Seleksi Calon Anggota Pengganti Pimpinan KPK
Seleksi calon pimpinan KPK kali ini berbeda dengan seleksi pimpinan KPK jilid I dan jilid II karena seleksi ini terpaksa dilaksanakan akibat ditetapkannya Antasari Azhar sebagai terdakwa/terhukum oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Sesuai Pasal 33 Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, pemerintah diwajibkan melakukan seleksi untuk mencari calon anggota pengganti pimpinan KPK,bukan calon anggota pimpinan KPK. Ketentuan pasal tersebut memerintahkan agar proses pencarian calon anggota pengganti disamakan dengan proses pencarian calon anggota pimpinan KPK termasuk pemilihan dan penetapan ketua KPK sesuai bunyi ketentuan Pasal 29,Pasal 30 ayat (10),dan ayat (11) UU KPK.
Di dalam UU KPK ditentukan tata cara pemilihan dan penetapan lima calon pimpinan KPK oleh DPR dari sepuluh calon pimpinan yang diusulkan pemerintah. Kemudian DPR memilih dan menetapkan seorang ketua dan keempat anggota lainnya selaku wakil ketua. Bunyi ketentuan tersebut dalam keadaan normal (tanpa diperlukan penggantian) tentu dapat berjalan mulus tanpa hambatan dan dampak psikologis bagi kelima pimpinan KPK termasuk seorang ketuanya.
Namun, dalam proses seleksi calon anggota pengganti pimpinan KPK saat ini akan menimbulkan persoalan psikologis yang berdampak terhadap semangat dan solidaritas serta kolektivitas pimpinan KPK dalam sisa waktu (satu tahun) masa jabatannya. Selain masa jabatan dari calon terpilih anggota pengganti pimpinan KPK ini pun,masih ada perbedaan pendapat antara pemerintah dan DPR.
Seleksi kali ini hanya bertujuan memilih dan menetapkan satu calon anggota pengganti pimpinan KPK yang lowong, yaitu ketua KPK terpilih pengganti Antasari dari dua calon yang diusulkan pemerintah sesuai bunyi Pasal 30 ayat (13) UU KPK. Saat ini calon lolos seleksi administratif sebanyak 175 orang.Seluruh calon akan menjalankan tes integritas, makalah, dan wawancara final sehingga akan diperoleh dua orang calon saja.
Betapa sulitnya kerja Panitia Seleksi Capim KPK kali ini dibandingkan dengan pansel yang lampau.Persoalan psikologis yang berdampak terhadap solidaritas, semangat, dan kolektivitas pimpinan KPK–sesuai bunyi Pasal 21 ayat (5) UU KPK–bakal terjadi jika: pertama,calon terpilih nanti otomatis menduduki jabatan ketua KPK karena cara ini tidak sejalan dengan prinsip “fair competition” terhadap pimpinan KPK saat ini di mana terpilihnya ketua KPK ketika itu diikuti oleh seluruh anggota pimpinan KPK (lima orang) yang dipilih dan ditetapkan DPR dalam sidang terbuka.
Kedua,cara ini juga bertentangan dengan bunyi Pasal 33 UU KPK yang hanya menegaskan pemilihan yang bersifat adhocuntuk mengisi kekosongan pimpinan KPK, bukan ketua KPK.Ketiga, cara pemilihan dan penetapan calon anggota pengganti pimpinan yang serta merta menduduki jabatan ketua KPK bertentangan dengan semangat dan jiwa di balik ketentuan yang mewajibkan keputusan pimpinan KPK dilaksanakan secara kolektif.
