Pengadilan (Tipikor) yang Tersandera
Teriakan sejumlah kalangan agar Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (RUU PT) segera dibahas di parlemen seperti tidak ada gemanya. Alih-alih masuk prioritas, RUU itu bahkan belum dibahas secara intensif oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Padahal, itu sangat penting mengingat pengadilan tipikor berkaitan dengan eksistensi KPK dan pemberantasan korupsi. Di sisi lain, DPR terlihat begitu bersemangat ketika membahas paket RUU bidang politik, RUU tentang pemekaran wilayah, dan RUU MA.
Penyusunan RUU PT bermula dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Desember 2006. Berdasar putusan MK Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, dualisme pengadilan tindak pidana korupsi antara pengadilan khusus tipikor dan pengadilan umum bertentangan dengan UUD 1945. MK kemudian memberi tenggat waktu tiga tahun untuk membentuk payung hukum (UU) tersendiri bagi pengadilan tipikor. Jika tidak, pengadilan tipikor harus dibubarkan dan semua perkara korupsi akan diadili di peradilan umum.
Perbedaan Mendasar
Dualisme penanganan korupsi oleh pengadilan umum dan pengadilan tipikor selama ini mengakibatkan belum efektifnya penegakan hukum. Pengadilan tipikor mengadili perkara korupsi yang dituntut jaksa penuntut umum dari KPK, sedangkan terdakwa kasus korupsi yang dituntut jaksa penuntut umum dari kejaksaan diadili di pengadilan umum.
Sejauh ini, pengadilan umum tidak berhasil memberikan efek jera bagi koruptor. Menurut data laporan Komisi Yudisial (KY), selama periode September 2006-Februari 2007, di antara 77 putusan kasus korupsi, 24 perkara (31 perkara) diputus bebas oleh pengadilan negeri. Memperkuat laporan KY, ICW mencatat bahwa tren putusan bebas untuk kasus korupsi 2005 hingga Juni 2008 di peradilan umum terus meningkat.
Sementara itu, sampai saat ini, kinerja pengadilan tipikor telah memberikan harapan baru bagi pemberantasan korupsi. Terhadap seluruh terdakwa yang diajukan oleh KPK, tidak seorang pun dibebaskan oleh pengadilan tipikor.
Berdasar laporan tahunan pengadilan tipikor dan KPK (2007), semua perkara korupsi (59) yang dilimpahkan KPK ke pengadilan tipikor divonis bersalah. Rata-rata divonis 4,4 tahun.
Begitu juga pada semester awal 2008 ini. PuKAT Korupsi Fakultas Hukum UGM mencatat, 14 kasus divonis bersalah dengan rata-rata hukuman 4,32 tahun. Semua pelaku korupsi sejak ditetapkan sebagai tersangka langsung ditahan, sehingga tidak membuka peluang untuk melarikan diri atau menghilangkan barang bukti.
Setidaknya, ada dua hal yang membedakan pengadilan tipikor dari pengadilan biasa pada umumnya. Pertama, hakim yang memeriksa dan mengadili perkara. Pada pengadilan khusus korupsi, pemeriksaan dilakukan oleh majelis hakim yang terdiri atas 2 (dua) hakim karir dan 3 (tiga) hakim ad hoc.
Kedua, adanya limitasi waktu. Waktu keseluruhan pemeriksaan perkara korupsi hingga perkara diputus oleh pengadilan tipikor (mulai tingkat pertama, banding, dan kasasi), jika lancar, adalah 240 hari atau 8 bulan. Hal itu lebih terukur dibanding waktu penyelesaian perkara di pengadilan biasa -mulai tingkat pertama hingga kasasi biasa- yang tidak jelas bahkan baru selesai hingga bertahun-tahun.
Hal yang menarik lainnya adalah konsistensi setiap tingkatan pengadilan tipikor dalam putusannya. Setiap terdakwa yang mengajukan banding tidak akan mendapatkan pengurangan hukuman. Hukuman tersebut justru akan diperkuat dan tidak jarang hukuman di tingkat banding atau kasasi lebih berat daripada hukuman sebelumnya.
Contohnya, yang dialami mantan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Abdullah Puteh, mantan Menteri DKP Rokhmin Dahuri, serta mantan Gubernur Kalimantan Timur Suwarna A.F.
Hal tersebut sangat berbeda dibanding pengadilan umum yang memiliki kecenderungan semakin tinggi tingkat peradilannya, hukumannya semakin rendah, bahkan bisa jadi divonis bebas.
Hakim Ad Hoc
Salah satu yang mengundang perhatian dalam RUU PT adalah ketentuan mengenai hakim ad hoc. Dalam pasal 27 RUU dinyatakan, Dalam memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana korupsi, dilakukan dengan majelis hakim berjumlah ganjil sekurang-kurangnya 3 orang dan sebanyak-banyaknya 5 orang hakim. Terdiri atas hakim karir dan hakim ad hoc yang komposisinya ditetapkan oleh ketua pengadilan atau ketua MA sesuai tingkatan dan kepentingan pemeriksaan perkara.
Aturan tersebut dikhawatirkan kontraproduktif terhadap kinerja pengadilan tipikor selama ini. Pasal tersebut memberikan kewenangan penuh kepada ketua pengadilan negeri -tempat pembentukan pengadilan tipikor- untuk menentukan komposisi majelis hakim.
Bagian itu membuka peluang intervensi dari ketua pengadilan dan ketua MA. Modusnya adalah membalik komposisi keanggotaan majelis hakim yang menangani perkara hingga melemahkan suara hakim ad hoc. Lebih jauh, ketentuan tersebut bisa dibaca sebagai salah satu upaya mengamputasi dan membunuh secara sistematis kekuatan serta keberhasilan pengadilan tipikor yang selama ini terbukti baik.
Hakim ad hoc adalah ujung tombak pengadilan tipikor. Para hakim itu diharapkan mampu membongkar kasus korupsi dan menjatuhkan sanksi tegas. Pengalaman pengadilan tipikor selama ini membuktikan bahwa hakim ad hoc mampu menjaga integritas dan menjatuhkan sanksi yang tegas terhadap koruptor. Karena itu, keberadaan mereka harus dipertahankan dan ditegaskan dalam ketentuan UU.
* Oce Madril, peneliti di Pusat Kajian AntiKorupsi Fakultas Hukum UGM; saat ini menempuh Master Program, Law and Governance Studies di Nagoya University, Jepang
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 18 Desember 2008