KKN Meruntuhkan Peradaban Bangsa
Korupsi dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) oleh berbagai negara, termasuk Indonesia, karena sifatnya yang sangat merusak. Ditopang perilaku buruk lainnya kolusi dan nepotisme, populer dengan istilah Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) untuk dihapuskan dalam agenda perjuangan Reformasi 1998.
Memetakan apa yang menjadi akar permasalahan dan faktor-faktor penyebab korupsi untuk pencegahan dan pemberantasan KKN dan mencarikan langkah-langkah perbaikan menjadi penting untuk dilakukan. Karena KKN telah nyata-nyata memiskinkan rakyat, merusak moralitas dan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara dan meruntuhkan peradaban bangsa.
Buruknya Indeks Korupsi
Laporan Transparency International menunjukkan, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tercatat sebesar 34 poin, skala 0-100 pada 2022. Angka ini menurun 4 poin dari tahun sebelumnya. Penurunan IPK ini menjatuhkan urutan IPK Indonesia. Tercatat, IPK Indonesia 2022 menempati peringkat ke-110. Pada 2021, IPK Indonesia di peringkat ke-96. Sedangkan di tahun 2023 skor IPK Indonesia stagnan di angka 34. Sehingga peringkat Indonesia merosot lima tingkat dari 110 menjadi 115.
Faktor-faktor yang menjadi penyebab buruknya skor IPK adalah: lemahnya penegakan hukum, keterlibatan elit politik dalam praktik korupsi yang sulit untuk diungkap dengan adanya budaya impunitas di kalangan pemimpin politik dan kurangnya transparansi dan akuntabilitas.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhan menilai alasan yang turut melemahkan IPK, yakni Presiden Jokowi lebih sibuk cawe-cawe urusan politik ketimbang melakukan pembenahan hukum. Sejumlah regulasi yang diyakini dapat menyokong pemberantasan korupsi, seperti RUU Perampasan Aset, RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal dan revisi UU Pemberantasan Tipikor, tidak dikerjakan.
Presiden Jokowi dinilai telah melepas tanggung jawab terhadap apa yang terjadi di KPK dan buruknya tata kelola di lembaga tersebut. Di samping itu, proyek legislasi yang dihasilkan presiden dan DPR justru mendegradasi pemaknaan korupsi sebagai kejahatan luar biasa ketika mengesahkan Undang-Undang Pemasyarakatan (dihapusnya syarat justice collaborator untuk memperoleh remisi) dan KUHP nasional.
Alasan lainnya, melemahkan komitmen antikorupsi di aparat penegakan hukum. Hal ini setidaknya tergambar dalam kasus yang menimpa Ketua KPK Firli Bahuri dan problema etik yang melanda pegawai KPK secara berjemaah.
Runtuhnya Peradaban Bangsa
Korupsi memiliki dampak yang luas dan serius bagi Indonesia. Pertama, terjadinya kerusakan institusi. Korupsi melemahkan institusi-institusi pemerintah, menghambat pertumbuhan ekonomi dan merugikan rakyat. Kedua, terhambatnya investasi. Korupsi menciptakan ketidakpastian bagi investor, yang akhirnya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Ketiga, terjadi ketidaksetaraan. Korupsi memperdalam kesenjangan sosial dan ekonomi, karena sumber daya dialihkan dari program-program yang mendukung masyarakat miskin ke dalam kantong pribadi elite koruptif. Semua situasi ini akan meruntuhkan peradaban bangsa Indonesia.
Berdasarkan sejarah bangkit dan runtuhnya peradaban, mengikuti ashabiyah yang dikenal dengan teori siklus, sebagaimana yang dikemukakan Ibnu Khaldun dengan karyanya Muqaddimah. Siklus peradaban suatu negara atau bangsa mengikuti tahapan antara lain: Pertama, tahap sukses atau konsolidasi. Kedua, tahap tirani, tahap dimana penguasa berbuat sekehendaknya pada rakyatnya. Ketiga, tahap sejahtera, ketika kedaulatan telah dinikmati. Keempat, tahap kepuasan hati, tentram dan damai. Kelima, tahap hidup boros dan berlebihan. Pada tahap ini, penguasa menjadi perusak warisan pendahulunya, pemuas hawa nafsu dan kesenangan dan negara tinggal menunggu kehancurannya.
Tahapan yang dilewati oleh suatu peradaban sebuah negara bangsa memunculkan tiga generasi, yaitu: Pertama, generasi pembangun. Kedua, generasi penikmat. Ketiga, generasi yang tidak lagi memiliki hubungan emosionil dengan negara. Mereka dapat melakukan apa saja yang mereka sukai tanpa memedulikan nasib negara.
