Tim Independen dan Blunder Presiden
PRESIDEN SBY seperti ''menjilat'' ludah sendiri. Setelah sempat mengatakan dengan gagah berani bahwa dirinya netral-tidak akan ikut campur atau mengintervensi proses hukum kasus Bibit-Chandra, tak sampai seminggu, presiden akhirnya membentuk Tim Independen Klarifikasi Fakta dan Proses Hukum (TIKFPH).
Tim itu dibentuk presiden setelah tensi masyarakat meninggi. Nama-nama populer seperti Adnan Buyung Nasution, Koesparmono Irsan, Denny Indrayana, Todung Mulya Lubis, Anies Baswedan, Hikmahanto Juwana, Komaruddin Hidayat, dan pengacara Amir Syamsuddin dipilih presiden untuk ''menenangkan'' rasa muak rakyat.
Diharapkan dalam waktu 2 (dua) minggu tim itu bisa bekerja mencari dan mengumpulkan fakta-fakta yang kemudian disampaikan dalam bentuk rekomendasi kepada presiden.
Kalau mau jujur, sebenarnya yang dilakukan SBY itu merupakan suatu keterlambatan kalau tidak mau dibilang sebagai koreksi atas blunder yang dilakukan. Dikatakan blunder karena pernyataan resmi SBY tersebut telah menimbulkan kekacauan dalam logika berpikir pemberantasan korupsi.
Presiden seolah-olah ingin terlihat sebagai ''penguasa yang baik'' dengan mencoba tidak ikut campur dalam proses hukum. Padahal, jika disimak, presiden telah menunjukkan keberpihakannya ke arah yang berlawanan dengan rasa keadilan publik.
Pertama, presiden telah bersikap berpihak dengan menghardik persepsi rakyat yang menduga adanya upaya kriminalisasi wewenang. Kedua, presiden ternyata telah ''ikut campur'' dalam permasalahan ini secara politis dan hukum yang terobjektifkan dari keluarnya perppu kontroversial untuk penunjukan langsung Plt pimpinan KPK disertai keppres pembentukan tim lima untuk membantunya memilih Plt pimpinan KPK.
Ketiga, presiden menyatakan bahwa dirinya akan menjadi panglima perang terhadap pihak-pihak anti pemberantasan korupsi. Namun, di sisi lain, saat KPK membutuhkan dukungan politik untuk mempertahankan keberadaannya, presiden sebagai kepala negara malah sengaja mencuci tangan.
Ikhwal blunder paling rasional yang bisa dijangkau akal adalah karena kesalahan presiden dalam melakukan kalkulasi politik. Mungkin asumsi yang dipegang sebelumnya adalah dengan menempatkan dirinya di posisi netral, rakyat akan kembali tenteram dan citranya sebagai pro pemberantasan korupsi terjaga. Sayangnya, presiden lupa bahwa rakyat saat ini bukanlah rakyat yang bisa diperlakukan seenaknya.
Tinta sejarah mencatat, setidaknya pemidanaan Pollycarpus dalam kasus pembunuhan Munir layak diangkat menjadi preseden cukup baik bagaimana lembaga independen ternyata mampu berperan banyak dalam menyingkap tabir-tabir gelap yang biasanya dalam banyak kasus sering ''diperjualbelikan'' oleh penegak hukum korup karena tidak berjalannya pengawasan internal dan hilangnya etika moralitas.
Dikatakan cukup berhasil karena sampai detik ini masih banyak selimut kegelapan yang melingkupi kasus tersebut. Dalang yang bermain di balik layar belum tersingkap dan terungkap.
Namun, tanpa bermaksud mengerdilkan keberadaan dan lembaga independen hasil akomodasi politik, sebenarnya dalam perspektif yuridis-normatif, pembentukan lembaga semacam itu patutlah kita sambut dengan rasa kekhawatiran yang besar. Itu menandakan bahwa sistem penegakan hukum dan pencarian keadilan yang termasuk dalam agenda penting reformasi dasawarsa silam masih berjalan di tempat atau mungkin bisa dikategorikan berjalan mundur.
Penguasa sekarang mungkin bisa berdalih dan membantah hal tersebut dengan memberi contoh adanya gebrakan-gebrakan yang dilakukan dalam upaya pemberantasan korupsi, terbukti hampir dari semua lini kekuasaan pernah dijadikan pesakitan hukum KPK.
Fakta itu benar, namun kurang berhasil mencerminkan realitas sesungguhnya penegakan hukum. Sebab, sesungguhnya seluruh gebrakan yang terlihat besar tersebut dilakukan KPK yang notabene merupakan lembaga yang lahir di luar kewajaran, yang dibentuk juga dari hasil pembuahan kegagalan plus nirkepercayaan pencari keadilan.
Intinya, ''gejala baik'' tersebut tidak dilahirkan dari suatu lembaga asli, hasil desain resmi sistem pengelolaan kekuasaan penyelenggaraan kekuasaan yang normal sebagaimana yang diamanatkan konstitusi. Ironisnya, KPK yang memberi secercah harapan justru hendak dimatikan.
Realitas penegakan hukum berjalan mundur: kalau tak ada peran publik, aparat penegak hukum cenderung menyelewengkan kekuasaannya dengan leluasa melakukan praktik jual beli perkara.
Kembali kepada lembaga independen pencari fakta yang dibentuk presiden sebagai akomodasi tuntutan rakyat. Jika kita mengacu pada konsep sistem peradilan pidana terpadu kita, lembaga independen itu tidaklah kita kenal. Sebab, alurnya sudah jelas bahwa penegakan hukum publik berangkat dari subsistem kepolisian, subsistem kejaksaan, dan bermuara di subsistem peradilan pidana.
Presiden, apalagi tim independen, tidaklah masuk dalam bingkai sistem tersebut. Di titik semacam ini, terbentuknya TIKFPH setelah presiden menyatakan sikapnya semakin menambah tebal keraguan kita akan komitmen pemberantasan korupsi.
Mengapa? Pertama, tidak ada jaminan bahwa presiden akan mampu menerima dan melaksanakan sepenuhnya rekomendasi yang diberikan. Kedua, jika TIKFPH hanya berfungsi sebagai pemberi rekomendasi bagi presiden sebelum melakukan, katakanlah ''intervensi hukum'', sebenarnya tanpa membentuk tim semacam itu, seharusnya presiden sudah tahu harus bersikap dan mengambil kebijakan apa.
Sebab, ada atau tidak ada rekomendasi, sebagai kepala negara yang selalu menjargonkan dirinya antikorupsi, presiden bisa memerintah Kapolri untuk segera menghentikan penyidikan atau setidak-tidaknya membebaskan Bibit-Chandra dari penahanan konyol yang dilakukan polisi. (*)
BOBBY R. MANALU, praktisi hukum pada Fredrik J. Pinakunary Law Offices, Jakarta, mahasiswa Pascasarjana Program Magister Hukum UGM
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 3 November 2009