"Pelajaran Berharga" dari Anggodo
ORANG bijak mengatakan, di luar ajaran agama, kebenaran datang dari ketidakbenaran. Begitu juga sebaliknya. Jadi, kebenaran dan ketidakbenaran menjadi sangat diperlukan. Sebab, tak ada kebenaran kalau tidak ada ketidakbenaran.
Bahkan, ada yang mengatakan, kebenaran dan ketidakbenaran akhirnya sama saja, bergantung kepentingan yang melatarbelakangi atau yang diperjuangkan. Bisa jadi, hari ini dipahami sebagai benar, esok bisa bergeser jadi tidak benar. Hari ini dipahami sebagai tidak benar, bisa pula esok dipahami benar. Itulah dinamika.
Maka, akibatnya, di antara ruang benar dan tidak benar itu terjadilah pergulatan pemikiran yang kadang bisa seru, menyangkut masalah aturan yang harus ditaati (taat asas) atau tuntutan keadilan yang harus dipenuhi. Pergulatan tersebut susah berhenti, sangat menyita energi, karena tiap-tiap pihak merasa paling benar. Itulah yang mendasari terus bergulirnya drama KPK versus Polri yang semakin hari semakin panas.
Lantas, mau bergerak ke mana drama tersebut? Banyak pendapat bermunculan. Akan terjadi people power atau cuma unjuk rasa biasa yang sporadis. Namun, tetap harus disadari, itu merupakan benih berbahaya dan diperlukan gerak cepat untuk meredamnya. Unjuk rasa di bundaran HI kemarin (8/11) harus disikapi sebagai keinginan kuat rakyat untuk melawan korupsi sampai habis. Pemerintah harus segera meresponsnya dengan baik dan melegakan.
Pesuruh
Yang telah diperbuat Anggodo memang menyakitkan. Seperti yang terekam, betapa ampuhnya pengusaha kelontong dari Surabaya itu menunjukkan keperkasaan di atas para pejabat penegak hukum kita. Sepertinya, dia benar-benar memiliki daya linuwih untuk bisa mengatur semua pejabat sehingga tunduk mengikuti arahannya. Bahkan, kesan yang bisa ditangkap dari rekaman itu, istana pun bisa dia tembus.
Sebenarnya, kalau mau jujur, bukan rahasia lagi praktik macam Anggodo tersebut. Di zaman Soeharto dulu, beberapa kali pernah dilakukan pemberantasan mafia peradilan karena terjadinya jual beli hukum yang begitu parah. Tapi, selalu saja penindakan itu hanya bersifat "hangat-hangat tahi ayam". Bahkan, saat itu istilah markus (makelar kasus) santer terdengar.
Jadi, Anggodo merupakan keturunan pertama markus yang berpraktik di zaman reformasi ini. Yang jadi keprihatinan, kita menyangka para markus itu sudah tiarap, tak punya kesempatan bangkit, tapi ternyata tidak. Lantas, jadi begitu dramatis, praktik markus tersebut terungkap secara terang benderang lewat Anggodo. Betapa pejabat tinggi penegak hukum kita di kejaksaan dan kepolisian bersimpuh di bawah Anggodo yang berkolaborasi dengan Ong Yuliana Gunawan, si cantik ratu narkoba.
Tentu saja harga diri dan rasa keadilan masyarakat sangat terusik. Lembaga tinggi yang paling berharga itu dirusak lagi oleh para petinggi sendiri. Spontan, rakyat meminta mereka mundur dan Anggodo harus ditangkap. Reaksi spontan seperti itu wajar dan sangat positif kalau kita masih mau berpikir positif.
Dengan berusaha berpikir positif terhadap Anggodo, kita akan bisa objektif memahami persoalan tersebut. Mengapa? Sebab, ternyata reformasi yang berjalan lebih dari sepuluh tahun ini tidak serta-merta membuat aparat penegak hukum berubah menjadi baik. Mereka justru tetap saja melakukan praktik peradilan yang mengarah ke arah praktik -menurut istilah Bambang Wijoyanto- mafioso hukum.
Mata kita dibukakan lebar-lebar oleh Anggodo. Betapa mudah dan rapuhnya para pejabat penegak hukum kita (atau bisa jadi di semua level kekuasaan) bersimpuh di bawah kaki para Anggodo dan menyediakan diri menjadi "pesuruh"-nya. Seperti yang dinyatakan oleh Dr Komaruddin Hidayat, sebagai anggota Tim 8, bandit telah menguasai instrumen negara (Jabir Alfaruqi, Jawa Pos, 7/11/2009). Tentunya, termasuk lembaga legislatif dan partai-partai politik yang berfungsi sebagai instrumen utama ke mana rakyat harus mengadu. Kita bisa mengandaikan, betapa para Anggodo dengan kedermawanan itu bermain di segenap lini proses politik dan bisnis. Mereka memiliki power kuat untuk memengaruhi segala kebijakan politik.
Kita lantas disadarkan oleh Anggodo. Betapa pun jahatnya dia, yang oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud M.D. disebut menjijikkan dan menyeramkan, kejahatan tersebut punya sisi baik yang kini bisa diambil. Terbukti, saat ini perjuangan melawan korupsi bisa terkristal dengan kuat, bersatu membersihkan lembaga penegak hukum, bahkan menjadi titik balik yang mengental untuk segera dilakukan secara tertib di semua level kekuasaan. Kini tinggal keberanian SBY untuk segera bergerak mereformasi dua lembaga penegak hukum itu.
Hipokrit
Kita sering melihat, betapa gigih dan idealnya orang memperjuangkan keadilan bagi masyarakat. Namun, ketika tiba giliran memegang jabatan dengan fasilitasnya, orang itu lalu berubah dengan tampilan hipokrit. Sikap hipokrit itulah yang kemudian "dibidik" para Anggodo sebagai titik lemah. Mestinya jangan hipokrit, tetap saja konsisten. Itulah esensi jihad yang sesungguhnya.
Pemahaman seperti itu menjadi sangat penting bagi kalangan orang muda yang segera mewarisi negeri ini. Mereka harus waspada, jangan sampai terulang hal yang saat ini dialami kalangan orang tua mereka, yang begitu mudah dikalahkan oleh para Anggodo. Betapa pun pandai seorang pejabat dan birokrat kita, kalau dia mudah dipengaruhi praktik Anggodo, itulah sesungguhnya yang dinamakan kebodohan. Orang muda jangan melakukan lagi kebodohan seperti itu.
Begitulah, suka atau tidak suka, benar atau tidak benar, Anggodo telah memberikan pelajaran berharga. Boleh saja kita melihat dia sebagai penjahat yang harus dihukum. Tapi, tidak salah juga bila kita melihatnya dari sisi lain. Anggodo telah memberi kita shock therapy ampuh dengan kejahatan yang mampu membuat kita untuk kali pertama benar-benar bisa bersatu melawan korupsi. Juga, bisa menggugah sejuta lebih anak muda lewat Facebook dalam melawan korupsi. (*)
Fananie Anwar , pengamat sosial kemasyarakatan, ketua Lembaga X-ist (Eksponen Inginkan Semua Tertib) Surabaya
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 9 November 2009