“Surat Cinta” Century
Gerimis pada awal 2012 belum mampu mendinginkan polemik penalangan Century yang terjadi hampir empat tahun lalu. Sepenggal pidato Presiden SBY satu hari pascahasil angket Century mulai dipertanyakan lantaran tiga surat mantan Menteri Keuangan dan Ketua KSSK.
”Sekali lagi, saat pengambilan keputusan itu saya sedang berada di luar negeri. Saya memang tidak dimintai keputusan dan arahan....”
Itulah kutipan transkripsi pidato Presiden Yudhoyono di Istana Negara, 4 Maret 2010, yang tertulis di laman www.presidensby.info. Di sana, Presiden bilang, ketika kebijakan bailout diambil, SBY mengikuti KTT G-20 di Amerika Serikat dan APEC di Peru.
Masih di pidato yang sama, dikatakan, berdasarkan Perppu Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK), pengambilan keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) tidak butuh keterlibatan Presiden.
Tentu tidak berlebihan jika saya memaknai pidato itu bahwa salah ataupun benar kebijakan penalangan Bank Century adalah tanggung jawab KSSK. Sebuah Komite Stabilitas Sistem Keuangan yang hanya terdiri atas dua orang, yaitu Menteri Keuangan sebagai ketua dan Gubernur Bank Indonesia sebagai anggota (Pasal 5). Sempurna?
Terselubung
Tak ada gading yang tak retak. Tampaknya ada yang lupa, Pasal 9 Perppu No 4/2008 tentang JPSK mengatur, ”KSSK menyampaikan laporan mengenai pencegahan dan penanganan krisis kepada Presiden”. Mungkinkah keputusan KSSK yang menetapkan Bank Century sebagai bank gagal yang berdampak sistemis dan kemudian menyerahkan penanganan kepada LPS (21/10/2008) tidak dilaporkan kepada Presiden? Jika KSSK tak melaporkan, dengan mudah kita bisa katakan bahwa keputusan KSSK tersebut cacat hukum.
Namun, beberapa lembar surat KSSK membuka tirai yang selama ini masih samar. Jika tanggal surat (25/11/2008) itu benar, artinya Presiden diberi tahu empat hari pasca-bailout Century dilakukan. Saat itu, mengacu pada audit investigatif BPK, pencairan tahap I senilai Rp 2,7 triliun telah terjadi (23/11/2008). Tiga tahap pencairan dana lainnya yang belum dilakukan adalah Rp 2,2 triliun, Rp 1,1 triliun, dan Rp 630 miliar. Namun, tercatat sehari sebelum pencairan tahap I ini (22/11/2008), laporan lisan juga sudah dilakukan kepada Wakil Presiden.
Selain itu, laporan KSSK kepada Presiden tak berhenti sampai di sini. Dua surat berikutnya dikirim masing-masing pada 4 Februari dan 29 Agustus 2009. Lantas, apa yang bisa dibaca dari surat-surat tersebut?
Sejumlah media sudah membuka fakta ini. Untuk kepentingan mengungkap kebenaran yang lebih substansial, pihak-pihak yang berwenang harus menelusuri lebih jauh makna komunikasi tersebut. Berdasarkan fakta yang terungkap, setidaknya kita tahu pihak-pihak yang harus bertanggung jawab.
Kebenaran vs Kebenaran
Polemik lain yang belum terjawab hingga saat ini adalah kisruh politik tentang penuntasan kasus Bank Century. Hasil angket menyimpulkan adanya penyimpangan pada kebijakan dan aliran dana talangan Century. Bahkan, pansus yang dibentuk saat itu menyebutkan pihak-pihak yang harus bertanggung jawab, dua di antaranya adalah mantan Gubernur BI yang sekarang menjadi Wakil Presiden dan mantan Menteri Keuangan. Opsi C ini menang dalam pemungutan suara pada Rapat Paripurna DPR.
Diterima atau tidak, menurut saya, opsi C adalah sebuah kebenaran politik. Ia lahir dari proses politik yang dijamin konstitusi.
Namun, pertanyaannya, dapatkah kebenaran politik tersebut dipaksakan menjadi kebenaran hukum? Tunggu dulu. Jika hal ini dibiarkan, yang akan terjadi adalah arogansi politik terhadap hukum atau bahkan bukan tidak mungkin menjadi intervensi politik.
