Sosok Ideal Kapolri Baru
Tanggal 8 September 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan kepada publik rencana pemerintah mengangkat Kepala Polri baru sehubungan akan berakhirnya jabatan Kapolri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri.
Beberapa minggu sebelumnya, di media massa berkembang wacana tentang instansi mana yang bertanggung jawab dan berhak melakukan seleksi serta menyampaikan para calon yang layak kepada Presiden untuk kemudian akan dipilih oleh Presiden siapa di antara calon yang layak dan pas untuk diajukan kepada DPR guna memperoleh persetujuan DPR.
Dua instansi, Komisi Kepolisian Nasional (KKN) dan Kapolri, tampaknya bersaing untuk menyeleksi para calon sebagai bahan masukan kepada Presiden. Dengan merujuk Pasal 38 Ayat 1b Undang-Undang Kepolisian Negara RI, KKN mengklaim sebagai pihak yang bertanggung jawab dan berhak menyeleksi para calon sebagai bahan pertimbangan bagi Presiden. KKN mengklaim telah mengidentifikasi delapan calon dan berniat mengajak KPK, PPATK, dan Komnas HAM memverifikasi para calon.
Bebas kepentingan
Di sisi lain, Kepala Polri petahana merasa pihaknyalah yang berhak menyeleksi dan mengajukan calon kepada Presiden. Belakangan, Kepala Polri mengklaim telah mengajukan dua nama perwira tinggi Polri sebagai calon Kepala Polri baru kepada Presiden. Klaim ini mengundang protes dari KKN. UU memang tidak melarang Kepala Polri petahana serta Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi melakukan seleksi dan memberikan masukan kepada Presiden.
Namun, jelas, pengajuan calon oleh Kepala Polri petahana akan sangat berat dipengaruhi selera dan mungkin kepentingan subyektif. Sementara seleksi dan pengajuan calon oleh KKN relatif bebas dari selera dan kepentingan pribadi serta relatif lebih mudah diakses publik.
Drama persaingan antara KKN dan Kepala Polri dalam penyeleksian dan pemberian masukan calon Kepala Polri kepada Presiden menunjukkan Pasal 38 Ayat 1b UU tersebut belum diimplementasikan ke dalam aturan baku berkenaan dengan seleksi calon Kepala Polri sebagai bahan pertimbangan untuk Presiden.
Keadaan ini patut disesalkan dan dipertanyakan. Drama persaingan antara KKN dan Kepala Polri menggambarkan adanya kelemahan tugas koordinasi pada Menko Polhukam, dan bukan tak mungkin pada Presiden sendiri. Atau Presiden sengaja membiarkan berlangsungnya drama persaingan ini?
Sudah acap diungkapkan penting dan strategisnya posisi Kepala Polri dalam sistem penegakan hukum di Indonesia. Polisi merupakan subsistem dalam sistem penegakan hukum yang posisinya berada di hulu (permulaan), yang berarti setiap penanganan perkara hukum dimulai dari kantor polisi. Apakah suatu perkara hukum akan mengalir ke hilir, yakni penuntutan dan pengadilan, akan sangat bergantung pada kualitas penanganan di hulu, yaitu kantor polisi.
Sebagai subsistem penegakan hukum yang berada di hulu, oleh UU, polisi dibebani tugas pokok, yaitu a) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, b) menegakkan hukum, dan c) memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Untuk menjalankan tugas-tugas itu, kepolisian oleh UU diberi wewenang yang sangat luas.
Hampir setiap langkah dan napas kehidupan manusia di Indonesia tidak terlepas dari jangkauan wewenang polisi. Wewenang yang begitu luas dan dalam membuka kemungkinan penyalahgunaan dan korupsi oleh si pemegangnya. Oleh karena itu, perlu diimbangi pengawasan memadai, meliputi pengawasan hukum—yakni perangkat normatif, seperti, UU HAM, KUHAP, dan UU TUN yang dijalankan secara pasti oleh sistem internal polisi, pemerintah, dan pengadilan— pengawasan sosial oleh masyarakat dan media massa serta pengawasan politik oleh DPR.
Perlu terobosan
Meskipun boleh berbangga dengan prestasi dalam membasmi terorisme, secara umum kepolisian kita terpuruk. Polisi sekarang ini di mata masyarakat adalah sebuah realitas hukum dan kekuasaan yang sarat kekerasan dan kegagalan untuk menangani kasus-kasus kekerasan yang menimpa masyarakat, khususnya golongan minoritas, penyalahgunaan kekuasaan, serta korup, dari atas hingga bawah.
Laporan organisasi nonpemerintah yang kredibel, seperti Transparency Internasional dan ICW, yang menggambarkan persepsi masyarakat tentang tingginya tingkat korupsi di kepolisian, dan laporan Amnesti Internasional, Komnas HAM, Elsam, Imparsial, serta Kontras tentang berbagai kasus kekerasan oleh polisi, dan ketidakberdayaan polisi melindungi golongan minoritas yang mengalami kekerasan, membenarkan penilaian ini.
Keterpurukan Polri mencerminkan kegagalan pemerintah, yakni Presiden, DPR, serta KKN, dalam melakukan pengawasan terhadap Polri dan di atas semuanya itu karena diabaikannya suara kritis masyarakat. Menimbang dengan sungguh-sungguh keterpurukan Polri dalam pengangkatan Kepala Polri sekarang ini Presiden tidak bisa memperlakukannya as business as usual, harus ada terobosan. Demikian pula DPR dalam membahas usulan Presiden. Presiden dan DPR tidak cukup hanya membahas rekam jejak calon Kepala Polri.
Usulan calon Kepala Polri ke DPR harus disertai laporan hasil audit pemerintah tentang sebab-sebab keterpurukan Polri dan target apa yang harus dicapai dalam 1-2 tahun oleh Kepala Polri baru untuk memperbaikinya. Misalnya: a) menurunkan tingkat korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh polisi sampai angka tertentu, penuntasan kasus-kasus kekerasan oleh polisi sampai 50 persen, penyelesaian kasus-kasus kekerasan yang menimpa masyarakat sampai 70 persen, memperbaiki fasilitas dan kesejahteraan polisi sampai 50 persen, dan seterusnya.
Dengan demikian, ada alasan dan ukuran yang jelas untuk menyepakati pengangkatan Kepala Polri. Pembahasan mengenai rekam jejak calon Kepala Polri bisa saja jika menyangkut hal yang peka dan pribadi bersifat tertutup. Namun, pembahasan target yang harus dicapai oleh calon Kepala Polri oleh DPR harus bersifat terbuka. Masyarakat sipil harus diikutsertakan dalam menguji kesahihan target tersebut.
Keharusan pemerintah dan DPR membahas laporan analisis sebab-sebab keterpurukan Polri dan target bagi Kepala Polri baru untuk mengatasi adalah sejalan dengan ketentuan Pasal 11 Ayat 2 UU No 2/2002. Diharapkan, pemerintah, DPR, dan masyarakat sampai pada titik pandang yang sama atau mendekati dalam rangka memperbaiki Polri. Dengan demikian, pengangkatan Kepala Polri baru benar-benar didasarkan pada konsensus pemerintah dan DPR serta dukungan luas masyarakat.
Abdul Hakim G Nusantara, Advokat/Arbiter, Ketua Komnas HAM 2002-2007
Tulisan ini disalin dari Kompas, 21 September 2010