Apakah bangsa Indonesia sudah sampai pada generasi ketiga ini, sehingga keruntuhan negara sebagai sunnatullah sudah di ambang pintu dan menurut Ibnu Khaldun proses ini berlangsung sekitar satu abad.
Langkah Perbaikan
Terdapat dua alasan bangkitnya peradaban Indonesia. Pertama, momentum siklus 7 Abad Peradaban Nusantara. Nusantara pernah mengalami suatu siklus kebangkitan pada abad ke-7 melalui Kerajaan Sriwijaya, setelahnya runtuh. Kemudian abad ke-14, kembali mengalami masa kebangkitan saat Kerajaan Majapahit. Mengikuti teori siklus dan tujuh abad peradaban nusantara, di Abad ke-21 ini Indonesia memiliki momentum kebangkitan. Kedua, momentum bonus demografi. Memasuki Indonesia Emas, 2045. Indonesia menikmati bonus demografi dari 2020 – 2030, dengan puncak bonus demografi pada 2050. Dimana Indonesia memiliki kesempatan mencapai pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya.
Dengan dua momentum itu diperlukan langkah-langkah perbaikan kongkrit dan berkelanjutan. Pertama, Perbaikan sistem. Perlunya orang atau pemimpin yang baik sekaligus sistem yang baik dikemukakan oleh Nurcholish Madjid (1989). Sistem yang baik itu diibaratkan dengan sistem kereta api, bahwa masinis bisa menentukan tetapi tidak bisa berbuat semaunya, masinis tetap berada pada sistem rel dan aturan yang diatur sedemikian rupa.
Sistem yang diperbaiki adalah sistem politik untuk memperbaiki Indeks Demokrasi, dimana versi The Economist Intelligence Unit menempatkan Indonesia masuk kategori flawed democracy (demokrasi cacat), yang berkontribusi terhadap praktik korupsi yang melibatkan politisi dan pejabat. Selanjutnya perbaikan sistem hukum agar terjadi penguatan institusi hukum. Sehingga meningkatkan independensi lembaga penegak hukum, memperkuat sistem peradilan dan memberikan perlindungan kepada para whistleblower. Perbaikan sistem juga diharapkan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan publik, serta memastikan proses pengadaan dan pembangunan berjalan secara terbuka dan adil.
Kedua, pendidikan dan kesadaran masyarakat. Dengan memberikan dorongan bagi tumbuhnya kesadaran masyarakat tentang dampak negatif korupsi dan meningkatkan literasi hukum untuk mendorong partisipasi aktif dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi. Penanaman pendidikan anti korupsi sejak usia dini sangat diperlukan. Bagaimana anak-anak dilatih menjadi generasi yang benar, jujur, adil, taat aturan, berdisiplin, bisa antri, rajin, hemat dan sederhana agar menjadi pembiasaan dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.
Ketiga, menghentikan sekularisme. Nurcholish Madjid, mengartikan sekularisasi sebagai proses sosial politik menuju sekularisme, dengan implikasi paling kuat, ide pemisahan (total) agama dari negara. Dampak menyebabkan agama dan tuhan seperti absen di kantor-kantor pemerintahan. Tuhan tidak pernah diundang untuk perjamuan yang membahas berbagai kebijakan, serta keputusan yang menyangkut hajat hidup rakyat. Karena itu pula terjadi kejahatan jual beli kekuasaan, jual beli jabatan, birokrasi yang panjang, rumit dan tidak melayani dengan hati. Terjadi pula korupsi sebagai kejahatan luar biasa (Extraordinary Crime) di semua lapisan, lintas eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Dengan demikian, data IPK 2024 memberikan peringatan bahwa perjuangan melawan korupsi masih jauh dari selesai. Diperlukan komitmen yang kuat dari para pihak: pemerintah, masyarakat, akademisi, pelaku usaha dan media untuk bersama-sama memerangi korupsi dan membangun negara yang lebih bersih, transparan, dan berkeadilan bagi semua warganya. Bila tidak, sesungguhnya kita sedang menuju reruntuhan peradaban bangsa dan negara.
Penulis
Wahyu Triono
Dosen Administrasi Publik FISIP Universitas Nasional
dan Tenaga Ahli Bupati Kabupaten Kepulauan Anambas
*Artikel Sayembara Opini Antikorupsi 2024