Penggeledahan Menuai Kegaduhan
Thursday, 28 January 2016 - 00:00
Penggeledahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi di DPR pada Jumat (15/1) telah memicu kegaduhan. Kegaduhan kali ini terjadi karena penggeledahan diprotes oleh seorang wakil ketua DPR.
Sang pimpinan DPR protes karena tim penyidik KPK membawa satuan Brimob bersenjata lengkap mengamankan proses penggeledahan. Hal ini dipandang sebagai pelecehan terhadap DPR karena lingkungan DPR adalah obyek vital yang harus steril dari senjata api. Pengamanan Brimob dengan senjata api membuktikan tim penyidik menilai kompleks DPR memiliki ancaman tinggi dan semua anggota DPR adalah maling.
Selain itu, tim penyidik juga diprotes mengenai tidak adanya nama ketua tim penyidik, tidak lengkapnya nama pemilik, dan lokasi penggeledahan dalam surat perintah tersebut. Surat penggeledahan ditujukan pada satu nama dan tidak menunjuk pada nama pemilik ruangan lain yang akan digeledah.
Standar penggeledahan
Penggeledahan merupakan salah satu rangkaian penindakan kasus korupsi yang dilakukan KPK. Penggeledahan KPK sama dengan penggeledahan oleh penyidik lainnya dan mengacu pada Kitab Acara Hukum Pidana. Penggeledahan bertujuan untuk mengumpulkan bukti-bukti atau kepentingan penyidikan lainnya. Dalam konteks ini, penggeledahan DPR bertujuan untuk mengumpulkan alat bukti terkait kasus suap anggota DPR berinisial DWP dari Fraksi PDI-P.
Sebagaimana penggeledahan lainnya, KPK memandang penting penjagaan untuk mengamankan proses penggeledahan. Oleh karena itu, KPK meminta pihak kepolisian melakukan proses penjagaan tersebut. Hal ini diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Pasal 127 ini menyatakan, ”Untuk keamanan dan ketertiban penggeledahan rumah, penyidik dapat mengadakan penjagaan atau penutupan tempat yang bersangkutan”. Oleh karena itu, ada dasar hukum kuat bagi KPK meminta kepolisian untuk menjaga proses penggeledahan tersebut.
Meski memiliki dasar hukum melakukan penjagaan, tim penyidik mesti dapat menilai kadar ancaman terhadap proses penggeledahan tersebut. Hal ini penting karena jika tingkat pengamanan rendah sementara ancaman tinggi, maka proses penggeledahan bisa terhambat atau berhenti karena ancaman ternyata terbukti terjadi. Bahkan, hal ini bisa berakibat buruk terhadap keselamatan nyawa penyidik yang akhirnya merugikan kepentingan penyidikan. Sebaliknya, jika potensi ancaman rendah dan penjagaan ketat dan berlebihan tentu juga dapat memicu situasi yang tidak diinginkan.
Dengan demikian, KPK ataupun pihak kepolisian harus cermat menilai potensi ancaman di tempat penggeledahan tersebut sehingga penjagaan penggeledahan dapat dilakukan oleh satuan yang tepat pula. Pihak kepolisian tak harus menerjunkan satuan Brimob, tetapi dapat menerjunkan satuan lain, seperti intel atau reserse untuk mengamankan lokasi penggeledahan.
Sementara itu, aturan terkait senjata api di lingkungan DPR masih cukup longgar. Meski kompleks DPR memang obyek vital, aturan yang mengatur senjata api di DPR hanya terdapat pada Peraturan DPR No 1/2014 tentang Tata Tertib.Pasal 260 dalam peraturan ini berbunyi ”Dalam setiap rapat di dalam atau di luar gedung DPR, Anggota dilarang membawa senjata api”.
Jadi, yang diatur atau dilarang terkait dengan senjata api hanyalah anggota DPR dan pelarangannya dibatasi dalam setiap rapat di dalam atau di luar gedung DPR. Anggota DPR boleh membawa senjata api sepanjang tidak dalam proses rapat DPR, baik di dalam ataupun di luar gedung DPR. Dengan demikian, aturan ini hanya berlaku bagi anggota DPR yang sedang melakukan rapat dan tidak berlaku bagi pihak lain, seperti staf, pegawai, tamu, dan bahkan penyidik KPK sekalipun.
