Tren Vonis Kasus Korupsi 2020
Putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim terhadap terdakwa perkara korupsi lambat laun kian menjauh dari pemberian efek jera. Kalimat itu bukan tanpa dasar, sejak tahun 2005 Indonesia Corruption Watch (ICW) telah melakukan pemantauan atas vonis-vonis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Tinggi, maupun Mahkamah Agung, hasilnya selalu mengecewakan. Rata-rata vonis yang dijatuhkan selalu ringan. Pertanyaan pun muncul: seberapa serius lembaga kekuasaan kehakiman memandang kejahatan korupsi?
Sebagai suatu kejahatan, korupsi telah muncul dengan berbagai penamaan, mulai dari extraordinary crime, serious crime, white collar crime, transnational crime, sampai pada financial crime. Semua istilah itu telah menggambarkan tingkat keseriusan dari kejahatan ini, terutama dalam konteks dampak yang akan dirasakan oleh masyarakat. Dapat dibayangkan pula, korupsi secara langsung telah merusak segala lini, misalnya: ekonomi negara, demokrasi, hak asasi manusia, dan lain sebagainya. Sehingga menjadi hal wajar jika memerangi kejahatan korupsi mesti dilakukan oleh berbagai elemen negara, termasuk pemerintah, DPR, dan masyarakat, serta tak terkecuali aparat penegak hukum dan lembaga kekuasaan kehakiman.
Merujuk pada sistem peradilan pidana, lalu dikaitkan dengan asas diferensiasi fungsional dalam hukum pidana, maka setiap lembaga penegak hukum memiliki tanggungjawab untuk memaksimalkan penanganan perkara. Mulai dari fase penyelidikan dan penyidikan oleh kepolisian, penuntutan yang dilakukan oleh kejaksaan, persidangan oleh lembaga kekuasaan kehakiman, dan masa pemidanaan di lembaga pemasyarakatan yang berada di bawah kewenangan Kementerian Hukum dan HAM. Untuk itu, tindakan extraordinary measure harus dilakukan pada setiap tingkatan demi mencapai keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum.
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa kejahatan korupsi pada dasarnya merupakan kejahatan dalam jabatan yang berkelindan dengan sektor ekonomi. Maka dari itu, titik fokus penegak hukum tidak bisa diletakkan begitu saja hanya terbatas pada pemidanaan penjara semata. Sebab, teori pemidanaan harus sudah berpindah pada konsep restoratif, bukan lagi mengandalkan aliran klasik seperti retributif. Sehingga, kerugian keuangan negara dan aset-aset kejahatan yang digunakan, dihasilkan, atau dimiliki oleh pelaku mesti dikombinasikan dengan putusan pemidanaan penjara. Jika itu tidak dilakukan, niscaya pemberian efek jera pada pelaku korupsi mustahil didapatkan.
Tidak hanya itu, komitmen dari pemerintah dan legislatif juga menjadi satu bagian yang tak terpisahkan untuk memerangi kejahatan korupsi. Dua cabang kekuasaan itu yang nantinya akan menentukan arah politik hukum, khususnya ikhwal pembentukan legislasi. Namun pada faktanya, alih-alih memperkuat, yang terjadi justru sebaliknya. Selama ini, baik Presiden maupun DPR, kerap kali mengabaikan penuntasan regulasi-regulasi yang menunjang performa penegak hukum dalam menangani perkara korupsi. Tentu ini berakibat buruk, sebab, jenis dan lama pemidanaan amat sangat bergantung pada substansi regulasi pemberantasan korupsi.
Pada setiap pemantauan persidangan yang ICW lakukan, setidaknya ada tiga variabel penting untuk menjamin adanya efek jera bagi terdakwa. Pertama, penentuan jenis pasal yang dimasukkan dalam surat dakwaan. Dalam konteks ini, penuntut umum semestinya turut mengkombinasikan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan Undang-Undang Anti Pencucian Uang. Sebab, kelindan diantara keduanya sangat erat dan kombinasi itu juga diyakini akan menjadi pintu masuk untuk memiskinkan terdakwa.
Kedua, perspektif penuntut umum tatkala mengajukan surat tuntutan. Dari bagian ini publik akan melihat seberapa serius penuntut umum sebagai representasi negara dalam memandang kejahatan korupsi yang dilakukan oleh terdakwa. Mulai dari penentuan pasal yang terbukti sampai pada tuntutan hukuman yang diajukan kepada majelis hakim. Sayangnya selama ini kinerja penuntut umum belum cukup menunjukkan keberpihakan pada korban kejahatan (masyarakat), sebab, mayoritas tuntutan masih berada pada ambang batas minimal hukuman.
Ketiga, keberpihakan hakim saat menjatuhkan putusan. Sebagaimana diketahui hingga saat ini penerapan hukuman untuk kejahatan korupsi masih menggunakan asas premium remedium. Ini sekaligus memberikan pesan kepada majelis hakim untuk dapat menjatuhkan hukuman yang bermuara pada pemberian efek jera sekaligus memulihkan kerugian keuangan negara. Untuk itu, pidana pokok (penjara dan denda) maupun tambahan (uang pengganti dan pencabutan hak tertentu) mesti selalu dilekatkan pada setiap putusan yang dijatuhkan saat menyidangkan perkara korupsi.
Masa waktu pemantauan yang ICW lakukan dimulai dari bulan Januari sampai Desember tahun 2020 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi seluruh Indonesia. Mulai dari tingkat pertama, banding, kasasi, maupun peninjauan kembali. Adapun sumber data yang dirujuk kombinasi antara primer dan sekunder. Untuk primer sendiri diperoleh dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara pada setiap pengadilan dan direktori putusan Mahkamah Agung, sedangkan sekunder melalui penelusuran pemberitaan media.
Hasil pemantauan dan analisis ini akan dipaparkan sekaligus diberikan kepada pemangku kepentingan (Komisi Pemberantasan Korupsi, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung). Dengan harapan agar dokumen ini nantinya dapat dijadikan bahan evaluasi serta perbaikan untuk memastikan penanganan perkara korupsi yang lebih objektif dan semakin berpegang pada nilai keadilan. Untuk itu, berikut hasil pemantauan dan analisis tren vonis persidangan korupsi tahun 2020.