Pertunjukan Itu Belum Usai
KE mana kasus Bibit-Chandra bergerak? Soal inilah yang muncul dalam benak kita pasca persidangan Mahkamah Konstitusi yang memperdengarkan rekaman dugaan kriminalisasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3 November 2009 lalu. Betapa tidak, Anggodo Widjojo, yang dalam rekaman itu terdengar seperti sutradara yang mengatur beberapa pejabat negara, tidak ditahan polisi. Susno Duadji dan A.H. Ritonga yang namanya disebut-sebut dalam rekaman tersebut memang telah mengundurkan diri. Tetapi, mereka tidak cukup hanya mengundurkan diri. Keduanya tetap harus mempertanggungjawabkan perbuatan mereka.
Jangan heran jika seorang Facebooker nyeletuk di Facebook, ''Tim 8 itu tidak punya gigi. Tim itu hanya untuk menyenangkan masyarakat. Sebab, pemberitaan kasus Bibit-Chandra sudah berubah jadi sebuah pertunjukan drama."
Kita tidak tahu persis kinerja Tim 8. Tetapi, kita mengerti bahwa setidaknya dua anggota Tim 8 sudah akan mengundurkan diri. Kita setuju terhadap penilaian bahwa pemberitaan kasus Bibit-Chandra sudah menjadi drama. Kasus itu sudah menarik perhatian masyarakat. Kasus tersebut sudah melahirkan berbagai perasaan, dari geram (ketika Anggodo Widjojo dilepaskan polisi setelah diinterogasi selama hampir 24 jam), senang (ketika Bibit-Chandra dibebaskan polisi), hingga sedih (ketika menyadari bahwa peradilan Indonesia tidak lagi bisa diandalkan untuk mencari keadilan). Semua perasaan itu hanya bisa kita nikmati dalam sebuah drama.
Budaya Media Massa
Kendati begitu, perhatian masyarakat yang begitu besar terhadap kasus Bibit-Chandra bukan semata-mata karena kesungguhan media pers menyiarkan berita kasus Bibit-Chandra. Ada hal lain yang ikut berperan, yaitu budaya media massa yang sudah dimiliki masyarakat. Tegasnya, budaya media massa ikut menentukan besarnya perhatian masyarakat terhadap kasus Bibit-Chandra.
Dalam budaya media massa, media massa menjadi bagian kehidupan manusia. Media massa menjadi alat pemenuhan kebutuhan emosi manusia. Manusia tidak bisa hidup tanpa media massa. Manusia merasa harus selalu bersinggungan dengan media massa karena media massa dianggap sanggup mendatangkan berbagai perasaan pada manusia; senang, takut, nikmat, suspense, tidak aman, marah, dan sebagainya.
Dalam memberitakan kasus Bibit-Chandra, tanpa sadar, media massa sudah menghadirkan drama. Kita tidak tahu siapa sebenarnya yang jadi sutradara. Tetapi, kita harus yakin bahwa media pers mengerti ke mana arah kasus Bibit-Chandra dibawa. Kalau tidak, kita akan kecewa terhadap drama itu.
Siapa Yang Benar?
Sebuah drama memiliki alur. Ia juga memiliki setting. Ia bahkan memiliki tokoh. Tentang tokoh ini, ada yang tergolong jahat dan ada pula yang jadi tokoh baik. Semuanya berlakon menuruti keinginan sutradara. Apa pun yang diinginkan sutradara, selalu saja tokoh baik yang akhirnya keluar sebagai pemenang.
Kalau demikian, mengapa kita harus menonton drama? Toh, kelak tokoh baik akan keluar sebagai pemenang! Kita perlu menonton drama itu. Ia bisa menghibur kita. Ia bahkan bisa juga mengembangkan imajinasi kita. Nah, imajinasi ini, pada gilirannya kelak, akan berguna buat kehidupan.
Dalam kasus Bibit-Chandra, media pers telah menciptakan tokoh baik dan jahat. Yang menjadi tokoh baik adalah Bibit-Chandra. Sedangkan yang menjadi tokoh jahat adalah Anggodo Widjojo. Sebagai tokoh jahat, Anggodo punya beberapa ''anak buah", yang sekarang sedang menjadi pejabat di lembaga peradilan. Tidak berlebih-lebihan bila ceritanya jadi menarik.
Kendati tertarik mengikuti pertunjukan tersebut, kita khawatir juga. Kita khawatir pertunjukan itu tidak berakhir pada kemenangan tokoh baik. Tanda-tanda tersebut sudah ada. Pertunjukan itu sudah diberi bumbu permainan hukum. Lihatlah, Anggodo Widjojo yang sudah nyata-nyata mengatur pejabat negara untuk mengkriminalisasikan KPK sudah dilepas dengan alasan polisi kesulitan menemukan barang bukti.
Mengenai soal yang terakhir ini, seorang Facebooker mengatakan, ''Bagaimana mungkin polisi menemukan bukti kalau yang menyidik Anggodo adalah penyidik yang selama ini berada di bawah ketiak Anggodo?" Kita tentu tidak bisa percaya begitu saja kepada keterangan Facebooker itu. Sama halnya dengan kita tidak begitu saja percaya kepada keterangan polisi. Maka, kita sebenarnya jadi penasaran tentang siapa yang benar.
Kembali ke Nurani
Melihat kondisi sekarang, sepertinya, tidak satu pun kekuatan yang bisa menghentikan perkembangan kasus Bibit-Chandra. Tetapi, masyarakat perlu skeptis dan kritis terhadap berita tentang kasus Bibit-Chandra. Sikap skeptis dan kritis ini, dalam istilah populer, disebut menerima informasi secara selektif.
Lalu, bagaimana caranya? Cara yang paling sederhana adalah mengonfirmasikannya dengan hati nurani kita. Sebab, hati nurani selalu berkata jujur. Hati nurani selalu berpihak kepada kebaikan. Kalau hasil konfirmasi hati nurani terhadap berita kasus Bibit-Chandra positif, maka berita itu benar. Kalau hasil konfirmasi itu negatif, maka berita tersebut tidak benar.
Dengan sikap seperti itu, kita akan bisa mengikuti pertunjukan kasus Bibit-Chandra dengan nyaman. Kita siap dengan apa pun akhir pertunjukan tersebut. Kita bahkan siap mengikuti pertunjukan yang baru.
Sembari mengikuti hati nurani, kita juga mengimbau pejabat di lembaga peradilan yang menangani kasus Bibit-Chandra untuk juga menggunakan hati nurani. Mereka sebaiknya lebih mengedepankan hati nurani daripada mengamalkan prinsip legal formal semata. Kalau tidak, mereka akan dikejar-kejar diri mereka sendiri. (*)
Ana Nadhya Abrar , pengajar Fisipol UGM, Jogjakarta
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 6 November 2009