Menyoal Korupsi Elektoral yang Ganas Menggerogoti Pemilu Indonesia
Keluhan tentang kian mahalnya ongkos politik yang harus digelontorkan oleh para kandidat kontestasi elektoral pemilihan umum (pemilu) sudah menjadi rahasia umum. Peneliti senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Philips J. Vermonte, dalam seminar terbatas Fraksi Partai Golkar pada 18 Januari 2017 lalu mengungkapkan, politik Indonesia telah mengalami “the presidentialization of politics” sebagai akibat dari sistem pemilu langsung di Indonesia. Ini berarti bahwa orientasi pemilu kepala daerah dan pemilu legislatif telah menyerupai orientasi pemilu presiden yang ingin mendulang suara dan dukungan dari masyarakat semaksimal mungkin. Alhasil, baik pesta demokrasi itu dihelat untuk memilih kepala daerah, lembaga legislatif, maupun presiden dan wakil presiden, semuanya sama-sama memerlukan ongkos politik yang sangat besar untuk agenda pembiayaan kampanye, operasional tim sukses/relawan, survei dan konsultan politik. Apalagi jika alokasi ongkos politik diiringi dengan peruntukkan pengeluaran dana kampanye ilegal berupa uang politik (money politic) demi memuaskan ambisi dan nafsu politik sebagai pemenang pemilu.
Politik uang, atau sering disebut sebagai korupsi elektoral, merupakan perbuatan curang dalam pemilu yang hakikatnya sama dengan korupsi (Estlund, 2012). Praktik korupsi elektoral yang sering terjadi, misalnya, pembelian suara (vote buying), mahar politik (uang perahu), jual beli dukungan, dan janji jabatan/hadiah khusus. Korupsi elektoral memiliki korelasi erat dengan korupsi politik. Sebagai akibat dari modal besar (high cost) yang dikeluarkan untuk memenangkan perhelatan pemilu, maka mutatis mutandis bagi sosok pemenang pemilu untuk mengembalikan modal tersebut. Ini kemudian menjadi cikal bakal terjadinya korupsi politik (Satria, 2019). Selain itu, jika menggunakan persepsi bahwa korupsi politik lebih mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan dalam pemerintahan, maka korupsi elektoral akan menemukan titik relevansinya dengan korupsi politik dalam kasus corrupt campaign practice (kampanye dengan menggunakan fasilitas dan/atau uang negara oleh calon yang memegang kekuasaan) dan election fraud or vote rigging (campur tangan tidak sah dalam pemilu dengan memengaruhi perolehan suara kandidat). Singkatnya, korupsi elektoral akhirnya akan tetap bermuara pada korupsi politik.
Dari berbagai penelitian oleh lembaga-lembaga survei yang mengacu pada pengalaman kepemiluan Indonesia, angka money politic di Indonesia dikategorikan sangat tinggi dan mayoritas masyarakat bereaksi “wajar/maklum” terhadap praktik politik uang tersebut. Mirisnya, Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN pada pengalaman pemilu 2019 lalu menemukan bahwa mayoritas pemilih meyakini money politic sebagai elemen dari demokrasi itu sendiri (Carolina & Maryanah, 2022). Artinya, pengalaman kepemiluan Indonesia sejak tahun-tahun lalu telah memperlihatkan politik uang sebagai paradoks demokrasi yang dinormalisasi, membudaya, dan seolah dilegalisasi. Ini jelas meracuni akal sehat dan kualitas demokrasi Indonesia. Sebelum korupsi elektoral kian ganas menggerogoti tubuh pemilu dan demokrasi, maka salah satu upaya penyelamatan yang seharusnya dilakukan adalah dengan optimalisasi perwujudan tata kelola pemilu sehat berintegritas melalui perbaikan pada ranah substansi, penegakan, dan kultur hukum pemilu Indonesia.
Hukum pemilu Indonesia merujuk pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (dimutakhirkan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2023). Secara spesifik, pengaturan tentang tindak pidana politik uang terdapat dalam Pasal 523 Undang-Undang a quo. Materi dalam Pasal 523 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) sama-sama memuat elemen actus reus dan mens rea sebagai elemen tindak pidana politik uang, yang pada ayat (1) konsen mengatur tindak pidana politik uang pada saat kampanye, ayat (2) pada masa tenang, dan ayat (3) pada saat pemungutan suara berlangsung.
