Trend Korupsi Wakil Rakyat
……” Kurang lebih, dalam karakter korupsi ini, kekuatan politik digunakan sebagai alat bagi kelompok bisnis untuk mendapatkan hak, konsensi, proyek, dan sejenisnya yang bertujuan mempertahankan dan mengembangkan skala keuntungan. Dengan kata lain, fungsi-fungsi konstitusional yang diberikan UUD 1945 terhadap anggota DPR “dijual” dengan imbalan uang untuk memperkaya kelompok bisnis “……
LAMA tak terdengar gebrakannya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menangkap-tangan seorang anggota DPR dari Fraksi PAN. Kerja keras tim KPK tentu patut diapresiasi. Apalagi, Abdul Hadi Djamal adalah anggota DPR ke-9 yang diproses oleh KPK terkait dugaan korupsi.
Seperti diketahui, Abdul Hadi ditangkap saat atas dugaan menerima uang dari komisaris PT Kurnia Jaya Wira Bakti. Sebagai alat bukti, KPK menyita uang senilai USD90.000 dan Rp54,5 juta.
Fenomena yang menarik, transaksi terjadi justru ketika masyarakat sama sekali belum melupakan Deklarasi Antikorupsi sejumlah pimpinan Partai Politik di KPK (25/2). Janji dan pernyataan yang dibacakan pimpinan partai politik itu terdengar sangat meyakinkan, seolah benar mereka tidak akan korupsi.
Tapi, kenyataan bicara sebaliknya. Dan, tentu saja hal ini akan dilihat secara sinis oleh publik. Sehingga, dalil bahwa deklarasi anti korupsi hanya bersifat seremonial terbukti. Toh, akhirnya satu orang anggota DPR tertangkap lagi dan sejumlah nama anggota DPR lainnya sempat dikaitkan dengan kasus ini.
….. “Partai bersangkutan mungkin akan bilang, itu ulah oknum yang tidak ada hubungaan dengan Partai, apalagi penyelenggaraan pemilu. Bantahan tersebut sah-sah saja, namun yang pasti tertangkapnya anggota DPR atas tuduhan korupsi sekaligus menegaskan bermasalahnya rekruitmen politik dan pengawasan internal parpol. Dengan kata lain, hal itu tidak dapat dikatakan sebagai kesalahan personal”…..
Politisi Busuk
Selain Abdul Hadi, publik tentu sudah sangat mengenal nama-nama anggota DPR lain seperti: Anthoni Zeidra Abidin, Hamka Yandhu, Noor Adenan Razak, Bulyan Royan, Al Amien Nasution, Sarjan Taher, Yusuf Emir Faisal dan Saleh Djasit. Tiga diantara delapan tersebut merupakan anggota dewan pada periode 1999-2004, dan sisanya duduk di DPR periode saat ini.
Mereka adalah orang yang dipilih rakyat pada pemilihan umum, yang rata-rata butuh 210 ribu suara untuk satu kursi di DPR-RI. Artinya, praktek korupsi yang dilakukan sama halnya dengan pengkhianatan terhadap kepercayaan yang diberikan ratusan ribu rakyat yang mencoblos nama mereka. Kebusukan inilah yang terus dipraktekkan sampai aparat legislatif ini benar-benar tertangkap tangan oleh KPK. Dan, kita tahu, masih banyak legislator lain yang belum dijerat meskipun sejumlah bukti seperti catatan aliran uang sudah ditangan penegak hukum. Sebagian besar mereka mungkin tersebar dalam catatan daftar calon legislatif di berbagai daerah di Indonesia.
Di level daerah bahkan ditunjukan potret yang lebih buram. Catatan ICW tentang putusan bebas/lepas kasus korupsi di pengadilan umum dari tahun 2005-2008 memperjelas posisi tersebut. Dari 1421 terdakwa yang terpantau, ternyata lebih dari 700 terdakwa yang diproses merupakan kader-kader Parpol, baik yang duduk di DPR, DPRD ataupun pemerintahan daerah.
