Perlambatan Pemberantasan Korupsi
Transparency International kembali merilis Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index) 2016. Hasilnya, Indonesia memperoleh skor 37 dan menempati peringkat ke-90 dari 176 negara yang dinilai.
Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2015), skor Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia hanya mengalami kenaikan 1 poin. Skor ini juga masih di bawah rerata global di angka 43. Bahkan, di kawasan Asia Pasifik, skor Indonesia masih jauh tertinggal. Kondisi ini mengisyaratkan terjadinya perlambatan terhadap kinerja pemberantasan korupsi di semua lini. Padahal, ketika terjadi transisi politik tahun 2014 menuju tahun 2015, skor CPI cukup baik karena mengalami kenaikan yang konsisten hingga 2 poin.
Ada perbedaan yang cukup signifikan bagaimana rezim pemerintahan sebelumnya (Susilo Bambang Yudhoyono) dengan rezim Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-Kalla) dalam melihat CPI. Jika merujuk pada dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019, capaian CPI tidak lagi menjadi salah satu acuan bagi pemerintah untuk mengukur kinerja pemberantasan korupsi.
Secara politik, ini tentu saja menjadi pilihan kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Namun, CPI dari sisi global tetap patut diperhitungkan sebagai salah satu masukan bagi Indonesia.
Prioritas
Selama lebih dari dua tahun di bawah pemerintahan Jokowi-Kalla, situasi politik hukum pemberantasan korupsi memang mengalami situasi dilematis. Tahun 2015, semua pihak menyaksikan bagaimana terjadi pelemahan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sementara Presiden dinilai lambat dalam mengambil keputusan.
Di sisi lain, Presiden memang lebih terlihat memfokuskan pada konteks perbaikan di sektor bisnis (ekonomi). Ada banyak paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan untuk memberikan kemudahan bagi pebisnis, termasuk kebijakan pengampunan pajak.
Sayangnya, privilese yang diberikan ini tidak diimbangi dengan mengeluarkan kebijakan yang memastikan sistem integritas berlaku bagi sektor bisnis/swasta. Sebab, problem integritas (korupsi) di sektor publik juga dipicu oleh masifnya perilaku pebisnis yang korup.
Dengan demikian, perbaikan di sektor publik akan mengalami tantangan yang cukup besar karena tidak berimbang dari sisi supply side. Hal ini setidaknya terkonfirmasi dari data KPK terkait jumlah pelaku korupsi dalam kurun waktu 2004-2016 yang didominasi oleh sektor swasta.
Maka, ke depan, pemerintah perlu menetapkan satu kebijakan khusus yang digunakan sebagai standar dalam menilai integritas sektor swasta, termasuk bagi perusahaan negara (BUMN/ BUMD). KPK dalam hal ini tentu perlu membantu pemerintah untuk menetapkan standar ini dalam konteks pencegahan korupsi sehingga kebijakan ini diharapkan mampu mengakselerasi perbaikan di sektor publik.
Sektor hukum
Banyak pihak yang menilai Presiden tidak menempatkan sektor hukum sebagai prioritas. Padahal, perbaikan di sektor hukum, khususnya yang terkait dengan pemberantasan korupsi, menjadi salah satu penyokong indeks persepsi korupsi. Perbaikan di sektor ekonomi akan mengalami hambatan jika kondisi penegakan hukum justru menimbulkan ketidakpastian.
Apabila ditelisik ke belakang, Presiden baru mengeluarkan paket reformasi hukum ketika usia pemerintahan sudah akan memasuki tahun ketiga (Oktober 2016). Sebut saja pembentukan Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar melalui Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2016. Namun, alih-alih bicara soal efektivitas, yang terjadi justru menjamurnya pembentukan satuan tugas semacam ini di lembaga-lembaga negara dan pemerintah daerah.
Tak berselang lama, pada November 2016, Presiden kembali mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2016 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2016 dan Tahun 2017. Terakhir, pada awal tahun 2017, Presiden menelurkan paket reformasi hukum jilid kedua yang memfokuskan pada 3 (tiga) hal, yaitu penataan regulasi, bantuan hukum bagi masyarakat, dan pengembangan polisi masyarakat.
Ketiga paket kebijakan hukum di atas tentu bertujuan memberikan stimulus bagi perbaikan di sektor hukum, khususnya yang terkait dengan pemberantasan korupsi. Namun, karena faktor waktu, kebijakan ini belum berkontribusi pada peningkatan indeks persepsi korupsi. Hal inilah yang sebetulnya memengaruhi terjadinya perlambatan terhadap kinerja pemberantasan korupsi.
Ke depan, Presiden perlu lebih sensitif terhadap isu-isu strategis yang terkait dengan hukum dan pemberantasan korupsi, bukan hanya berkutat pada sektor ekonomi belaka. Sebab, percepatan pembangunan di sektor ekonomi akan lebih mudah dicapai jika sistem hukumnya sudah mampu memitigasi terjadinya praktik korupsi.
REZA SYAWAWI, PENELITI HUKUM DAN KEBIJAKAN TRANSPARENCY INTERNATIONAL INDONESIA
--------------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Januari 2017, di halaman 6 dengan judul "Perlambatan Pemberantasan Korupsi".