Teror dan Tingkat Korupsi
Dalam sebuah kota yang dikuasai penjahat, sang pahlawan justru dianggap aneh, diasingkan, dikucilkan, diteror, dibunuh. Tesis sederhananya adalah, semakin korup sebuah negara, maka teror kepada kelompok antikorupsi dipastikan akan semakin kuat. Kecenderungan ini sangat mudah diuji jika mengacu pada fakta-fakta yang pernah terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia.
Dalam banyak kasus di negara lain, aktor utama yang memusuhi gerakan antikorupsi justru datang dari pemerintah (executive heavy). Di Hong Kong (1977), misalnya, ribuan polisi melakukan perlawanan balik terhadap Komisi Independen Melawan Korupsi (ICAC) karena menangkap ratusan polisi yang diduga melakukan korupsi. Di Malaysia, penyidik Komisi Anti-Korupsi Malaysia (MACC) ditembak polisi setempat karena menangani kasus korupsi yang melibatkan anggota Polis Diraja Malaysia. Terakhir, di Afganistan (2017) terjadi pembunuhan terhadap dua pejabat Pusat Keadilan Kejahatan Anti-Korupsi Afganistan (ACJC).
Dalam konteks yang lebih sistematis, serangan balik tidak hanya ditujukan terhadap individu tertentu, tapi juga terhadap institusi. Misalkan, dalam kasus di Korea Selatan (2008), Komisi Independen Anti-Korupsi Korea (KICAC) dibubarkan dan dilebur ke komisi negara lainnya karena dianggap mengganggu hubungan pemerintah dan pengusaha.
Bagi Indonesia, sejarah kelam dan teror semacam ini telah lama terjadi, dari kriminalisasi terhadap komisioner KPK, pegawai KPK, hingga penganiayaan terhadap aktivis antikorupsi. Modus dan modelnya juga hampir sama dengan apa yang terjadi terhadap personel maupun lembaga antikorupsi di berbagai negara.
Dengan berbagai rentetan kasus yang terjadi, kriminalisasi tersebut pada akhirnya dihentikan prosesnya, termasuk penganiayaan terhadap aktivis antikorupsi yang juga tak pernah terungkap siapa pelakunya. Situasi ini bukanlah sekadar persoalan lemahnya penegakan hukum, tetapi lebih besar dari itu, menjadi cermin lemahnya posisi negara ketika berhadapan dengan pihak-pihak yang dirugikan oleh gencarnya pemberantasan korupsi.
Secara hukum sudah begitu banyak regulasi yang dilahirkan untuk memperkuat gerakan antikorupsi, seperti sarana perlindungan hukum bagi masyarakat untuk terlibat dalam pemberantasan korupsi, termasuk melahirkan badan antikorupsi yang secara institusi sangat independen dan kuat. Namun semua regulasi ini tiba-tiba "runtuh" ketika institusi sekuat KPK mulai digoyang, tidak hanya secara hukum, tapi juga melalui jalur politik.
Situasi ini menggambarkan bahwa pemberantasan korupsi memang tidak cukup dengan menelurkan beragam aturan, menghasilkan ribuan pakta integritas, hingga jutaan spanduk antikorupsi. Profesor Satjipto Rahardjo (2000) dulu pernah menyampaikan bahwa kepastian hukum tidak akan dapat diraih jika hanya menghasilkan sebuah undang-undang. Proses semacam ini justru hanya memunculkan kepastian peraturan. Kepastian hukum terletak dalam kawasan perilaku. Ia tidak berbicara mengenai "aturan dan logika", melainkan "struktur sosial dan perilaku".
Jika menggunakan pendekatan ini, ada dua hal yang menjadi persoalan utama. Pertama, hukum antikorupsi gagal memberikan kepastian hukum, baik bagi lembaga/badan antikorupsi maupun masyarakat. Hukum antikorupsi hanya dilihat dalam konteks di mana pengaturannya, apakah di konstitusi, undang-undang, atau bahkan di level aturan teknis sekalipun. Jika hanya berfokus terhadap hal tersebut, kita hanya menciptakan tumpukan "sampah" aturan. Dalam konteks pembuatan aturan memang terlihat lebih maju, termasuk inisiatif global yang diadopsi ke dalam kerangka hukum, seperti ratifikasi Kovenan Internasional tentang Antikorupsi (UNCAC) dan Kemitraan Pemerintah yang Terbuka (OGP).
Kedua, bagaimana kondisi struktur sosial dan perilaku elite serta masyarakat terhadap beragam hukum antikorupsi yang telah dilahirkan. Jika melihat situasi di tataran elite, khususnya lembaga politik, hukum antikorupsi cenderung dilihat sebagai ancaman. Minimal mereka tidak akan secara "vulgar" melakukan perlawanan terhadap gerakan antikorupsi.
Di sisi lain, pemerintah seperti mengalami disorientasi. Dalam kasus tertentu, misalnya, terlihat lambannya respons terhadap kriminalisasi pemimpin KPK pada 2015. Bahkan bagi institusi penegak hukum terlihat lebih nyata. Praktik kriminalisasi hingga lambannya proses hukum terhadap kasus teror/penganiayaan yang menimpa penyidik KPK dan aktivis antikorupsi setidaknya mengindikasikan hal tersebut.
Fakta ini kemudian mendapat respons yang kurang baik dari masyarakat. Persepsi publik terhadap kinerja pemberantasan korupsi oleh negara mengalami tekanan yang luar biasa. Walhasil, tingkat korupsi di Indonesia tidaklah menggambarkan hasil yang menggembirakan. Kuncinya tentu ada pada presiden sebagai kepala negara. Jika presiden terlalu lamban dalam merespons situasi yang tidak menguntungkan pemberantasan korupsi, maka jangan berharap tingkat korupsi akan mengalami perbaikan.
Reza Syawawi, Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia
------------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Tempo edisi 5 Juni 2017, dengan judul "Teror dan Tingkat Korupsi".