Dana Kampanye Pilkada 2024: Celah Pendanaan Gelap Terbuka Lebar
ICW memberikan catatan terhadap laporan dana kampanye Pilkada 2024. Laporan kami nilai tidak transparan, mempersempit ruang pengawasan publik, dan terindikasi tidak jujur, sehingga membuka ruang pendanaan gelap dalam kontestasi pilkada.
KPU RI telah mengumumkan Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) dan Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK). Hasil penelusuran ICW terhadap LPSDK kandidat kepala daerah di 37 provinsi menunjukkan bahwa pemberi sumbangan didominasi oleh paslon, bukan pihak lain seperti pebisnis. Sebanyak 67 dari 103 paslon masih mengandalkan sumbangan dari dirinya sendiri.
Padahal, telah menjadi rahasia umum bahwa kandidat dalam Pilkada kerap mendapatkan sumbangan dari pihak-pihak tertentu, misalnya para pebisnis. Itu dikarenakan ongkos politik dalam Pilkada sangat tinggi dan kandidat membutuhkan sumber daya untuk memenangkan kontestasi. Pada sisi lain, dengan memberikan sumbangan, pebisnis berkepentingan untuk mendapatkan konsesi dan proyek-proyek negara.
Penelusuran yang ICW lakukan pada periode 18-21 November 2024 menunjukkan, hanya terdapat 13 dari total 103 kandidat yang sumbangan kampanyenya didominasi oleh individu. Sehingga laporan tersebut kami nilai tidak jujur. Lebih buruk, para individu pemberi sumbangan tersebut tidak dapat diketahui identitasnya. Dalam portal laporan dana kampanye yang KPU kelola (infopemilu.kpu.go.id), Informasi penerimaan sumbangan dan pengeluaran dana kampanye hanya menampilkan tanggal dan nominal. Hal ini kami anggap sebagai pintu masuk pendanaan gelap dari para cukong.
Laporan Dana Kampanye: Kandidat Diduga Membohongi Publik, KPU Tak Bertindak
Keberadaan dana kampanye menjadi salah satu elemen penting dalam pelaksanaan pilkada. Sebab dana inilah yang akan digunakan untuk menyokong berbagai kegiatan kampanye masing-masing pasangan calon. Tidak hanya itu, pelaporan dana kampanye juga penting sebagai instrumen pengawasan guna mencegah intervensi pihak tertentu yang ingin mengkooptasi proses pembentukan kebijakan melalui politik balas budi sekaligus untuk mengawasi penyalahgunaan dana kampanye untuk tindakan ilegal yang dapat mencederai integritas pemilu seperti politik uang.
Sayangnya KPU saat ini membatasi akses publik terhadap informasi dana kampanye para kandidat. Dalam portal yang KPU kelola, hanya terdapat LADK yang mencakup penerimaan dan pengeluaran, serta penerimaan sumbangan dan pengeluaran dana kampanye. Dalam hal penerimaan sumbangan, portal ini hanya mencantumkan sumbangan dalam bentuk uang, barang, dan jasa yang bersumber dari pasangan calon, partai, dan pihak lain perseorangan. Sedangkan sumbangan dari badan swasta tidak dicantumkan.
Selain itu, KPU tidak serius merespon ketidakjujuran kandidat dalam melaporkan dana kampanye. ICW mendapati setidaknya 14 paslon yang mencantumkan penerimaan dan pengeluaran dalam LADK sebesar Rp0. Serta terdapat 33 paslon yang total pengeluarannya masih sebesar Rp0. Padahal waktu menuju hari pemungutan suara hanya dalam hitungan hari. Sehingga, tidak mungkin jika para paslon belum mengeluarkan dana sepeserpun untuk membiayai kampanyenya. KPU tidak melakukan langkah yang patut terhadap hal tersebut.
Dugaan kuat atas pelaporan dana kampanye yang tidak dilakukan secara serius ini juga diperkuat dengan rerata penerimaan sumbangan para kandidat yang hanya berkisar pada Rp3,8 Miliar. Sedangkan taksiran biaya yang perlu dikeluarkan oleh kandidat dalam pemilihan skala gubernur menurut KPK pada tahun 2020 saja berkisar antara Rp20 Miliar sampai dengan Rp100 miliar. Adanya perbedaan nominal yang sangat jauh ini mengindikasikan bahwa apa yang dilaporkan para kandidat tidak mencerminkan ongkos politik yang riil.
Di lain sisi, dominasi sumbangan dari paslon menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana kontribusi dan peran partai dalam mendukung pendanaan para kandidat. Sebab minimnya dukungan dari partai politik juga dapat berimbas pada para kandidat yang mencari sumber pendanaan secara ugal-ugalan hanya demi dapat mengumpulkan dana yang besar bagi pencalonannya. Bukan tak mungkin, petahana yang mencalonkan diri kembali juga pada akhirnya menyalahgunakan kewenangannya untuk mengumpulkan modal pencalonan. Contoh kasus terbaru adalah Rohidin Mersyah, petahana Gubernur Bengkulu yang terjaring OTT KPK karena diduga memerintahkan anak buahnya untuk mengumpulkan uang hasil korupsi yang akan digunakan dalam pencalonannya.
Minimnya dukungan partai dalam pendanaan kampanye kandidat juga semakin mempersempit ruang partisipasi warga untuk maju dalam kontestasi pilkada. Sebab, hanya individu yang sudah memiliki sumber daya sangat besar sejak awal, yang akan lebih mudah untuk mencalonkan diri. Pada akhirnya hal ini juga bermuara pada munculnya kandidat-kandidat yang terafiliasi dinasti politik atau dengan pebisnis.
Oleh sebab itu, ICW meyakini bahwa perombakan regulasi secara menyeluruh terkait pelaksanaan pelaporan dana kampanye, mekanisme audit, hingga tata kelola partai politik sangat diperlukan guna mewujudkan asas demokrasi yang sesungguhnya dalam pelaksanaan Pilkada.
Jakarta, 26 November 2024
Divisi Korupsi Politik
Indonesia Corruption Watch