Menyoal Putusan Janggal Pengadilan Negeri Jakarta Pusat: Pembangkangan Konstitusi, Politis, dan Sesat Pikir Argumentasi Hukum
Pemberangusan hak asasi masyarakat dan penyesatan logika pikir hukum diperlihatkan oleh lembaga kekuasaan kehakiman. Tak main-main, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat secara serampangan dan ugal-ugalan menganulir mandat konstitusi, tepatnya Pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945, berkaitan dengan masa waktu pemilihan umum. Betapa tidak, melalui Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst, majelis hakim mengatakan bahwa tahapan pemilihan umum tahun 2024 yang sudah berjalan harus dihentikan dan diulang dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari. Putusan ini bukan lagi keliru substansinya, namun amat kental dengan nuansa politis.
Adagium hukum yang menyebutkan Res Judicata Pro Veritate Habetur (putusan hakim harus dianggap benar) tentu sangat sulit diimplementasikan dalam putusan ini. Sebab, hasil akhir persidangan ini telah merobek rasa keadilan masyarakat dan merusak tatanan hukum di Indonesia. Indonesia Corruption Watch (ICW) memberikan sejumlah catatan, baik dari aspek hukum maupun analisa politik, terhadap putusan tersebut.
Pertama, secara terang benderang PN Jakarta Pusat tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan gugatan perdata yang dilayangkan Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA). Sebab, yurisdiksi hukum yang tepat memproses tuntutan Partai PRIMA adalah Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Argumentasi ini bukan tanpa dasar, jika dirunut, dalam persidangan Partai PRIMA mempersoalkan dua produk hukum KPU RI, Berita Acara tentang Rekapitulasi Hasil Verifikasi Administrasi Partai Politik Calon Peserta Pemilu yang menjadikan calon peserta Pemilu tersebut gagal melewati tahapan verifikasi administrasi. Atas konteks itu, maka berdasarkan Pasal 466 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 (UU Pemilu), konteks permasalahan hukum Partai PRIMA masuk pada kategori Sengketa Proses Pemilu. Oleh karenanya, merujuk pada Pasal 468 dan Pasal 470 UU Pemilu, yurisdiksi hukum bukan PN, melainkan Bawaslu dan PTUN.
Ditambah lagi rentang waktu Oktober sampai dengan Desember tahun 2022, Partai PRIMA diketahui sempat mengajukan Sengketa Proses Pemilu kepada Bawaslu lalu PTUN dan keduanya ditolak. Atas dasar itu, berpijak pada keterbatasan ruang upaya hukum yang disebut dalam UU Pemilu, maka seharusnya putusan terakhir pada PTUN dianggap final dan mengikat. Berbagai upaya hukum yang ditempuh oleh Partai PRIMA ditambah objek gugatan sama tentu menggambarkan bahwa mereka menafsirkan permasalahan ini sebagai Sengketa Proses Pemilu. Maka dari itu, menjadi tak masuk akal jika diteruskan kepada lembaga yang tidak diberikan kewenangan untuk menyidangkan, yaitu PN Jakarta Pusat.
Penting diingat bahwa Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 (PerMA 2/2019) telah menyusun Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melawan Hukum oleh Badan/Pejabat Pemerintahan. Aturan di dalam Pasal 2 ayat (1) PerMA 2019 semestinya sudah menggugurkan segala argumentasi PN Jakarta Pusat berkaitan dengan gugatan perdata yang diajukan Partai PRIMA. Sebab, ketentuan itu menyebutkan perkara perbuatan melawan hukum oleh Badan/Pejabat Pemerintahan merupakan kewenangan PTUN. Jika dicermati dalam Putusan PN Jakarta Pusat, terlihat jenis gugatan adalah Perbuatan Melawan Hukum dan pihak Tergugat adalah KPU RI. Oleh karena itu, merujuk pada aturan internal MA, pihak yang paling tepat untuk mengakomodir tuntutan Partai PRIMA ialah PTUN.