Khusus untuk korupsi anggota DPR-RI yang ditangani KPK, ternyata terdapat trend yang menunjukan gejala yang sama. Modus yang digunakan rata-rata adalah suap dan hampir selalu berhubungan dengan pemenuhan kepentingan kelompok bisnis. Biasanya terkait dengan proyek-proyek pembangunan dan pengadaan barang; kebijakan ahli fungsi status hutan; dan bahkan upaya menghambat penyelesaian proses hukum seperti BLBI.
Sehingga, agaknya tesis Korupsi Politik terpenuhi pada kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR. Kurang lebih, dalam karakter korupsi ini, kekuatan politik digunakan sebagai alat bagi kelompok bisnis untuk mendapatkan hak, konsensi, proyek, dan sejenisnya yang bertujuan mempertahankan dan mengembangkan skala keuntungan. Dengan kata lain, fungsi-fungsi konstitusional yang diberikan UUD 1945 terhadap anggota DPR “dijual” dengan imbalan uang untuk memperkaya kelompok bisnis.
Dikaitkan dengan Deklarasi Anti Korupsi sejumlah Partai Politik di KPK, maka argumentasi Korupsi Politik inilah yang menjadi dasar, bahwa deklarasi yang bersifat seremoni tidak akan banyak membantu pemberantasan korupsi di sektor parlemen, legislatif dan partai politik. Karena sector ini punya karakter tersendiri yang tidak hanya dapat “diobati” dengan resep tradisional atau konvensional seperti yang sekarang diterapkan.
Dalam istilah berbeda, korupsi jenis ini agaknya dapat dibaca dengan term “State Capture”. Kurang lebih berarti, korupsi yang berakibat pembajakan fungsi Negara sebagai pelayan masyarakat, penjaga kepastian hukum dan segala tugas lainnya yang diberikan undang-undang. Jika ingin mengobati, pertanyaan pertama yang harus dijawab adalah, “dimana akar korupsi tersebut?”. Mungkin salah satunya terletak pada pengaturan, transparansi dan akuntabilitas dana kampanye.
Menjelang pemilu 2009, isu inilah yang dinilai paling sensitif dan menyentuh kepentingan banyak pihak. Jika seorang caleg atau sebuah partai politik didanai oleh kelompok bisnis tertentu, maka dapat diperkirakan segala kebijakan saat mereka berkuasa akan menguntungkan pebisnis tersebut. Sedangkan untuk memelihara “kesetian” anggota DPR, maka stimulus-stimulus suap diberikan jika ada proyek atau konsensi yang harus didapatkan. Sehingga, praktek pemberian uang dalam berbagai bentuk yang melibatkan anggota DPR hampir tidak mungkin dihentikan jika akar persoalan tidak menjadi prioritas penegak hokum.
Melakukan penjebakan, penyadapan dan penangkapan di lokasi memang akan membuat KPK menuai pujian. Akan tetapi dalam jangka panjang, mengingat semakin canggihnya cara dan tekhnis korupsi, maka penangkapan demi penangkapan tidak akan terlalu memberi efek jera jika tidak diikuti strategi yang lebih mendasar. KPK sebenarnya bisa melakukan investigasi pendanaan partai politik dan memetakan jaringan aktor penyumbang parpol dengan kelompok bisnis. Sehingga, jika ada satu anggota DPR yang tertangkap, KPK bisa paham siapa aktor utama korupsi wakil rakyat itu.
Selain itu, jika sudah sampai di pengadilan, sebaiknya KPK menuntut maksimal, berupaya membuktikan setiap unsur delik. Sehingga hakim mau tidak mau juga harus menjatuhkan hukuman tertinggi. Membaca kasus korupsi yang melibatkan anggota parlemen memang tidak boleh sepotong-sepotong. Ia harus dilihat sebagai bagian yang utuh dari trend penkhianatan pada wakil rakyat.
Febri Diansyah, peneliti hukum ICW
Tulisan ini disalin dari Seputar Indonesia, Jumat 6 November 2009