Tantangan Deklarasi GM
TIBA-TIBA saja Presiden SBY mengeluarkan istilah ganyang mafia (GM). Presiden mengharapkan partisipasi masyarakat yang menjadi korban mafia kasus-kasus hukum untuk segera melaporkan ke PO BOX 9949 JKT 10000 dengan kode khusus "GM" di ujung amplop.
Ada apa di balik deklarasi GM? Seberapa jauh laporan publik itu akan ditindaklanjuti pemerintah, dalam hal ini presiden?
Sebatas Saluran
Sebenarnya bukan hanya kali ini presiden membuka saluran-saluran demikian agar rakyat dapat mengadukan permasalahannya. Masalahnya, bagaimana tindak lanjut semua itu. Bukankah sebelumnya juga ada SMS 9949 (hari lahir SBY) sebagai saluran khusus? Tetapi, semua itu wujudnya hanya saluran semata.
Tindak lanjut laporan-laporan itu hanya berupa NATO (no action, talk only). Saya akhirnya teringat satu kisah lama, dahulu ada seorang petani (wong cilik) yang mengirimkan surat ke bupati. Tetapi, lama sekali surat itu baru dibuka. Walhasil, setelah surat itu dibuka, dan orang tersebut dicari, yang empunya surat telah meninggal. Kisah demikian pernah terjadi pada zaman kolonial Belanda.
Akankah SMS 9949 dan PO BOX 9949 bernasib seperti itu? Bukankah telah ada Komisi Yudisial (KY) yang resmi didirikan oleh UUD Negara RI 1945? Mengapa presiden tidak memaksimalkan saja KY tersebut? Atau memaksimalkan institusi-institusi pengawasan jaksa, kepolisian, dan pengadilan yang sudah ada. Jangan-jangan deklarasi ini justru sebagai puncak kebingungan presiden untuk meredam emosi masyarakat.
Jika sifatnya hanya saluran, lalu apa arti SMS 9949 dan PO BOX 9949 JKT 10000 itu sendiri? Apakah saluran ini akan efektif untuk memberantas mafia peradilan?
Ciri Gerombolan Mafia
Seberapa jauh efektivitas PO BOX 9949 JKT 10000 yang telah dideklarasikan sebagai ganyang mafia? Mafia di sini tentu yang dimaksudkan adalah mafia peradilan. Tetapi, jika kita melihat kasus Anggodo Widjojo dan hasil rekaman di MK, misalnya, justru kita menyaksikan drama bahwa begitu sulitnya Tim 8 menyuruh Susno Duadji mundur dari jabatan. Sepertinya, telah pula ada semacam GM (gerombolan atau geng mafia) yang malang melintang dalam dunia hukum kita.
Ciri-ciri gerombolan mafia itu adalah pertama, melibatkan orang dalam; kedua, pola hubungannya cenderung simbiosis mutualisme, pola saling menguntungkan antara satu dengan yang lain; ketiga, lemahnya pengawasan dan kontrol.
Jika kita menyaksikan film-film gangster, sebagai sebuah kisah nyata dari berbagai belahan dunia, tampaknya gerombolan mafia ini dalam istilah ilmu-ilmu sosial dimulai dari orang kuat (wong kuat). Dalam istilah Jawa disebut jago, bleter (istilah Madura) dan mungkin jawara dalam kasus di Banten. Keberadaan orang kuat -seperti cukong-cukong, suatu istilah untuk kelompok Tionghoa- adalah ancaman nyata bagi proses hukum kita.
Anggodo Widjojo adalah salah satu contoh karut-marut mafia peradilan ini. Masih banyak Anggodo lain di sejumlah daerah. Salah satu permasalahannya, hukum dan perilaku para penegak hukum cenderung membela orang kuat, orang kaya, orang yang mampu membayar.
Tidak ada pelayanan yang gratis. Mungkin kata ini relatif tetap kita gunakan dalam berbagai kasus yang menimpa masyarakat dalam mencari keadilan. Iklan yang juga pernah muncul di koran dan televisi, kalau bisa dipermudah mengapa dipersulit. Bagi birokrasi dan para penegak hukum, gejala yang sulit dipermudah dan mudah dipersulit begitu sering dialami masyarakat secara luas.
Gejala demikian telah menjadi lingkaran setan (vicious cirle) di Indonesia, sebuah budaya yang sepertinya telah terpatri. Tidak pernah ada cerita para pejabat yang memegang amanah itu malu dan kemudian mengundurkan diri. Pengunduran diri Susno Duadji, Ritongga (wakil Jaksa Agung) -meski disebut bukan karena tekanan- saya kira masyarakat umum sudah mafhum. Mereka tidak akan mundur jika MK tidak pernah memutar rekaman.
Sanksi Tegas
Karena itu, jangan sampai PO BOX 9949 JKT 10000 dan deklarasi GM sebatas lips service. Pada awalnya memberikan harapan, tetapi sebenarnya hanyalah cek kosong. Tipe-tipe politik cek kosong seperti ini seyogianya ditinggalkan. Jangan sampai rakyat untuk kali kesekian dibuai oleh janji-janji.
Agar deklarasi GM itu punya arti, ada beberapa hal yang perlu ditindaklanjuti. Pertama, adanya sanksi tegas dan prosesnya cepat pada setiap pejabat yang tersangkut kasus-kasus percaloan dalam semua lini. Dalam konteks penegakan hukum, memaksimalkan peran lembaga pengawas seperti Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Komisi Yudisial, dan pengawasan internal Kejaksaan Agung menjadi aktor utamanya. Mereka harus berada pada garda depan.
Kedua, membenahi transparansi dan akuntabilitas lembaga-lembaga yang terkait dengan pelayanan publik. Tanpa ada proses yang transparan dalam setiap penanganan kasus-kasus yang dialami atau sedang dihadapi masyarakat, cerita Ganyang Mafia hanya akan menjadi dogeng di negeri mimpi.
Terakhir tapi penting adalah perubahan perilaku dan budaya para pejabat. Jangan lagi mereka meminta dilayani, tetapi berubahlah untuk melayani.
Moch. Nurhasim, peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI di Jakarta
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 9 November 2009