Politik Dagang Pasal
BEBERAPA hari lalu kita dikejutkan oleh pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD bahwa ada jual beli pasal-pasal dalam proses pembahasan dan penetapan rancangan undang-undang (draf RUU). Pelakunya juga lintas sektor, tak hanya anggota legislatif dan eksekutif tetapi juga yudikatif. Dia mendasarkan dari pengalamannya yang mendapati banyak keganjilan berupa butir pasal, ayat, dan detail redaksional dalam draf RUU yang digugat banyak kalangan dan akhirnya harus diuji lagi oleh MK. Lembaganya mencatat sejak 2003 hingga 9 November 2011 ada 406 kali pengujian undang-undang dan 97 di antaranya dikabulkan karena inkonstitusional. Mahfud menilai buruknya legislasi ini terjadi karena ada praktik jual-beli kepentingan dalam penyusunan regulasi negara.
Sudah sedemikian parahkah mental korup penyelenggara negara kita? Apa sebenarnya terjadi dan bagaimana ke depan mencegah praktik dagang pasal itu? Bisnis pasal itu baru diendus belakangan ini seiring dengan menguatnya kesadaran perlunya good governance. Modus itu sudah berlangsung puluhan tahun dan menjadi bakteri patogen birokrasi di Indonesia secara keseluruhan.
Tawar-menawar
Pakar birokrasi dari Keio University Taro Nakayama dalam Bureaucracy Foes (2009) menyebutkan bahwa bakteri birokrasi yang ditampilkan antara lain oleh para birokratnya menyebabkan negara berada dalam kubangan mental korup dan hal itu memicu kian berkembang biaknya bakteri itu secara liar. Pelaku bekerja secara sistemik membangun sel-sel yang memungkinkan perilaku curang, culas, dan korup kian mapan. Regulasi negara, termasuk desain UU sebagai rujukan induk regulasi negara/pemerintah di bawahnya, diyakini para bacterian —meminjam istilah Taro— sebagai landasan yuridis bernegara yang menentukan segalanya.
Karena strategisnya fungsi regulasi negara untuk menentukan tiap jengkal kehidupan maka sejak tahapan desain draf para ’’bakteri’’ itu ancang-ancang melakukan ’’pendudukan’’ (colonized). Tujuannya tak lain untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok melalui sulap-menyulap pasal tersebut.
Apalagi seperti disinyalir ICW (2010) bahwa pergerakan korupsi tak hanya menerabas pada belanja birokrasi on cash, tetapi juga diawali lewat kerja intelektual yakni mulai dari desain pasal-pasal pesanan dimaksud. Justru dampak korupsi pasal ini di samping sulit dibuktikan, juga menjadi embio lahirnya laku dan kuasa korupsi berikutnya. Setelah redaksional pasal, ayat, dan bab dalam regulasi negara diutak-atik sesuai visi-misi bisnis para pihak, barulah para bacterian melancarkan aksi berikutnya.
Sayangnya pada saat yang sama, hampir semua prosedur dan mekanisme pemberantasan korupsi baru sebatas penanganan on cash (berbentuk material uang/modal), dan belum diarahkan untuk menanganani korupsi pasal. Padahal perilaku demikian tak hanya terjadi di antara perumus kebijakan negara, tetapi juga menyelusup ke semua pelayanan publik lainnya. Bahkan tradisi korupsi pasal atau transaksi pasal sudah menjadi rahasia umum seperti terjadi di pengadilan dan kejaksaan.
Terkait dengan terkuatnya praktik jual-beli pasal, dan bahkan kasus hukum, saran Taro bisa menjadi rujukan, yakni bermodal keberanian pengendali kebijakan publik harus membongkarnya. Mahfud MD, dan lembaga MK, dapat diletakkan dalam posisi pengendali regulasi negara itu. Pembongkaran perilaku bacterian itu dimulai sejak draf RUU disusun oleh eksekutif atau lembaga negara/ pemerintahan/ BUMN-BUMD dan sebagainya, jauh sebelum sampai ke meja pembahasan di parlemen/legislatif.
Setelah draf sampai di meja parlemen, pengawasan harus kian dipertajam karena justru saat finalisasi draf hingga penentuan pasal-pasal inilah sebagai ajang perilaku korup para bacterian mewujudkan pesanannya. Kita bisa melihat bagaimana proses pembahasan sebuah UU di parlemen persis kondisi pasar, dengan lobi dan negosiasi sebagai medium yang paling menggiurkan bagi bacterian itu. Tak jarang untuk menghindari sangkaan publik, para pedagang pasal itu rela merogoh kocek dalam-dalam demi hasrat pasal pesanan dicantumkan. Aneka fasilitas sesuai dengan kehendak dan permintaan, tawar-menawar pun sudah menjadi pemandangan umum. (10)
Tasroh SS MPA MSc, pegiat Banyumas Policy Watch dari Purwokerto, alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University Jepang
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 22 november 2011