Apakah Skema Perampasan Aset Indonesia Sudah Siap? Telaahan Kritis Paradigma Unexplained Wealth Order Negara Lain
Berdasarkan catatan ICW tahun 2022, terdapat 612 orang tersangka kasus korupsi dengan total potensi kerugian keuangan negara mencapai Rp 33,6 triliun. Aturan existing di Indonesia masih belum optimal merampas aset pelaku korupsi. RUU Perampasan Aset pun belum pernah menjadi prioritas untuk dibahas maupun disahkan.
Meminjam analisis penggolongan korupsi sebagai extraordinary crime yang dijelaskan Eddy Hiariej (2012), yaitu pertama, korupsi merupakan kejahatan terorganisasi yang sistematis, kedua, modus operandi korupsi tergolong sulit, sehingga pembuktiannya tidak mudah, ketiga, korupsi berkaitan erat dengan kekuasaan; keempat, korupsi merupakan kejahatan yang berkaitan dengan nasib orang banyak.
Materi RUU Perampasan Aset menekankan 3 (tiga) perubahan paradigma dalam penegakan hukum pidana. Pertama, pihak yang didakwa tidak hanya pelaku kejahatan, melainkan aset yang diperoleh dari kejahatan. Kedua, mekanisme yang digunakan adalah peradilan perdata. Ketiga, terhadap putusan pengadilan tidak dikenakan sanksi pidana sebagaimana yang dikenakan terhadap pelaku kejahatan lain (Refki Saputra, 2017).
Penelaahan kembali peraturan perundang-undangan serta prosedur penanganan perkara korupsi harus segera diupayakan oleh pemangku kepentingan guna membuka diskusi pada tahap legislatif. Sebab walaupun RUU Perampasan Aset disahkan di kemudian hari, masih banyak faktor yang menentukan keberhasilan mekanisme unexplained wealth order (UWO) itu sendiri.
Contohnya Australia. Walaupun Australia telah mengesahkan perundang-undangan perampasan aset dengan skema UWO, namun secara keseluruhan, Australia belum mencapai UWO yang sukses (Keen, 2017). Kegagalan ini disebabkan oleh beberapa faktor, yakni kurangnya keahlian dalam investigasi keuangan, alokasi sumber daya tidak efisien, dan perselisihan antarlembaga.
Di Inggris, Criminal Finances Act 2017 membuat gebrakan baru dalam rezim pemulihan aset, satu satu ketentuannya adalah perihal mekanisme UWO. Ketentuan tersebut mengharuskan terduga untuk melakukan pembalikan beban pembuktian dengan menjabarkan asal harta kekayaan yang dimiliki, sehingga mekanisme UWO akan menetapkan apakah harta tersangka tersebut diperoleh secara sah atau tidak (Criminal Finances Bill, 2017). Di Australia, berdasarkan Pasal 179E ayat (1) Crimes Legislation Amandement Act 2010, UWO menjadi solusi ampuh penanganan aset yang tidak jelas sumber pemasukannya (BPHN Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2015).
Sebagai perbandingan, berdasarkan Bagian 5 Proceeds of Crime Act (POCA) 2002, suatu perintah UWO dapat dikeluarkan dalam hal, pertama, terduga dikategorikan sebagai orang yang terekspos secara politik atau Politically Exposed Person (PEP) di luar European Economic Area, atau terduga disangka terlibat dalam kejahatan serius. Kedua, diketahui secara umum bahwa pendapatan terduga tidak mencukupi untuk memperoleh aset terkait. Ketiga, nilai aset lebih besar dari €50,000.
Tujuan UWO adalah mencari bukti guna memperkuat tuntutan pemulihan yang diajukan masyarakat (civil recovery) berdasarkan Bagian 5 POCA 2002 (Draft Revised Code of Practice Issued under Section 377A of the Proceeds of Crime Act 2002, 2017).
UWO tidak dapat dipersamakan dengan perintah penyitaan yang dikeluarkan setelah putusan pidana, perintah perampasan uang (cash forfeiture order) atau perintah pemulihan masyarakat (civil recovery order), yang merupakan tatanan terakhir dalam pemulihan hasil tindak pidana, melainkan UWO harus dipandang selaras dengan suatu perintah penyidikan—seperti perintah pengungkapan informasi dan perintah pemantauan rekening. Dengan demikian, UWO memberikan solusi alternatif untuk mendapatkan informasi dan mengambil tindakan dalam hal terdapat kesulitan melacak sumber kekayaan, berdasarkan ketentuan Bagian 5 POCA. Otoritas penegak hukum seringkali kesulitan membekukan dan memulihkan aset individu-individu yang diduga terlibat dalam kejahatan—hal ini berkaitan dengan yurisdiksi lain yang tidak mau bekerjasama secara penuh (Criminal Finances Bill, 2017).
