Surat Terbuka Kepada DPR Soal Penundaan Pengesahan RUU MA
Kepada Yth
Pimpinan DPR RI
Di Jakarta
Up. Seluruh Pimpinan Fraksi DPR RI
Perihal : Penundaan Pengesahan RUU Mahkamah Agung
Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama dengan Pemerintah saat ini tengah melakukan pembahasan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah Agung (disingkat RUU MA). Proses pembahasan RUU ini dilakukan melalui Panitia Kerja (Panja) Komisi III DPR yang beranggotakan 25 orang dan dipimpin oleh Ketua Komisi III DPR, Timedya Panjaitan.
Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dilakukan pada tanggal 18-21 September 2008 di Wisma DPR Kopo, Puncak, Jawa Barat, dan 25-26 September 2008 di Ruang Sidang Komisi III, DPR telah menghasilkan beberapa kesepakatan, menurut catatan kami terdapat beberapa hal yang perlu dikritisi dari proses penyusunan dan subtansi RUU MA yang telah disepakati sebagai berikut:
A. Proses Pembahasan
Pembahasan RUU MA Tertutup dan Tidak Transparan
·
Proses pembahasan RUU MA yang dilakukan oleh DPR bersama dengan pemerintah dilakukan secara tertutup. Publik tidak pernah mendapatkan informasi perihal jadwal proses pembahasan RUU MA yang akan dilakukan. Pada sisi yang lain, Komisi III DPR tidak pernah membuka ruang bagi publik untuk memberikan masukan terhadap subtansi yang sedang dibahas.
·
Proses pembahasan yang dilakukan secara tertutup dan dipaksakan untuk dipercepat telah menimbulkan kecurigaan adanya kepentingan atau pesanan pihak tertentu. Hal ini juga akan berdampak pada menurunnya citra DPR di mata masyarakat serta adanya pengabaian hak dan kepentingan publik oleh DPR.
·
Dengan tidak membuka ruang bagi publik untuk memberikan masukan secara subtansi, maka Komisi III DPR telah berpotensi melanggar asas Keterbukaan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf (g) UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
·
Dalam bagian penjelasan Pasal disebutkan bahwa yang dimaksud dengan asas "keterbukaan" adalah proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka bagi publik untuk menyampaikan pendapat. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan Peraturan Perundang-undangan.
B. Subtansi dalam RUU MA
Beberapa ketentuan dalam RUU MA yang telah disepakati dalam Panja DPR dinilai kontroversial seperti penetapan usia pensiun hakim agung hingga 70 tahun, memberikan prioritas sebagai calon hakim agung kepada hakim dari karir, penetapan kriteria usia calon hakim agung yaitu minimal 45 tahun tanpa ada batasan usia maksimal, dan penetapan calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial dipilih oleh DPR 1 (satu) orang dari 3 nama calon untuk setiap lowongan.
Apabila ketentuan ini disahkan maka Kami menilai akan menghambat reformasi dan regenerasi di Mahkamah Agung serta dapat mendeligitimasi fungsi Komisi Yudisial khususnya dalam melakukan proses seleksi calon hakim agung.
C. Mencoreng Integritas Mahkamah Agung
Kepercayaan publik saat ini terhadap lembaga peradilan khususnya Mahkamah Agung sangatlah rendah. Hal ini terbukti dari berbagai survey yang ada, baik Corruption Perception Index, maupun PERC. Pembahasan RUU MA saat ini, khususnya pada point usia pensiun Hakim Agung menjadi 70 tahun, semakin membuat citra Mahkamah Agung semakin rendah di mata publik. Reformasi Peradilan yang saat ini pun telah dinilai publik berjalan sangat lamban pun semakin menjadi tak bernilai di mata publik.
Kami menilai jika usulan perpanjangan usia pensiun menjadi 70 tahun tersebut disetujui oleh DPR maka hal tersebut sama saja dengan menghancurkan kepercayaan publik terhadap Mahkamah Agung, serta kami nilai sebagai bentuk intervensi politik DPR dan Pemerintah atas Kekuasaan Kehakiman, karena usulan tersebut telah menarik Mahkamah Agung ke dalam dunia politik.
Usulan perpanjangan usia pensiun Hakim Agung saat ini tidak akan banyak manfaatnya, setidaknya tidak sebanding dengan kerugian yang akan dihasilkan. Citra Mahkamah Agung, citra DPR dan partai-partai yang ada didalamnya, citra Presiden dan pemerintah, semuanya akan tercoreng. Upaya reformasi peradilan yang telah berjalan selama 8 tahun tak akan ada nilainya di mata publik hanya karena perubahan 1 ayat dalam UU MA.
Berdasarkan uraian diatas kami meminta Dewan Perwakilan Rakyat:
1.
Menunda pengesahan RUU MA
Pengesahan RUU MA harus dilakukan bersama dengan RUU Mahkamah Konstitusi dan RUU Komisi Yudisial .
2.
Membahas ulang beberapa subtansi dalam RUU MA yang dinilai kontroversial
Komisi III DPR perlu membuka kembali proses pembahasan RUU MA tersebut dan harus disinkronisasikan dengan pembahasan RUU Mahkamah Konstitusi dan RUU Komisi Yudisial. Proses pembahasan juga harus dilakukan dengan melibatkan partisipasi masyarakat secara lebih luas baik dalam memberikan masukan maupun melakukan pemantauan selama proses pembahasan di DPR.
Apabila DPR masih tetap memaksakan diri untuk tetap mengesahkan RUU MA dalam Rapat Paripurna pada tanggal 6 Oktober 2008 nanti, dengan ini Kami menyatakan akan mengajukan permohonan uji formil terhadap UU MA yang disahkan tersebut kepada Mahkamah Konsitusi agar hal ini dapat dibatalkan.
Jakarta, 28 September 2008
ALIANSI PENYELAMAT MAHKAMAH AGUNG
1.
Hasril Hertanto (Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia)
2.
Arsil (Lembaga Kajian dan Advokasi Untuk Independensi Peradilan)
3.
Wahyudi Djafar (Konsorsium Reformasi Hukum Nasional)
4.
Emerson Yuntho (Indonesia Corruption Watch)
5.
Uli Parulian (Indonesia Legal Resource Centre)
6.
Arya Suyudi (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan)
7.
Hermawanto (LBH Jakarta)
8.
Zainal Arifin Mochtar Husein (PUKAT UGM)