Pembusukan dari Dalam KPK
Mendekati satu tahun usia pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi periode 2015-2019, beberapa isu tak sedap mulai menyeruak. Tak dapat dimungkiri, lembaga ini dari awal selalu menghadapi tantangan yang berat, khususnya ketika mengemban tugas dan fungsi penegakan hukum. Kasus-kasus korupsi yang ditangani KPK telah menyeret aktor-aktor penting, baik dari lembaga yudikatif, eksekutif, maupun legislatif; dari elite partai politik hingga pengusaha.
Serangan balik terhadap KPK datang bertubi-tubi. Strateginya pun kian canggih, dari kriminalisasi terhadap pimpinan dan staf KPK, pelemahan regulasi KPK melalui percobaan amendemen, judicial review (JR) Undang-Undang KPK ke Mahkamah Konstitusi, pembatasan usia KPK, pengucilan dari pergaulan antarlembaga negara, hingga, yang terbaru, indikasi menyelundupkan orang-orang tertentu untuk menjalankan misi pembusukan dari dalam. Untuk upaya-upaya yang telah dilakukan, hampir semuanya mentah kembali karena perlawanan publik cukup efektif.
Untuk indikasi pembusukan dari dalam, masyarakat tentu kesulitan mendeteksi dan merancang strategi perlawanannya karena proses dilakukan melalui mekanisme yang legal dan prosedural serta berada dalam lingkup internal KPK sendiri. Pembusukan itu bisa dimulai dari penempatan pimpinan KPK yang tidak sejalan dengan semangat dan budaya institusi ini. Akibatnya, keputusan yang diambil oleh pimpinan KPK lebih menguntungkan pihak tertentu yang tengah berurusan dengan lembaga itu daripada mencerminkan profesionalitas dan independensi KPK.
Gejalanya bisa dilihat dalam penanganan kasus reklamasi. Masyarakat tentu sudah mafhum bahwa kasus reklamasi merupakan kasus besar (grand corruption). Bahkan, melalui pemimpinnya, Saut Situmorang dan Laode Syarief, KPK pada awalnya sudah menyimpulkan bahwa suap reklamasi yang melibatkan PT Agung Podomoro Land adalah grand corruption. Apalagi muncul nama Aguan, pemilik holding perusahaan properti raksasa itu.
Tapi, lambat-laun, label grand corruption menjadi tak lagi bermakna karena sepanjang proses persidangan terhadap Sanusi, anggota DPRD DKI yang menerima suap, serta Ariesman Widjaya, Direktur Utama PT Agung Podomoro Land, yang memberi suap, tak banyak yang bisa diungkap oleh KPK untuk menunjukkan sisi kakap dari kasus itu. Basaria Pandjaitan, pemimpin KPK lainnya, bahkan "menutup" investigasi kasus suap reklamasi itu dengan menyatakan bahwa status pencegahan ke luar negeri terhadap Aguan telah dicabut KPK.
Sinyal bahwa pimpinan KPK terbelah dalam menyimpulkan posisi Aguan dalam pusaran kasus reklamasi ini kian kuat karena beredar rumor keputusan untuk mencabut status pencegahan itu tidak diambil melalui suara bulat, melainkan voting. Kekhawatiran bahwa pimpinan KPK tidak memiliki satu visi yang sama dalam memberantas korupsi, terutama dalam penanganan kasus-kasus sensitif dan kakap, mungkin dalam waktu dekat akan menjadi kenyataan. Jika perbedaan pandangan itu disebabkan oleh persepsi terhadap alat bukti, tentu hal itu bisa dipahami. Tapi, jika perbedaan itu lebih diakibatkan posisi "politik" dalam melihat sosok yang dianggap terlibat, pimpinan KPK dapat dianggap telah menggadaikan profesionalismenya untuk kepentingan pihak tertentu.
Isu lain yang tak kalah santer adalah penempatan orang-orang tertentu yang loyal dengan kepentingan pihak lain di luar KPK di posisi strategis yang berkaitan langsung dengan fungsi penegakan hukum. Upaya itu mulai dilakukan sejak KPK ditangani oleh caretaker karena dua pemimpin KPK definitif berstatus tersangka dalam epik "Cicak vs Buaya" jilid IV.
Kecenderungan untuk menempatkan pejabat struktural berlatar belakang polisi dalam posisi strategis di KPK semakin kencang. Sekurang-kurangnya sudah ada tiga pos penting di KPK yang dipegang pejabat dari kepolisian, yakni Direktur Penyidikan, Deputi Penindakan, dan Kepala Biro Hukum KPK. Satu posisi kunci yang tengah diperebutkan adalah Direktur Monitor KPK. Calon dari kepolisian juga memiliki kans besar untuk mendudukinya. Nilai strategis dari posisi terakhir itu adalah karena kerja-kerja penyadapan KPK berada dalam kendali direktorat ini.
Jika pada akhirnya posisi strategis, khususnya pada kerja-kerja penindakan KPK, diisi oleh pihak yang memiliki loyalitas ganda, lantas apakah makna independensi KPK masih relevan? Persoalan loyalitas dan status independen KPK ini menjadi penting untuk didudukkan kembali karena kerja penindakan KPK pasti akan bersinggungan dengan lembaga pemerintah lain dan para pejabatnya. Jika pada akhirnya kendali penegakan hukum KPK jatuh pada orang-orang yang memiliki keraguan dalam bersikap karena faktor pangkat, kedekatan, dan yang melekat di dalam diri mereka adalah jiwa lembaga lain kerja-kerja penegakan hukum KPK akan dilakukan dengan tebang pilih.
Perlu disadari bahwa usia KPK telah menginjak 12 tahun. Ini merupakan usia lembaga antikorupsi independen tertua sepanjang sejarah penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Berbeda dengan lembaga sejenis pada periode sebelumnya, KPK mampu bertahan karena dukungan publik yang kuat. Tapi dukungan itu tidak akan bisa membuat KPK tetap konsisten dan profesional dalam menangani kejahatan korupsi apabila serangan dari dalam berupa upaya pembusukan KPK tidak diantisipasi sejak dini. Kita tentu tidak berharap KPK tetap ada, tapi kehilangan rohnya sebagai komisi independen antikorupsi yang mumpuni dan berkelas, seperti diakui negara lain selama ini.