Masih dalam konteks POCA, UWO dimohonkan kepada Pengadilan Tinggi dengan atau tanpa pemberitahuan kepada terduga. Permohonan tersebut perlu mengidentifikasi terduga individu terkait dengan mencantumkan secara detail mengenai harta kekayaannya. Sebagaimana ketentuan 362B(2) POCA 2002 yang diubah Criminal Finances Act 2017, tidak menjadi permasalahan apabila harta terduga diperoleh sebelum diterbitkannya ketentuan UWO.
Criminal Finances Act 2017 mengatur ketentuan perintah pembekuan sementara (interim freezing orders atau IFO), yang membatasi transaksi atas harta kekayaan yang dikenakan UWO. Otoritas penegak hukum memiliki waktu 60 (enam puluh) hari untuk memutuskan apakah mereka ingin memulai prosedur pemulihan perdata sebelum melewati tenggat waktu IFO (POCA, 2002).
Membandingkan dengan RUU Perampasan Aset Indonesia, jangka waktu pemblokiran paling lama 30 (tiga puluh) hari. Jangka waktu ini perlu dipertanyakan ketepatannya, mengingat kasus yang diteliti cukup kompleks. Untuk menyusun gugatan NCB Asset forfeiture dibutuhkan keahlian tersendiri dalam mengidentifikasi aset yang akan digugat untuk membuktikan aset tersebut memiliki keterkaitan dengan aset yang lain.
Mengacu pada praktik UWO di Inggris terdapat hal-hal yang harus ditelaah menurut penelitian dari Royal United Services Institute (RUSI) (Keen, 2017), pertama, perlunya penyelidik dan penyidik keuangan dengan keahlian memadai mengenai pemulihan perdata, sebab target UWO adalah kasus-kasus kompleks dengan Politically Exposed Person (PEP) yang terlibat dalam kejahatan serius dan terorganisir. Kedua, integrasi peran lembaga-lembaga pemerintah guna mencapai kerjasama yang efektif dan efisien.
Menilik kembali konteks RUU Perampasan Aset, dibentuklah Badan Pengelola Aset (BPA) yang mempunyai tugas (i) melakukan penelusuran atas aset yang merupakan hasil tindak pidana atau instrumen yang akan atau telah digunakan untuk melakukan tindak pidana, dan (ii) melakukan pengelolaan atas aset yang disita atau rampas.
Pihak Kepolisian, KPK, dan BPA harus bersinergi untuk merampas aset dengan indikasi jumlah tidak wajar. Dalam tahap penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, ketiga lembaga tersebut harus menggunakan paradigma in rem sebagai konsekuensi logis diterapkannya skema unexplained wealth. Pengadilan memiliki tugas memutus dan menyelesaikan berkaitan dengan perampasan aset.
Keen menjabarkan lebih lanjut faktor yang perlu diperhatikan, yakni ketiga, alokasi keuangan yang dibutuhkan selama proses investigasi dan persidangan. Di Inggris, alokasi Asset Recovery Incentivisation Scheme ditekankan sebagai upaya yang efektif untuk menyediakan dana tambahan bagi para penyidik keuangan. Secara khusus, alokasi tersebut dioptimalkan guna mendanai kemampuan pemulihan aset nasional, termasuk Joint Asset Recovery Database dan tim regional Asset Confiscation Enforcement, serta menunjang sumber daya intelijen National Crime Agency dalam menindak praktik pencucian uang. Selain itu, dukungan dana yang ditujukan kepada kejaksaan juga perlu diperhatikan. Dikarenakan UWO diadili oleh jaksa penuntut di Pengadilan Tinggi, maka sejak awal penelusuran, terdapat beban biaya tambahan bagi jaksa penuntut yang sebelumnya tidak ada dalam proses pidana. Selanjutnya faktor terakhir adalah kemauan politik yang kuat untuk memastikan bahwa UWO tidak akan menjadi sekedar hitam di atas putih.
Upaya perampasan aset memang bukan perjalanan yang mudah, namun bukan berarti tidak mungkin. Berkaca dari kasus korupsi Setya Novanto, di mana pengembalian uang korupsi hanya Rp 500 miliar dari nilai kerugian berjumlah Rp2,3 triliun. Jumlah uang pengganti Setya Novanto pun juga tidak menutup jumlah kerugian negara akibat korupsi e-KTP. Paradigma perampasan aset tanpa pemidanaan yang tercermin dalam unexplained wealth akan lebih efektif dan efisien dengan prosesnya yang sederhana. Selain terdapat urgensi untuk mempercepat pembahasan RUU Perampasan Aset oleh DPR dan Presiden, dibutuhkan politik hukum yang kuat agar RUU Perampasan Aset dapat menjadi payung perampasan aset di Indonesia.
Penulis,
Siti Shalima Safitri
Alumnus S1 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
*Artikel Sayembara Opini Antikorupsi ICW 2.0