Oleh karena itu, saya cenderung berpendirian bahwa hak konstitusional dan fungsi pengawasannya—jika ingin diteruskan—haruslah pada jalurnya. Jalur tersebut adalah melalui penggunaan hak menyatakan pendapat yang dimiliki DPR dan Mahkamah Konstitusi (MK).
DPR juga tidak bisa berkilah bahwa semua sudah diserahkan kepada KPK. Karena sebelum DPR bekerja sebenarnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah memulai penelusuran skandal Century. Bahkan, KPK-lah yang meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit, bukan DPR.
Jika DPR masih bersikukuh menunggu KPK, sama artinya proses pansus angket Bank Century yang lalu itu sekadar buang-buang uang negara. Untuk apa ada pansus yang berbiaya mahal jika akhirnya kembali ke proses hukum yang sebelumnya bahkan telah dimulai?
Bagi saya, hak menyatakan pendapat tidaklah perlu ditakuti oleh kedua belah pihak. Justru kepastian hukum akan didapatkan melalui proses persidangan di MK. DPR wajib membuktikan tuduhannya dan pihak yang dituduh dapat membantah. Hakimlah yang akan memutuskan. Saya sendiri cenderung lebih percaya integritas MK. Tentu tetap dengan pengawasan yang ketat dari publik.
Di titik itulah kebenaran hukum yang didapatkan melalui proses hukum pidana di kepolisian, kejaksaan, dan KPK harus berjalan terpisah. DPR cukup mengawasi, bukan intervensi. Khusus untuk KPK, pimpinan yang baru ditagih komitmennya dalam pemberantasan korupsi untuk menuntaskan skandal Century ini. Beberapa celah yang ditemukan dalam audit investigatif dan audit forensik BPK bisa dijadikan modal awal membongkar lebih lanjut. KPK diharapkan segera meningkatkan status penanganan kasus Century ke penyidikan.
Publik Masih Menunggu
Dugaan adanya unsur melawan hukum terkait pengawasan BI, laporan tentang keadaan Bank Century sebagai dasar fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP), pelanggaran CAR, aliran dana Rp 1 miliar kepada salah satu petinggi BI, aliran dana dari salah satu buron dalam kasus Century ke politisi, atau aliran dana lain yang diungkap di audit forensik BPK sangat mungkin dibongkar.
Demikian juga dengan dugaan cacat hukum bailout karena berdasarkan UU Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) hanya Komite Koordinasi (KK) yang berwenang membuat kebijakan penyelamatan bank gagal berdampak sistemis. Selain terdiri dari Menteri Keuangan dan Gubernur BI, Lembaga Pengawas Perbankan (LPP) dan LPS adalah anggota KK yang berwenang ikut mengambil keputusan. Berbeda dengan KSSK yang disiapkan sedemikian rupa oleh Perppu No 4/2008. Perppu tampaknya menghilangkan unsur LPP dan LPS sebagai pihak yang bisa mengambil keputusan.
Lebih dari itu, jika KPK mampu, bukan tidak mungkin rantai yang hilang pada penerbitan Perppu JPSK, perubahan Peraturan BI, pencairan dana penyertaan modal sementara Rp 2,8 triliun yang masih dilakukan meski perppu tidak diterima DPR bisa diungkap.
Salah satu yang perlu didalami adalah apakah ada konflik kepentingan dan niat jahat di balik kebijakan tersebut. Biasanya unsur itu bisa dibuktikan dengan adanya aliran dana berupa kickback kepada pengambil kebijakan langsung atau pihak-pihak yang masih punya afiliasi terhadap pejabat tersebut. Bisa melalui organisasi seperti yayasan, perusahaan, atau bahkan partai. Atau kemungkinan adanya persekongkolan untuk mendesain tabir hukum melalui kebijakan juga perlu ditelusuri.
Apa pun itu, publik sangat menanti kerja konkret KPK jilid III. Demikian juga DPR, tetapi janganlah mencampuradukkan kebenaran politik dan memaksakannya.
Silakan jalankan proses politik agar publik juga tidak disuguhi tontonan yang memuakkan tentang transaksi dan politik barter. Semoga saja ”surat cinta” ini bisa menjadi celah baru membongkar skandal Bank Century.
Febri Diansyah, PENELITI INDONESIA CORRUPTION WATCH
Tulisan ini disalin dari Kompas, 10 Januari 2012