Laporan Akhir Tahun ICW 2022
Awal tahun 2023 Pemerintah Jokowi kembali mendapat kado buruk soal pemberantasan korupsi dimana Indeks persepsi Korupsi (IPK) Indonesia terjun bebas dari skor 38 menjadi skor 34 atau berada di peringkat 110 dari 180 negara. Menurut catatan TI Indonesia, peringkat Indonesia kini berada di posisi1/3 negara terkorup di dunia dan di Asia Tenggara berada jauh di bawah Singapura, Malaysia, Timor Leste, Vietnam dan Thailand.
Menurunnya IPK Indonesia merupakan kali kedua dimasa Pemerintahan Jokowi, sebelumnya juga pernah terjadi di tahun 2020 dimana perolehan skor IPK merosot menjadi skor 37 dari skor 40 di tahun 2019. Sempat IPK naik kembali di tahun 2021 namun kembali terjun bebas tahun 2022. Itu berarti perkembangan peringkat korupsi Indonesia di era Jokowi bisa dikatakan kembali ke titik nol, karena posisi peringkatnya sama dengan diawal pemerintahannya tahun 2014.
Situasi ini tak terlalu mengejutkan karena komitmen Jokowi terhadap pemberantasan korupsi memang semakin surut. Hal in terefleksi dari prioritas kerja Presiden 2019-2024 yang tidak lagi menyinggung soal pemberantasan korupsi. Berbeda sekali dengan agenda Nawacita yang diusung pada awal jabatannya dimana secara detail disebutkan "Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya".
Surutnya prioritas kerja terhadap pemberantasan korupsi pada akhirnya terkonfirmasi ketika teriadi revisi UU KPK dan rekayasa Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) terhadap para pegawai KPK. Langkah berani yang diharapkan lahir dari Jokowi untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang untuk menyelamatkan KPK akhirnya tak pernah hadir. Bahkan temuan Ombudsman tentang adanya maladministrasi dalam TWK juga tak membuat Jokowi membatalkan TWK.
Siapa menabur angin, akan menuai badai, menjadi pepatah yang paling tepat untuk menggambarkan lemahnya komitmen antikorupsi Presiden, membiarkan marakya potensi konflik kepentingan dan rangkap jabatan pejabat publik, aparatur birokrasi dengan rekening gendut baik di pusat dan daerah. Bahkan belakangan terbongkar kasus korupsi proyek startegis nasional BTS 4G yang melibatkan Menkominfo Jhonny G Plate sebagai tersangka. Maka tak heran jika persepsi masyarakat internasional kepada Indonesia sebagai salah satu negara terkorup menguat kembali.
Pada sisi lain aparatur penegak hukum justru mempertontonkan lemahnya integritas, misalnya saja pengunduran diri Lili Pintauli sebagai wakil komisioner KPK karena diduga kuat menerima gratifikasi dari BUMN untuk menonton gelaran Moto GP Mandalika, serta terjeratnya hakim agung dalam kasus jual beli perkara. Ironisnya rancangan UU Perampasan Aset yang telah menjadi program legislasi nasional serta sudah dikirimkan ke DPR justru tidak jelas kabarnya. Pemenuhan dan perlindungan hak sipil juga semakin mengkhawatirkan, fenomena hacking dan doxing terhadap aktivis masih terjadi. Bahkan jurnalis dan staf Narasi TV masih mengalami peretasan dan tak jelas penanganan hukumnya. Kriminalisasi Haris dan Fatia serta yang paling miris tent hilangnya nyawa PNS di Semarang, Jawa Tengah yang diduga karena statusnya sebagai saksi korupsi.
Realitas pemberantasan korupsi dan persepsi masyarakat internasional yang memburuk membutuhkan terobosan yang radikal, efektif dan efisien. Nah apakah upaya Menkopolhukam membentuk Tim Reformasi Hukum dapat meniadi jawaban atas realitas tersebut? Semoga tidak diadikan tameng atas komitmen sekedarnya pemerintah terhadap pemberantasan korupsi.