Revolusi Mental Pejabat
Bebebrapa hari belakangan ini Komisi Pemberantasan Korupsi disibukkan dengan imbauan kepada para penyelenggara negara yang baru dilantik atau yang telah mengakhiri jabatannya untuk menyerahkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara.
Berkali-kali Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengimbau para menteri, politisi di lembaga legislatif, bahkan presiden keenam RI, Susilo Bambang Yudhoyono, segera menyetorkan informasi kekayaannya.
Imbauan KPK semacam ini seolah-olah menjadi ritual periodik dalam setiap pergantian kekuasaan. Khususnya saat momen rotasi lima tahunan setelah pemilu. Padahal, kewajiban ini bukanlah barang baru bagi siapa pun pejabat publik di negeri ini.
Zaman Gus Dur
Tak jauh sebelum KPK lahir, pada zaman Presiden Abrurrahman Wahid sudah pernah dibentuk sebuah komisi yang dinamai Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Pembentukannya merupakan mandat dari Pasal 10 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi Kolusi dan Nepotisme. Setelah KPKPN bubar, tugas pelaporan dan pemeriksaan kekayaan pejabat negara dialihkan kepada KPK.
Pelbagai aturan yang menjadi dasar hukum laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) mensyaratkan kewajiban melaporkan kekayaan tersebut bukan hanya kepada para pejabat yang baru saja menjabat. Akan tetapi, juga turut ditujukan kepada setiap penyelenggara negara yang baru saja mangkat.
Setiap penyelenggara negara yang baru dilantik berdasarkan Keputusan KPK Nomor KEP.07/IKPK/02/2005 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman, dan Pemeriksaan LHKPN diberikan waktu selama dua bulan untuk melaporkan kekayaannya.
Berdasarkan data LHKPN KPK 2013 yang lalu, dari 2,1 juta orang lebih penyelenggara negara di Indonesia yang wajib lapor kekayaan, ada lebih dari 600.000 orang yang tidak menyetorkan daftar kekayaan. Ini artinya hampir 30 persen di antaranya tidak melaksanakan kewajiban tersebut.
Masalah yang sama berpotensi terulang kembali pada tahun ini. Sudah berkali-kali KPK mengimbau semua penyelenggara negara untuk segera melapor. Namun, panggilan ini belum mendapatkan respons positif dari mayoritas para pejabat dan mantan pejabat. Problem yang sama terus berulang karena berakar pada buruknya kesadaran para pejabat untuk taat aturan.
Bahkan, bukan tidak mungkin pada tahun ini tingkat partisipasi pelaporan akan semakin turun. Pasalnya, dalam pikiran sebagian penyelenggara negara , tengah muncul dilema dalam pelaporan harta kekayaan. Khususnya bagi mereka yang memiliki harta yang telah terjadi percampuran dengan kekayaan lain yang tidak bisa dipertanggungjawabkan asalnya. Semisal dari hasil kejahatan. Apalagi kalau ada peningkatan kekayaan secara tidak sah (illicit enrichment)
Melihat aksi KPK
Kekhawatiran sebagian penyelenggara negara muncul karena melihat aksi KPK dalam menyita pelbagai aset para tersangka kasus korupsi dalam sejumlah kasus yang tengah ditangani. Selama ini KPK hampir selalu menggunakan data LHKPN sebagai salah satu data sekunder apabila ada para tersangka kasus korupsi yang berlatar belakang penyelenggara negara terlibat.
Data LHKPN tersebut digunakan sebagai penyanding antara aset yang dilaporkan dan aset faktual. Ujung-ujungnya, kalau ada perbedaan jumlah yang signifikan, besar kemungkinan KPK akan menilai aset tersebut tidak wajar. Di titik inilah biasanya penggunaan UU pencucian uang biasanya dilakukan.
Akan tetapi, penting digarisbawahi bahwa kekhawatiran ini hanya terjadi pada mereka yang punya persoalan dengan harta-harta yang tak bisa dipertanggungjawabkan asal-usul perolehannya. Tentu bagi mereka yang hartanya bersih tak perlu risi.
Jangan jangka pendek
Langkah KPK, yang telah menyurati Presiden Joko Widodo, untuk mendorong bawahannya melaporkan kekayaan merupakan sesuatu yang tepat. Namun, hal tersebut hanya solusi jangka pendek.
Untuk jangka panjang, agar tidak menjadi lembaga penagih laporan kekayaan terus-menerus, sebaiknya KPK menginisiasi perubahan aturan mengenai LHKPN kepada Menteri Hukum dan HAM beserta presiden agar dikeluarkan aturan baru berbentuk Peraturan Pemerintah (PP) tentang LHKPN. UU Penyelenggaraan Negara yang bebas KKN bisa menjadi dasar hukum penerbitan PP tersebut karena pelbagai aturan tentang LHKPN yang ada saat ini sarat dengan berbagai kelemahan.
Perubahan harus dilakukan karena aturan-aturan yang ada tentang kewajiban LHKPN selama ini juga tidak operatif. Misalkan dalam Pasal 13 Peraturan KPK tentang Tata Cara Pelaporan LHKPN mengatur rekomendasi sanksi kepada mereka yang tidak melaporkan LHKPN.
Namun, kewenangan KPK hanya terbatas kepada pemberian rekomendasi kepada pemimpin instansi yang bersangkutan untuk selanjutnya dilakukan penindakan sesuai dengan aturan yang berlaku. Aturan ini tidak operatif karena tidak ada dasar hukum lain bagi pemimpin lembaga untuk harus menjalankan rekomendasi KPK dan tidak ada pula aturan yang mengatur sanksi penyelenggara negara karena tidak menyerahkan LHKPN sehingga ini bukti bahwa aturan tersebut tidak bisa diimplementasikan.
Upaya paksa
Mekanisme sanksi yang lebih jelas dan tegas penting dibangun untuk melawan ketidakpatuhan. Hal ini penting dilakukan untuk memberikan daya paksa kepada semua pejabat untuk melaporkan kekayaan karena jika sebatas bersandar kepada kesadaran dari penyelenggara negara saja, hal itu terbukti tidak efektif. Harus ada upaya ”paksa” terhadap kewajiban tersebut.
Mereka para pejabat publik yang membalela dengan kewajiban lapor kekayaan ini bisa saja nantinya diberikan sanksi berupa penangguhan hak-hak tertentu dan pencabutan sejumlah fasilitas tertentu sebagai pejabat publik.
Pada akhirnya tentu semua akan berpulang kepada Presiden Joko Widodo selaku kepala negara untuk mengeluarkan peraturan tersebut sehingga tarik-menarik LHKPN ini tidak berakhir pada tataran polemik saja.
Dari laporan kekayaan ini, Presiden Jokowi bisa memulai komitmen menuju pemerintahan yang bersih dan transparan, sekaligus momentum untuk melakukan ”Revolusi Mental Pejabat dan Birokrat” yang cepat dalam mengejar fasilitas, tetapi lamban dalam menyetorkan tugas dan kewajiban mereka.
Donal Fariz Anggota Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch
Tulisan ini disalin dari Kompas, 14 November 2014