Jelang Sidang Praperadilan Firli Bahuri dan Eddy OS Hiariej: Komisi Yudisial Harus Awasi Proses Persidangan!
Senin, 11 Desember 2023, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan akan mulai menyidangkan dua permohonan praperadilan yang menguji keabsahan penetapan dua tersangka dugaan tindak pidana korupsi, yakni, Firli Bahuri (Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi non aktif) dan Eddy OS Hiariej (mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM). Sebagaimana diketahui, dua orang mantan pejabat publik tersebut disangka melakukan tindak pidana korupsi berupa pemerasan, suap, dan penerimaan gratifikasi. Firli sendiri ditangani oleh Polda Metro Jaya, sedangkan Eddy beberapa waktu lalu diusut KPK. Selain memastikan bukti yang dihadirkan bisa membantah argumentasi Tersangka, penting pula untuk mengawasi proses persidangan agar berjalan mandiri atau bebas dari intervensi pihak manapun.
Sulit dipungkiri, sekalipun mengajukan permohonan praperadilan merupakan hak dari setiap Tersangka, namun jalur tersebut kerap digunakan sebagai jalan pintas untuk terbebas dari jerat hukum. Proses persidangan cepat ditambah adanya perluasan objek praperadilan pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 membuat gerombolan koruptor silih berganti menguji keabsahan proses hukumnya. Tak jarang, proses persidangan dinilai banyak pihak ganjil dan putusannya pun akhirnya mengabulkan permohonan para tersangka. Sebagai contoh, keganjilan putusan praperadilan Komjen Budi Gunawan tahun 2015 lalu. Kala itu, hakim tunggal PN Jakarta Selatan, Sarpin, melakukan akrobat hukum dengan memaksakan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan. Bukan cuma itu, Sarpin juga bermanuver melalui putusannya dengan mengatakan Budi bukan merupakan aparat penegak hukum.
Selain Budi, kejanggalan proses persidangan praperadilan di PN Jakarta Selatan juga tampak dalam permohonan tahap I mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto. Bagaimana tidak, hakim Cepi Iskandar saat itu sempat menolak unjuk bukti yang disodorkan oleh Biro Hukum KPK. Bahkan, pertanyaan yang diajukan Cepi melebar dengan mempersoalkan status kelembagaan KPK, Ad-Hoc atau permanen. Keganjilan ini bukan tidak mungkin akan kelihatan kembali dalam persidangan praperadilan Firli dan Eddy. Apalagi, PN Jakarta Selatan dikenal banyak mengabulkan permohonan Tersangka korupsi. Dalam catatan Indonesia Corruption Watch, dari rentang waktu 2015-2021 setidaknya terdapat 9 Tersangka yang dikabulkan permohonannya oleh hakim tunggal di PN Jakarta Selatan (DATA TERLAMPIR).
Berkenaan hal di atas, ICW mendesak lembaga pengawas kode etik hakim, yakni, Komisi Yudisial (KY), mengambil peran dengan mengirimkan tim guna memperhatikan setiap agenda persidangan yang berlangsung terkait praperadilan Firli dan Eddy. Hal ini juga sejalan dengan penerapan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 20 ayat (1) huruf a UU KY. Di mana dalam dua aturan itu disebutkan bahwa dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dilakukan pengawasan eksternal oleh KY. Hal ini penting guna memitigasi hal-hal di luar proses hukum terjadi dalam persidangan Firli dan Eddy.
Narahubung:
Kurnia Ramadhana
Diky Anandya