Kampanye Tiga Pasangan Calon Pilkada Jakarta 2024: Masalah Krusial Warga Tak Terjamah, Minim Solusi Nyata
Kamis, 14 November 2024 – Indonesia Corruption Watch (ICW) berkolaborasi dengan Urban Poor Consortium, Salam 4 Jari, Rujak Center For Urban Studies, dan Enter Nusantara menyelenggarakan diskusi publik dengan tajuk “Membahas yang Tidak Dibahas Sepanjang Kampanye Pemilihan Gubernur Jakarta” di Resonansi (Rumah Belajar ICW).
Memasuki kampanye paruh akhir, Indonesia akan melaksanakan Pilkada Serentak 2024 pada 27 November 2024 mendatang. Perhelatan pilkada yang seharusnya menjadi pesta demokrasi, nyatanya masih terjajah oleh berbagai intervensi. Vulgarnya campur tangan pemerintah pusat, gemuknya kartel politik dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus, hingga dinasti politik mantan presiden Joko Widodo (Jokowi), membuat pilkada di berbagai daerah tahun ini seolah kehilangan legitimasinya di mata masyarakat, tak terkecuali di Jakarta–kota yang kerap menjadi pusat perhatian publik secara nasional setiap pilkada berlangsung.
Meskipun debat telah berlangsung sebanyak dua kali, ketiga pasangan calon (paslon) masih kompak dalam memberikan solusi abstrak bagi permasalahan warga Jakarta. Terkait isu lingkungan, fokus perhatian masih berkutat pada sampah dan pencemaran air. Permasalahan terkait perampasan ruang hidup dan krisis iklim masih jauh dari sorotan. Ramadhan dari Enter Nusantara menilai para paslon dalam gagasan dan kampanyenya masih kota sentris, misalnya luput pada permasalahan perampasan lahan yang dialami masyarakat Pulau Pari sejak tahun 2007. Masyarakat tidak hanya dihadapkan dengan terbatasnya fasilitas pendidikan dan kesehatan, tetapi juga ancaman krisis iklim dan kehadiran korporat yang akan memprivatisasi pariwisata Pulau Pari.
Selaras dengan itu, Apriyandi dari Urban Poor Consortium menambahkan bahwa daerah padat penduduk selalu menjadi sasaran utama paslon selama kampanye dan dijadikan sebagai komoditas politik, tetapi kerap terlupakan setelah pilkada selesai. Visi misi selama kampanye bergeser menjadi hal-hal yang pragmatis ketika paslon menjabat. Dalam sektor perekonomian, para paslon minim memberikan solusi atas kerentanan 52% masyarakat Jakarta kelas menengah yang terancam turun menjadi kelas bawah. Selain permodalan dan bantuan, akses serta keamanan berdagang dan berusaha juga tidak kalah penting mengingat perekonomian tidak hanya dilakukan pekerja formal dengan UMP, tetapi juga UMKM. Namun, para paslon masih gagal melihat persoalan ini.
Perubahan status ibu kota yang menjadikan Jakarta sebagai pusat ekonomi nasional tidak hanya menghadirkan wajah baru bagi kota ini, tetapi juga memunculkan pertanyaan mengenai kesiapan Jakarta sebagai kota global. Amalia Nur Indah Sari dari Rujak Center For Urban Studies menjelaskan bahwa pemindahan ibu kota dengan dalih Jakarta sudah tidak layak sebagai kota, tetapi memberikan solusi dengan menjadikan Jakarta sebagai kota global, merupakan suatu kontradiktif. Fokus menjadikan Jakarta untuk dikembangkan lebih besar menjadi anomali karena abai terhadap perbaikan kerusakan yang telah ada. Pemerintah telah mempersiapkan anak tangga untuk kepemimpinan berikutnya dalam UU DKJ melalui RTRW baru yang sama sekali tidak melibatkan publik dalam penyusunannya. Amalia mempertanyakan sejauh mana gubernur terpilih dapat menjalankan RTRW jika acuannya adalah UU DKJ dari pusat.
Pilkada Jakarta tidak akan lepas dari politik nasional sehingga lekat dengan cawe-cawe nasional. Miya Irawati dari Salam 4 Jari memaparkan masing-masing calon bermain aman dan mengesampingkan kepentingan masyarakat di atas kepentingan golongan. Tidak dianulirnya Dharma Pongrekun-Kun Wardana oleh KPU dalam kasus pencatutan KTP, leluasanya Ridwan Kamil-Suswono dalam menunjukkan politik gentong babi melalui program Rp1 miliar untuk 1 RW, hingga lemahnya posisi Pramono Anung-Rano Karno sebagai paslon oposisi di mana berulang kali menyatakan akan mengikuti kebijakan Prabowo, menunjukkan lemahnya posisi para paslon dalam cengkeraman pemerintah pusat.
Berbagai permasalahan Jakarta yang tidak kunjung terealisasi mengindikasikan adanya praktik korupsi di dalamnya. ICW melihat bahwa minimnya pemantauan terhadap pengelolaan anggaran menjadi salah satu penyebab masalah-masalah Jakarta tidak teratasi. Terlebih Jakarta memiliki tingkat kerawanan korupsi yang tinggi karena memiliki Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) besar dari tahun ke tahun. Dalam tiga tahun terakhir, terdapat 26 korupsi yang ditangani Aparat Penegak Hukum dengan jumlah kerugian negara sebesar Rp3,4 triliun.
Hal ini semakin diperparah dengan ternormalisasinya politik uang hampir di seluruh wilayah Indonesia, termasuk Jakarta. Normalisasi ini juga diperkuat melalui regulasi batas harga maksimal pemberian barang selama kampanye yang menjadi celah manipulasi pemilih. Hasil pemantauan ICW menemukan variasi baru di Pilkada Jakarta 2024 berupa pembelian kupon untuk ditukar menjadi sembako. Pemilu seakan menjadi ajang politik transaksional yang mempertemukan pembeli suara dan penjual suara. Sayangnya, gagasan antikorupsi dari ketiga paslon masih 0 besar.
Permasalahan yang dipaparkan dalam diskusi ini hanyalah segelintir dari banyaknya pekerjaan rumah Jakarta. Nahasnya, tidak ada solusi konkret yang diberikan pemerintah, termasuk para paslon yang sedang bertanding di Pilkada Jakarta 2024. Para paslon keliru memahami problem yang urgen dalam masyarakat, di samping memberikan jalan keluar yang tidak tepat. Solusi yang ditawarkan masih di permukaan, jauh tak menyentuh inti permasalahan.
Tonton diskusi selengkapnya pada tautan berikut: https://www.youtube.com/live/clZ1AFiqF0s?si=wNz6mbuCzndnX3tS
(Sefi/Yassar)