Untuk elemen mens rea/schuld (kesalahan), rumusan ketiga ayat dalam pasal tersebut sama-sama berbentuk kesengajaan yang dibuktikan dengan penggunaan frasa “dengan sengaja”. Sementara itu, untuk elemen actus reus, pada ayat (1) meliputi: a) setiap pelaksana, peserta dan/atau tim Kampanye Pemilu, b) menjanjikan, c) memberikan uang/materi lainnya, d) sebagai imbalan karena ikut sebagai peserta Kampanye Pemilu, e) dilakukan secara langsung maupun tidak langsung; pada ayat (2) meliputi: a) setiap pelaksana, peserta dan/atau tim Kampanye Pemilu, b) pada masa tenang, c) memberikan/menjanjikan imbalan uang/materi lainnya, d) kepada pemilih, e) baik secara langsung maupun tidak langsung; pada ayat (3) meliputi: a) setiap orang, b) menjanjikan/memberikan uang/materi lainnya, c) kepada pemilih agar tidak menggunakan hak pilihnya atau untuk memilih peserta tertentu.
Sekilas, rumusan tindak pidana politik uang tersebut seolah sempurna dan memadai untuk mencegah dan memberantas praktik korupsi elektoral. Namun sayangnya, ketika menilik pada sanksi pidana yang diancamkan pada pelaku tindak pidana politik uang, rasa-rasanya masih jauh panggang dari api. Pasal 523 ayat (1) Undang-Undang a quo memuat ancaman pidana penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000,00, sementara pada ayat (2) diatur ancaman pidana penjara paling lama empat tahun dan denda paling banyak Rp48.000.000,00, lalu ayat (3) mengatur ancaman pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00. Penggunaan frasa “paling lama” dan “paling banyak” dalam pasal tersebut membuktikan bahwa sistem perumusan ancaman pidana (stelsel sanksi) adalah secara kumulatif dengan model indefinite sentence yang menggunakan sistem maksimum khusus (straf maximum). Kelemahannya, (1) besarnya kebebasan hakim dalam menjatuhkan pidana yang berpotensi menimbulkan disparitas pidana; dan 2) kekhawatiran kesenjangan antara ancaman maksimum pidana dengan pidana yang dijatuhkan sehingga psychologist dwang dalam rangka general prevention sulit diwujudkan.
Untuk itu, Pemerintah bersama DPR RI seharusnya merevisi ancaman pidana dalam Undang-Undang Pemilu dengan mengonstruksi model indeterminate sentence di dalamnya. Keuntungannya, model tersebut selain dapat menentukan batas maksimum khusus pidana, juga menentukan batas minimum khusus pidana yang dapat dijatuhkan oleh hakim sehingga lebih menjamin keadilan dan kepastian hukum, serta memberikan efek jera (deterrence effect) bagi pelaku kejahatan. Dalam revisi tersebut, juga bisa ditambahkan inisiasi soal pelibatan KPK dan PPATK untuk mengidentifikasi jejak kecurangan dan manipulasi pelaporan dana kampanye. Sistem deteksi kecurangan juga dapat dilakukan dengan melibatkan partisipasi publik. Tak salah kemudian jika dikatakan bahwa masyarakat perlu menerima edukasi politik, terutama dengan desain dan pendekatan yang tepat. Di sisi lain, pada ranah penegakan hukum pemilu, sistem sentra penegakan hukum terpadu (Sentra Gakkumdu) yang melibatkan integrasi-harmonisasi antara Kepolisian, Kejaksaan, dan Bawaslu untuk menangani tindak pidana pemilu perlu dioptimalkan, termasuk pula integritas-profesionalisme para penyelenggara pemilu.
Jika revisi UU Pemilu sudah tidak mungkin lagi dilakukan dalam waktu dekat, setidaknya tulisan ini dan pengalaman Pemilu 2024 dapat menjadi catatan kritis dan bahan evaluasi dalam usulan perbaikan/pembaruan UU Pemilu berikutnya demi menyempurnakan tata kelola pemilu dan menyehatkan iklim demokratisasi Indonesia. Untuk saat ini, berbekalkan sumber daya dan sarana/prasarana yang telah ada, mari berusaha semaksimal mungkin untuk memerangi praktik-praktik korupsi yang ingin bersemayam dalam tubuh Pemilu 2024!
Penulis,
Jessica Cornelia Ivanny
Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Tanjungpura
*Artikel Sayembara Opini Antikorupsi ICW 2.0