya belum ada parpol (sebagai korporasi) yang dapat dipidana.
Kendala dalam mempertanggungjawabkan secara pidana parpol antara lain disebabkan karena adanya pertarungan kepentingan hukum pidana melawan politik, terdapat kecenderungan bahwa parpol akan mendistorsi pengendalian kejahatan dengan membentuk undang-undang yang membatasi tanggung jawab pidana hanya sebatas pada orangnya, adanya indikasi lobi-lobi politik terhadap pimpinan institusi penegak hukum yang membutuhkan dukungan politik sehingga juga dapat berdampak pada penegakan hukum, serta peradilan pidana tidak mempunyai kompetensi untuk membubarkan parpol.
Jika ingin mempertanggungjawabkan partai politik secara pidana, maka perlu adanya perumusan kebijakan hukum pidana sebagai berikut: Pertama, revisi ketentuan undang-undang yang membatasi pertanggungjawaban pidana parpol hanya kepada pengurusnya. Rumusan pasal harus dapat menjangkau siapapun yang melakukan tindak pidana, baik peserta, person, atau badan hukum diluar kepesertaan pemilu yang tidak terdaftar dalam struktur organisasi, namun bekerja dan melakukan tindak pidana atas nama parpol tertentu.
Kedua, perlu batasan dalam penggunaan lex mitius apabila tindak pidana dilakukan oleh parpol. Penerapan ketentuan perundang-undangan yang paling menguntungkan (jika ada perubahan) sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP harus dibatasi dan dikecualikan bagi partai politik. Konteks ini diharapkan dapat membantu proses dalam mempertanggungjawabkan parpol secara pidana apabila melakukan tindak pidana meskipun banyak opsi aturan yang menguntungkan agar mereka terbebas dari jeratan pidana.
Ketiga, penegakan hukum terhadap parpol yang melakukan tindak pidana oleh state independent body. Misalnya dalam tindak pidana pemilu oleh Bawaslu atau bilamana perlu pembentukan lembaga independen baru. Sentra Penegakan Hukum Terpadu yang dikomandoi oleh Bawaslu perlu dioptimalkan dalam penegakan hukum pemilu. Sebagai lembaga negara independen, Bawaslu diharapkan dapat selalu berperan aktif dan tidak pandang bulu jika menemukan indikasi kecurangan pemilu, termasuk oleh parpol.
Keempat, pemberian imunitas hukum kepada penegak hukum yang melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap parpol. Misalnya menambahkan ketentuan ini dalam UU Kepolisian, UU Kejaksaan, atau UU Bawaslu yang menjadi leader dalam upaya penegakan hukum pemilu. Argumentasi dasar gagasan ini bercermin pada kasus penegakan hukum korupsi oleh KPK yang selalu mendapat serangan balik oleh koruptor.
Kelima, pengalihan kompetensi absolut pembubaran parpol dari MK secara terbatas ke peradilan umum dibawah MA. Pertanggungjawaban pidana seyogyanya diproses dalam sistem peradilan pidana. Terhadap parpol tersebut, sanksi yang dapat dijatuhkan tidaklah hanya berupa penghukuman pidana badan (pengurus parpol), tetapi yang relevan ialah dengan sanksi denda atau pembubaran parpol sebagai bagian dari sanksi tindakan yang menjadi kewenangan peradilan umum.
Oleh karena itu, perlu komitmen bersama di eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam menentukan standard of liability terhadap pertanggungjawaban pidana parpol. Jika memang tindak pidana murni dilakukan oleh individu maka pertanggungjawabannya terhadap person, namun jika terbukti melibatkan parpol sebagai badan hukum atau korporasi, maka institusi parpolnya juga harus dimintai pertanggungjawaban pidana.
Penulis,
Irwan Hafid, SH., MH.
Peneliti Pusat Studi Kejahatan Ekonomi Fakultas Hukum UII
*Artikel Sayembara Opini Antikorupsi ICW 2.0