Ungkapan Bersayap Jusuf Kalla
Pernyataan Jusuf Kalla bahwa Bakrie adalah salah satu penyumbang dana kampanye pasangan calon presiden-calon wakil presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) pada Pemilu 2004 cukup menarik untuk disikapi secara kritis. Pernyataan ini di satu sisi dapat dianggap sebuah konfirmasi. Di sisi lain, ia dapat juga dikaitkan dengan kepentingan Jusuf Kalla atau Partai Golkar terkait dengan bantuan dana untuk Pemilu 2009.
Lontaran sederhana Jusuf Kalla, bagi penulis, bukanlah hal yang sederhana. Tanpa konfirmasi yang jelas, ungkapan ini dapat saja diarahkan ke banyak arah. Publik dapat saja mengaitkan ungkapan ini dengan praktek pendanaan kampanye pemilu presiden dan wakil presiden 2004, ketika tidak satu pun pasangan calon yang luput dari masalah. Hal ini dikonfirmasi oleh pemantauan masyarakat, data hasil pengawasan Panitia Pengawas Pemilu, maupun hasil audit akuntan publik.
Publik juga dapat dengan mudah mengaitkan ungkapan ini dengan posisi dan kondisi sang penyumbang saat ini. Dapat dikatakan, mungkin ada pengaruhnya dengan posisi “Ical” sebagai Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat saat ini. Atau dengan bisnis bos Bakrie Group yang sedemikian berkembang hingga sempat menjadikannya pengusaha terkaya. Lebih pelik lagi jika ungkapan ini dikaitkan dengan berbagai persoalan publik yang sedang menerpa Group Bakrie; persoalan terkait dengan lumpur Lapindo, atau persoalan dengan perusahaan Bakrie lainnya. Di pasar bursa, misalnya.
Dengan kata lain, tanpa kalimat penjelas yang utuh, ungkapan Kalla ini dapat berakibat buruk, baik bagi sang penyumbang maupun yang membuat ungkapan. Hal ini mengingat posisi Bakrie yang mungkin sekarang ini sedang banyak diterpa masalah dan menjadi sorotan publik. Terutama karena posisinya yang sedemikian strategis, posisi politik yang mapan, juga usaha yang menjanjikan. Demikian juga posisi Kalla yang oleh banyak kalangan dipandang tidak akan terlalu mulus meningkatkan posisi kekuasaannya, misalnya menjadi orang nomor satu di negeri ini lewat Partai Golkar.
Karena itulah, kalimat penjelas atas pernyataan Kalla ini sangat ditunggu-tunggu publik. Jika hal ini dilakukan, Kalla harus mampu menjelaskan seberapa signifikan sumbangan yang diberikan, berapa besarnya, dan lewat mana. Terkait dengan aturan main dana kampanye yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003, Kalla juga harus mampu membuktikan bahwa tidak ada rambu apa pun yang dilanggar sehingga dapat menyisakan tambahan jejak buruk atas praktek pendanaan kampanye pemilu presiden pada 2004.
Konfirmasi
Jika Kalla menyebut secara khusus Bakrie, sebagai sebuah konfirmasi hal ini tentu sangatlah penting. Pernyataan ini harus menjadi fakta yang tidak terpisah dari laporan resmi tim kampanye SBY-JK pada 2004. Jika dukungan Bakrie memang signifikan, tentu hal ini akan sangat mudah terlihat di dalam sumbangan perorangan ataupun badan hukum.
Di dalam laporan resmi dana kampanye SBY-Kalla, dari total sumbangan kas yang diterima sebesar Rp 60,38 miliar, yang paling mencolok terlihat adalah sumbangan pribadi dari calon wakil presiden, yaitu sebesar Rp 10 miliar. Jumlah sumbangan ini belum termasuk bagian dari saldo awal dana kampanye sebesar Rp 1,5 miliar, yang dua pertiganya, Rp 1 miliar, adalah sumbangan dari PT Bukaka Teknik Utama dan PT Hadji Kalla masing-masing Rp 500 juta.
Dari penelusuran cepat (quick search) penulis terhadap penyumbang perorangan, pencantuman nama Aburizal Bakrie atau Ical tidak terdapat di dalam daftar. Jika dilihat dari penyumbang dominan dana kampanye dari badan hukum atau perusahaan dengan skala sumbangan cukup besar, Rp 350-750 juta, tidak juga muncul relasi yang cukup meyakinkan dengan Aburizal Bakrie. Yang justru dominan terlihat adalah sumbangan perusahaan dari Sulawesi Selatan yang mungkin afiliasinya lebih dekat ke calon wakil presiden.
Klarifikasi
Di sinilah titik di mana penulis menilai perlu ada penjelasan lebih terperinci dari Jusuf Kalla. Jika diasumsikan ungkapan Jusuf Kalla benar, dan sumbangan Bakrie cukup signifikan, dari mana dan di mana sumbangan ini dicatatkan serta berapa sebenarnya besarnya?
Tentu ini penting, terkait dengan transparansi dan akuntabilitas publik dalam hal dana kampanye pasangan calon. Jika muncul pertanyaan, sesignifikan apa hal ini dimasalahkan? Toh, pemilunya sudah lewat dan kasus pelanggaran dana kampanye sudah kedaluwarsa sehingga tidak bisa lagi diproses secara hukum.
Justru klarifikasi ini sangat penting karena fakta hasil pengawasan dan audit dana kampanye Pemilu 2004 menemukan berbagai indikasi manipulasi. Hasil monitoring Indonesia Corruption Watch dan Transparency International, misalnya, menemukan adanya sumbangan fiktif (phantom donation). Misalnya, temuan beberapa alamat perusahaan yang alamatnya hanya sebuah tanah kosong atau alamat kantor pemerintah. Audit dana kampanye pasangan SBY-JK oleh akuntan publik pada saat itu juga menghasilkan sumbangan yang tidak bisa dikonfirmasi. Dalam sumbangan perseorangan SBY-JK, misalnya, ada jumlah sebesar Rp 550 juta yang tidak bisa dikonfirmasi, yang mewakili 66 persen dari total sampel audit. Demikian juga sumbangan perusahaan, yang bahkan lebih buruk, dengan temuan sumbangan tidak bisa dikonfirmasi sebesar 80 persen dari total sampel dengan nilai Rp 2,2 miliar.
Jika demikian fakta lapangannya, ungkapan Jusuf Kalla soal sumbangan Bakrie dapat mengarah pada pengaruh buruk bagi citra penyumbang dan penerima sumbangan. Aturan yang berkaitan dengan sumbangan kampanye calon presiden dan calon wakil presiden tahun 2004 memang sangat lemah. Penyumbang dapat saja menyumbang lewat rekening calon, karena sumbangan yang masuk dari jalur ini tidak dikenai batasan. Tetapi, untuk sumbangan yang cukup signifikan dan telah melanggar batasan, seharusnya tidak ditutupi identitasnya. Soal dana kampanye, mesti dijaga agar tidak ada kontrol berlebihan kuasa ekonomi atas urusan politik. Bikin usaha saja mesti jelas, modal berapa, pemilik sahamnya siapa. Biar juga jelas bagi-bagi untungnya. Tapi tentu saja akan berbeda jika politik dianggap warung bersama.
Ibrahim Fahmy Badoh; Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 12 Desember 2008