Kedua, merujuk pada poin 5 putusan PN Jakarta Pusat tergambar jelas adanya perintah dari majelis hakim untuk menunda proses pemilu tahun 2024. Hal ini juga tak berdasar hukum, sebab, berdasarkan Pasal 431 dan Pasal 432 UU Pemilu yang dikenal dan didefinisikan secara rinci hanya Pemilu Lanjutan dan Pemilu Susulan, bukan Penundaan. Itu pun hanya dapat dilakukan jika memenuhi syarat-syarat tertentu, misalnya, kerusuhan, gangguan keamanan, atau bencana alam. Pemilu Susulan maupun Penundaan juga hanya dapat dilakukan di daerah bersangkutan, bukan secara nasional. Ditambah, pihak yang menetapkan Penundaan dalam konteks menjalankan Pemilu Lanjutan dan Pemilu Susulan adalah penyelenggara Pemilu, yakni KPU, bukan PN.
Ketiga, putusan PN Jakarta Pusat sama sekali tidak memenuhi nilai-nilai yang mestinya tercantum dalam produk hukum, yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Misalnya, untuk keadilan, putusan tersebut telah mengorbankan semua pihak, mulai dari penyelenggara, peserta partai politik lain, dan masyarakat. Sedangkan nilai kepastian, majelis hakim justru mengaburkan ketentuan yang harusnya sudah jelas di dalam konstitusi berkaitan dengan masa waktu pemilu. Lalu, pada aspek kemanfaatan, secara sederhana, tidak ada manfaat positif untuk menghentikan seluruh tahapan dan menundanya hingga 2 tahun 4 bulan 7 hari.
Keempat, putusan PN Jakarta Pusat berupaya mengingkari keinginan masyarakat untuk melaksanakan pemilu pada Februari tahun 2024 mendatang. Hal ini bisa dibuktikan dengan sejumlah survei, diantaranya, Charta Politica pada November 2022, Indikator Politik Indonesia pada Desember 2021, dan Litbang Kompas pada Maret 2022. Praktis responden survei dari tiga lembaga itu menginginkan pemilu tepat waktu tahun 2024 di atas 60 persen. Artinya, mayoritas masyarakat berkehendak gelaran pesta demokrasi tetap berlangsung sebagaimana mestinya dan PN Jakarta Pusat berusaha mengubur harapan tersebut.
Kelima, putusan PN Jakarta Pusat disinyalir kuat turut menjadi rangkaian agenda politik sejumlah pihak untuk menunda penyelenggaraan pemilu. Bagaimana tidak, isu penundaan bergulir bukan hanya saat ini saja, melainkan telah digaungkan sejak lama. Tentu masyarakat masih mengingat bagaimana sejumlah pihak sempat mewacanakan hal serupa, mulai dari Luhut Binsar Panjaitan, Zulkifli Hasan, Bahlil Lahadalia, Bambang Soesatyo, Muhaimin Iskandar, dan banyak pihak lainnya. Kalau dilihat dari latar belakang mereka dan konteks putusan PN Jakarta Pusat, maka lengkap sudah seluruh cabang kekuasaan berupaya merenggut hak masyarakat dalam pemilu tahun 2024 mendatang.
Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas, ICW menuntut agar:
- Pengadilan Tinggi DKI Jakarta membatalkan putusan PN Jakarta Pusat dan mengabulkan permohonan banding KPU RI.
- Komisi Yudisial segera memanggil dan memeriksa tiga orang majelis hakim PN Jakarta Pusat yang memerintahkan KPU RI untuk menunda penyelenggaraan Pemilu.
- Komisi Yudisial harus melakukan eksaminasi atas Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst sebagaimana kewenangan tersebut melekat dan tertuang dalam Pasal 42 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.
- Presiden Joko Widodo mendukung upaya KPU RI untuk mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta atas putusan janggal PN Jakarta Pusat.