Selain itu, surat tugas dan surat perintah penggeledahan harus dibawa dan ditunjukkan tim penyidik kepada pemilik rumah atau ruangan yang akan digeledah. Hal ini juga diatur dalam Hukum Acara Pidana. Tidak boleh penyidik menggeledah rumah atau ruangan jika surat perintah tidak menyebutkan nama pemilik dan lokasi penggeledahan.
Dalam konteks ini, pertanyaan pimpinan DPR tersebut dibenarkan. Surat tugas tim penyidik, surat perintah penyidikan, dan surat perintah penggeledahan harus dengan tegas menyatakan nama pemilik rumah atau tempat yang digeledah. Tidak bisa satu surat tugas atau surat perintah lain untuk dua atau lebih lokasi penggeledahan.
Kejanggalan
Substansi protes wakil ketua DPR ini cukup wajar, tetapi terdapat beberapa kejanggalan. Pertama, mengapa pimpinan DPR mempertanyakan prosedur penggeledahan, sementara sekretaris jenderal dan biro hukum DPR justru membiarkan tim penyidik KPK beserta Brimob memasuki tempat penggeledahan?Wakil ketua DPR harusnya mengajukan protes atau menegur sekjen atau biro hukum dan bukan pada ketua tim penyidik saja. Apakah protes terhadap sekjen atau biro hukum DPR tidak akan diliput media? Kalau memang ada aturan yang tegas melarang pihak lain selain anggota DPR membawa senjata api ke kompleks DPR, seharusnya sekjen atau biro hukum DPR mengajukan keberatan dan melarang tim penyidik atau Brimob memasuki gedung DPR.
Kejanggalan kedua, dalam kapasitas apa wakil ketua DPR mengajukan protes terhadap tiga surat tersebut. Penggeledahan tidak dilakukan pada ruangan dia. Selain itu, dia juga tidak membawahi internal DPR, seperti membawahi sekjen atau biro hukum. Wakil ketua DPR ini juga tidak membidangi komisi hukum, tetapi justru bidang lain yang tidak terkait sama sekali proses penggeledahan ini. Ada wakil ketua atau pimpinan DPR lainnya yang lebih berhak atau berwenang melakukan protes tersebut.
Kejanggalan ketiga, mengapa protes tersebut diajukan di depan awak media yang justru sedang meliput proses penggeledahan ini. Apalagi protes disertai adu mulut dengan nada tinggi. Sikap lunak nan arif dan bijaksana belum ditunjukkan oleh wakil ketua DPR ini. Sikap tim penyidik KPK juga kurang tepat, merespons protes dengan suara keras.
Pada 2016 ini, UU KPK masuk Prolegnas DPR. Sejumlah politisi di DPR mencari celah dan alasan merevisi UU ini meski telah ditolak publik secara luas. Mereka juga tidak kehilangan akal dan mengatakan bahwa revisi UU KPK bertujuan untuk memperkuat KPK. Sayangnya, publik telanjur tidak memercayai sebagian besar politisi di Senayan karena mereka dinilai punya kepentingan tersembunyi melemahkan KPK melalui revisi UU ini.
Kegaduhan dalam penggeledahan ini mungkin saja menjadi bahan dan alasan bagi politisi di DPR untuk mendorong revisi UU KPK. Apalagi setelah kejadian ini ada politisi yang mengungkap sejumlah kesalahan KPK dalam penggeledahan tersebut. Mereka berusaha membangun opini bahwa KPK bermasalah dan harus diperbaiki melalui revisi UU-nya.
Bagi KPK, terutama pimpinan baru, kejadian ini pembelajaran penting untuk memperbaiki prosedur dan pola kerja. Jangan sampai karena kesalahan kecil justru menjadi celah untuk melemahkan lembaga anti korupsi ini. Rakyat Indonesia memiliki harapan tinggi terhadap KPK dalam memberantas korupsi.
FEBRI HENDRI AA, KOORDINATOR DIVISI INVESTIGASI INDONESIA CORRUPTION WATCH
---------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Januari 2016, di halaman 7 dengan judul "Penggeledahan Menuai Kegaduhan".