Waspadai Caleg Mantan Napi Korupsi
Indonesia Corruption Watch (ICW) telah merilis daftar nama 46 mantan napi kasus korupsi yang mendaftarkan diri sebagai calon legislatif (caleg) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk periode 2019-2024. Daftar ini merupakan tambahan setelah mendapatkan masukan masyarakat dari yang sebelumnya ditemukan 38 caleg, kemudian naik menjadi 40 orang, dan terakhir sejumlah 46 caleg teridentifikasi sebagai mantan napi korupsi. Mereka ini adalah sebagian dari 2.343 total anggota DPRD Provinsi dan DPD yang maju pada pemilu 2019 dan perlu diwaspadai rekam jejaknya.
Para caleg mantan napi korupsi yang mencalonkan diri berasal dari 12 partai politik yakni Golkar, Gerindra, Hanura, Demokrat, PAN, Berkarya, Perindo, Garuda, PKPI, PBB, PKS, dan PDI Perjuangan. Partai politik yang mencalonkan mantan napi kasus korupsi terbanyak adalah Golkar berjumlah 8 orang. Sedangkan partai politik yang mencalonkan mantan napi kasus korupsi paling sedikit adalah PBB, PKS, dan PDI Perjuangan berjumlah 1 orang. Adapun partai politik yang tidak mencalonkan mantan napi kasus korupsi adalah PSI, Nasdem, PKB, dan PPP. Jika PSI memang tidak mencalonkan mantan napi kasus korupsi sejak awal, berbeda dengan Nasdem, PKB, dan PPP. Ketiga partai ini sempat mencalonkan mantan napi kasus korupsi namun dibatalkan.
Perihal boleh tidaknya mereka maju sebagai caleg terbagi ke dua kelompok besar. Bagi kalangan elit partai politik, bolehnya mereka mendaftarkan diri sebagai caleg dikarenakan tidak ada aturan yang melarangnya. Perspektif legal adalah argumentasi dasar untuk menerima mereka yang pernah menjadi napi korupsi untuk berkompetisi dalam pemilu legislatif. Sementara secara umum masyarakat tidak setuju jika mantan napi korupsi maju lagi sebagai caleg karena secara moral, mereka sudah tidak layak menjadi pejabat publik. Pada saat yang sama, calon pejabat publik yang bersih dari korupsi juga tidak sedikit yang bisa disodorkan oleh partai.
Pertanyaannya, dengan pemilu yang marak politik uang, bukankah para caleg tetap membutuhkan anggaran besar sehingga peluang untuk melakukan korupsi terbuka lebar saat menjabat? Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan ada 178 kasus korupsi selama 2018 dengan 91 kasusnya melibatkan anggota legislatif. Angka ini menunjukkan bahwa mahalnya ongkos untuk menjadi anggota legislatif menjadi salah satu faktor utama korupsi. Korupsi massal yang terjadi di Kota Malang menjadi salah satu bukti mahalnya ongkos politik yang harus ditanggung caleg.
Mahalnya ongkos bisa dihitung dari sosialisasi dan branding politik ke masyarakat, biaya saksi, cetak baliho, kaos dan lain-lain. Belum lagi jika menyertakan praktek illegal seperti politik uang, dan mahar politik, bisa dipastikan biaya politik akan lebih mahal. Berdasarkan riset Prajna Research Indonesia, biaya minimal yang harus dikeluarkan seorang caleg berkisar Rp500 juta – 2 miliar.
Selain mahalnya ongkos politik, putusan uji materi Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 30 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota, serta PKPU nomor 26 tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas PKPU Nomor 14 Tahun 2018 Tentang Pencalonan Anggota DPD membuka peluang lagi bagi para mantan napi korupsi untuk maju sebagai kandidat legislatif.
Lalu, bagaimana menekan korupsi di lingkungan legislatif atau sektor politik, terutama dalam konteks pemilu 2019? Perihal putusam MA yang membolehkan mantan napi korupsi nyaleg, KPU perlu lebih aktif menginformasikan kepada masyarakat rekam jejak para caleg. Sebelumnya KPU pernah mengusulkan untuk menampilkan profil para caleg eks koruptor di tempat pemungutan suara (TPS). Ini juga merupakan ide yang brilian untuk mencegah mereka yang pernah korupsi terpilih sebagai anggota DPR/D.
Sementara, dalam jangka menengah dan panjang, perlu ada reformasi sektor politik untuk menekan biaya politik melalui serangkaian agenda, diantaranya pembenahan sistem integritas partai politik, penguatan transparansi dan akuntabilitas dana politik dan pemilu, serta peningkatan bantuan keuangan dari negara yang signifikan untuk partai politik.
Memang caleg yang bukan eks napi kasus korupsi tidak menjamin kelak ketika menjabat mereka tidak akan melakukan korupsi. Akan tetapi setidaknya dengan mencegah terpiihnya caleg yang telah memiliki rekam jejak korup, akan membuat kualitas pemilihan umum dan demokrasi Indonesia lebih baik.*** (Dewi/Adnan)