Indonesia Merugi 133 Triliun dari Sektor Batubara
Antikorupsi.org, Jakarta, 13 November 2017 – Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan indikasi kerugian negara dari sektor batubara selama 2006-2016 mencapai Rp133,6 triliun. Indikasi kerugian negara ini disebabkan adanya transaksi ekspor batubara yang tidak dilaporkan (unreporting). Temuan ini dipaparkan oleh Firdaus Ilyas, Koordinator Divisi Riset ICW, pada Jumat 10 November 2017 dalam konferensi pers di Kantor ICW.
Firdaus Ilyas memaparkan temuan bahwa ada ketidaksamaan data antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Badan Pusat Statistik (BPS), dan Kementerian Perdagangan. Ketidaksamaan data meliputi data produksi batubara, data ekspor batubara, serta data antara Indonesia dan negara pembeli batubara. Data produksi batubara Indonesia selama periode 2006-2015, Kementerian ESDM mencatat total produksi batubara Indonesia adalah 3.315,2 juta ton. Sementara BPS mencatat total produksi batubara Indonesia adalah 3.266,2 juta ton. Terdapat selisih dari data Kementerian ESDM dan BPS sebesar 49,1 juta ton.
Data ekspor batubara Indonesia selama periode 2006-2016, Kementerian Perdagangan mencatat ekspor batubara adalah 3.421,6 juta ton. Sementara kementerian ESDM mencatat ekspor batubara adalah 2.902,1 juta ton. Terdapat selisih dari data Kementerian Perdagangan dan Kementerian ESDM sebesar 519,6 juta ton.
Adapun data ekspor batubara yang dimiliki Indonesia lebih tinggi daripada yang data yang dimiliki negara pembeli. “Data ekspor batubara yang dimiliki Kementerian Perdagangan selama periode 2006-2016 adalah 3.421,8 juta ton. Sedangkan data ekspor yang dicatat oleh negara pembeli batubara dari Indonesia dalam periode yang sama adalah 3.147,5 juta ton. Ada selisih 299,8 juta ton dalam perhitungan itu, dan hitungan Indonesia lebih tinggi.”
Selisih data ini akan menimbulkan ketidakwajaran. Ketidakwajaran akan menimbulkan dampak yang terkait dengan kewajiban keuangan pada negara, baik pembayaran royalti maupun pajak.
Oleh karena itu, pemerintah Indonesia, khususnya Presiden Joko Widodo, sudah seharusnya memberi perhatian lebih serius dan segera membenahi celah yang dapat mengakibatkan kerugian negara dari sektor batubara. Hal ini pun juga untuk menanggapi penerimaan negara yang belum optimal dari sisi penerimaan pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Selain itu, menghadapi fenomena Paradise Papers, Pemerintah RI sudah semestinya serius dalam menindaklanjuti temuan tersebut. Respon Pemerintah RI terhadap Paradise Paperstidak semestinya berulang sebagaimana terhadap fenomena sebelumnya yaitu Panama Papers. Hal ini penting untuk dilakukan mengingat baik Paradise Papers maupun Panama Papermenyebut nama-nama besar elit bisnis dan politik di Indonesia, sehingga menjadi relevan untuk ditindaklanjuti lebih jauh oleh Pemerintah RI, baik Dirjen Pajak ataupun Kementerian ESDM, maupun aparat penegak hukum lainnya.*** (Dewi)