Solusi dari persoalan psikologis dan hukum di atas adalah: pertama, mengikutsertakan seluruh pim-pinan KPK, termasuk yang terpilih sebagai anggota pengganti pimpinan mengikuti pemilihan dan penetapan ketua KPK.Kedua, pemerintah mengeluarkan perppu penetapan prosedur pemilihan dan penetapan calon ketua KPK sehubungan dengan pengisian kekosongan anggota pimpinan KPK sehingga seluruh pimpinan KPK termasuk yang terpilih dengan seleksi kali ini untuk dapat mengikuti proses pemilihan dan penetapan ketua KPK secara fairdan adil.
Selain itu, perppu tersebut dikeluarkan didasarkan atas pertimbangan bahwa solidaritas dan semangat kebersamaan untuk mengambil keputusan secara kolektif harus tetap terpelihara dalam mengambil keputusan yang bersifat strategis.Apalagi pimpinan KPK ke depan akan menghadapi tantangan yang sangat berat,yaitu menghadapi berbagai kasus korupsi multiaspek dan keterlibatan penyelenggara negara yang sarat muatan kepentingan kekuasaan dan politik.
Calon anggota pengganti pimpinan KPK sebaiknya harus berlatar belakang hukum dengan pengalaman minimal 10 tahun karena pekerjaan pimpinan KPK sangat teknis apalagi untuk jabatan ketua KPK. Karena itu, selain syarat integritas dan kejujuran, juga syarat keahlian dan pengalaman dalam bidang hukum acara pidana minimal 10 tahun tidak dapat ditawar- tawar lagi.
Apalagi keberhasilan kinerja KPK sangat tergantung dari pemahaman hal-hal yang bersifat teknis hukum acara pidana dan hukum materiil UU No 31/1999 yang diubah dengan UU No 20/2001,UU No 28/1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN; UU No 15/2002 yang diubah dengan UU No 25/2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan undang-undang lain yang memiliki ketentuan pidana seperti UU Perpajakan, UU Perbankan,UU Pasar Modal, serta undang-undang lain yang berkaitan dengan keuangan negara.
Atas dasar itu,bagi calon pengikut seleksi, tidak ada istilah cobacoba dan peruntungan apalagi hanya “job seeker”atau mencari popularitas. Apalagi jika melihat tugas dan wewenang luar biasa yang dimiliki pimpinan KPK berdasarkan UU KPK yang rentan terhadap “abuse of power” dan rentan terhadap praktik korupsi (power tends to corrupt). Pimpinan KPK dalam lima tahun yang akan datang tidak akan berhenti dari perlawanan dari kroni koruptor dari berbagai latar belakang sosial,ekonomi,dan politik, juga dari ancaman dan bahaya serius dengan risiko seperti pada kasus Antasari, Bibit, dan Chandra.
Pengamatan yang mendalam terhadap gerakan antikorupsi di Indonesia dan kinerja KPK sebagai lembaga independen mem-buktikan bahwa gerakan ini masih mengambang (floating) dan belum memperoleh dukungan politik yang kuat dan menyeluruh baik dari eksekutif maupun legislatif, kecuali dari LSM tertentu saja. Kondisi euforia keemasan KPK jilid I tidak terpelihara dan terwujudkan oleh KPK jilid II karena berbagai batu kerikil dan ranjau yang dihadapi.
Selain setumpuk persoalan kasus korupsi yang tengah diselesaikan pimpinan KPK dan yang akan dihadapi,wajar saja jika pemerintah berpendapat tidak ada gunanya memilih calon pengganti pimpinan KPK hanya untuk masa jabatan satu tahun.Masalahnya,apakah pemerintah dan DPR akan memiliki kesepakatan soal ini?
Apakah pemerintah tidak perlu mengeluarkan perppu untuk menyelesaikannya? Perppu secara konstitusional lebih menjamin kepastian hukum dan tidak melanggar UU KPK dari pada sekedar kesepakatan yang dikhawatirkan akan memicu uji materiel ke MA atau dieksepsi karena penetapan masa jabatan yang tidak memiliki landasan perundangundangan yang berlaku.(*)
Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran
Sumber: Seputar Indonesia, 6 Juli 2010