Polemik Tes Kebangsaan: Dewan Pengawas Harus Memeriksa, Menyidangkan, dan Menjatuhkan Hukuman Berat Kepada Ketua KPK!
Sejak Maret hingga 9 April lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara berkala mengadakan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) terhadap 1.351 pegawai KPK. Melalui tes tersebut, KPK mengumumkan bahwa sebanyak 75 pegawai Tidak Memenuhi Syarat (TMS) dan dua orang tidak mengikuti tes. Atas 75 orang yang masuk kategori TMS, berhembus isu kencang mereka akan dipecat sebagai pegawai KPK. Padahal, diantara 75 orang tersebut, terdapat nama-nama penyelidik dan penyidik yang sedang menangani perkara korupsi besar di KPK, termasuk Novel Baswedan.
Kebijakan TWK diduga merupakan upaya terselubung yang didorong oleh Ketua KPK, Firli Bahuri, melalui Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021 (Perkom 1/2021). Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU 19/2019) dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Tindak Korupsi Korupsi Menjadi Aparatur Sipil Negara (PP 41/2020) tidak ada klausul mengenai TWK. Terlebih, putusan Mahkamah Konstitusi juga sudah menegaskan bahwa peralihan status kepegawaian KPK menjadi ASN tidak boleh merugikan hak-hak pegawai KPK. Selain itu, adanya unsur kesengajaan dan paksaan agar hasil TWK dijadikan dasar untuk memberhentikan puluhan pegawai KPK itu juga melanggar UU Ketenagakerjaan. Tentu seluruh regulasi itu harus dipatuhi oleh KPK sebagai lembaga negara dengan tidak mengakomodir hasil TWK.
Peralihan status kepegawaian menjadi ASN ini sebenarnya melanggar prinsip awal pembentukan KPK. Sebab, konsep ASN tersebut sudah barang tentu akan menganggu prinsip independensi. Hal ini telah diatur secara rinci dalam United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) dan Jakarta Statement on Principles for Anti-Corruption Agencies bahwa salah satu syarat Lembaga Antikorupsi adalah memiliki pegawai independen. Jadi, baik alih status sebagai ASN maupun TWK telah bertentangan dengan banyak regulasi, baik hukum positif Indonesia maupun kesepakatan-kesepakatan internasional.
Indonesia Corruption Watch (ICW) memandang TWK merupakan bagian dari rangkaian pelemahan yang berasal dari internal KPK. Sebelumnya, upaya pelemahan KPK dan demokrasi Indonesia telah dimulai sejak disahkannya UU 19/2019. Secara lebih lanjut, ICW mencatat setidaknya ada dua hal penting yang harus diperhatikan terkait TWK yang telah dilaksanakan oleh KPK.
Pertama, tes ini adalah upaya untuk mengeliminasi penyelidik, penyidik, dan staf KPK yang memiliki integritas melawan korupsi tanpa pandang bulu siapapun pelaku korupsinya. Rencana pemecatan penyelidik dan penyidik itu juga terjadi di saat KPK sedang menangani beberapa kasus korupsi yang melibatkan kader partai politik pendukung pemerintah, misalnya suap pengadaan paket bansos sembako di Kementerian Sosial, suap ekspor benih lobster, korupsi KTP-Elektronik, dll.
Kedua, substansi TWK memuat pertanyaan-pertanyaan yang tidak relevan dengan praktik kerja KPK. Menurut penuturan staf KPK yang mengikuti tes, dalam soal tes tersebut terdapat unsur sexist, diskriminatif dan intervensi dalam kehidupan personal. Hal ini mengonfirmasi dugaan bahwa persoalan kompetensi, integritas dan anti-korupsi bukan menjadi prioritas pada pengujian tersebut.
Kisruh dan kegaduhan atas rencana pemecatan 75 pegawai KPK tidak dapat dilepaskan dari kepemimpinan Firli Bahuri. Sebelumnya, terdapat sederet persoalan serius yang juga terjadi pada era kepemimpinannya. Mulai dari keengganan meringkus Harun Masiku, pencurian barang bukti emas oleh pegawai KPK, suap dan gratifikasi yang diterima oleh penyidik KPK dalam penyelidikan perkara Walikota Tanjung Balai dan terakhir, munculnya video yang menunjukkan pertemuan antara Firli Bahuri dengan salah satu Komisaris PT Pelindo, yang kasusnya sedang ditangani oleh KPK. Selain itu, kondisinya kian suram tatkala Firli sendiri selaku pegawai maupun Ketua KPK telah dua kali melanggar kode etik, baik karena bertemu dengan kepala daerah NTB maupun menggunakan moda transportasi mewah seperti helikopter.
Terlepas dari itu, ICW juga mendesak agar Presiden Joko Widodo segera bersikap dengan menolak adanya pemberhentian puluhan pegawai KPK. Sebab, persoalan ini muncul atas buah dari kebijakan Presiden juga tatkala memilih Pimpinan KPK kontroversi seperti Firli Bahuri dan regulasi yang mengakomodir alih status kepegawaian KPK melalui UU 19/2019. Jadi, segala persoalan yang timbul akibat dari kekeliruan kebijakan politik hukum pemberantasan korupsi itu mesti diletakkan sebagai tanggungjawab dari Presiden.
Dengan buruknya kepemimpinan Firli Bahuri, KPK berada di ambang kehancuran, kemerosotan reputasi dan kehilangan kepercayaan publik yang kian serius. Agar KPK tetap dapat dijaga dari kehancuran dan pembusukan, maka Dewan Pengawas harus mengambil tindakan tegas dan serius. Berbagai akumulasi persoalan dan kegaduhan di KPK tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab Ketua KPK dan Pimpinan KPK yang lain. Oleh karena itu, ICW mendesak agar Dewan Pengawas KPK mengambil inisiatif untuk melakukan pemeriksaan terhadap para Pimpinan KPK, termasuk Firli Bahuri atas berbagai dugaan pelanggaran etik.
Jakarta, 11 Mei 2021
Narahubung:
Wana Alamsyah, Peneliti ICW
Egi Primayogha, Peneliti ICW