Parlemen "Online"
Jangan menyepelekan Facebook. Gerombolan orang yang ”diam” ini dapat menjadi kelompok penekan dalam suatu kasus.
Parlemen online bahkan dinilai berhasil menjalankan fungsi parlemen sebenarnya di Senayan. Setidaknya kasus Prita Mulyasari versus Rumah Sakit Omni dan KPK versus Polri, yang mereka usung, ikut memengaruhi kebijakan publik yang diputuskan kemudian.
Kasus terakhir, Wimar Witoelar (WW) dalam Facebook-nya menulis: ”Kekuatan rakyat bulan Mei 1998 bergerak untuk melawan sistem dan di November 2009 justru digerakkan oleh sistem”. Bisa jadi apa yang dikatakan benar jika mengacu substansi pembicaraan yang sama, yang juga ditanyakan Goenawan Mohamad (GM) dalam wall-nya, ”Apakah aparat penegak hukum kian bobrok? Atau, sebenarnya kebobrokan itu dulu juga parah tetapi tak terungkap? Karena dulu—sejak ’demokrasi terpimpin’ Bung Karno, sampai ’Orde Baru’ Suharto—tak ada pers bebas, tak ada KPK, tak ada Mahkamah Konstitusi?”.
Kalimat-kalimat yang diproduksi kedua tokoh ini, dan ratusan ribu facebookers, ikut memengaruhi proses penyelesaian konflik KPK versus Polri yang berujung penangguhan penahanan Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah.
Dalam konteks WW dan GM, ”sistem” yang dimaksud mengacu ”perpindahan rezim”, yang otoritarian menuju demokrasi. Dari rezim yang menciptakan ”negara sebagai misteri” menuju negara yang menganut demokrasi sebagai sarana atau fasilitas dalam kebebasan. Demokrasi ini memberi jalan bagi publik untuk berpartisipasi dalam pertikaian politik yang dianggap tidak mewakili keadilan publik. Sekaligus menyodorkan kenyataan getir tentang keadilan publik yang diperkosa aparat negara.
Melonjaknya partisipasi publik melalui Facebook menunjukkan bagaimana demokrasi dimanfaatkan publik sebagai sarana kebebasan mengekspresikan gagasan dan kemarahan, sekaligus merepresentasikan ketidakpuasan terhadap pertanggungjawaban politik elitenya. Para elite dimaksud menunjuk institusi penegak hukum seperti kejaksaan, peradilan, dan polisi yang dianggap angkuh dalam kekuasaan, tecermin dalam jargon ”cicak lawan buaya”.
Fakta hukum
Ada hal-hal menarik dari fakta hukum itu. Pertama, gerakan facebookers merupakan representasi gugatan publik terhadap sebagian besar ahli hukum dan advokat tentang makna keadilan hukum itu sendiri. Ada kegeraman, ketidaksetujuan, dan penolakan terhadap hukum yang berisi perangkat norma yang padu, logis, dan otonom dari aneka pengaruh politik, ekonomi, dan budaya. Hukum menjadi kumpulan perdebatan kering pasal-pasal tanpa makna, tidak merefleksikan konsep jiwa publik terhadap keadilan substantif.
Kedua, tercemarnya aneka institusi hukum dan aparat akibat tidak tahan godaan kekuasaan dan uang. Tidak heran jika sebagian besar rancang bangun sistem hukum dan filosofi yang menopangnya tidak memungkinkan hukum melakukan perubahan sosial atau menghadirkan keadilan substantif. Beberapa kasus menunjukkan, produk hukum yang dirancang tidak lahir dari kebutuhan masyarakat dan mendapat penolakan publik yang luas, seperti terjadi pada RUU Rahasia Negara. Kesenjangan antara harapan dan fakta inilah yang membuat publik mencoba mendefinisikan kembali keadilan substantif yang diinginkan melalui ruang personal yang publik, Facebook.
Ketiga, parlemen online dianggap sebagai solusi alternatif saat kebuntuan komunikasi antara aneka institusi formal negara dan publik tersumbat. Ia merekam keinginan dan kebutuhan publik tentang makna keadilan hukum yang dicita-citakan sekaligus penolakan terhadap keadilan prosedural yang didefinisikan institusi-institusi negara.
Dengan mencermati kondisi itu, kehadiran parlemen online harus dilihat dari makna positif, sebagai wujud partisipasi langsung rakyat terhadap kinerja presiden yang langsung dipilih rakyat. Kenyataan ini merupakan dorongan bagi presiden agar tidak ragu melaksanakan program pemerintah yang berorientasi pada kebutuhan dan kepentingan rakyat banyak, salah satunya gerakan antikorupsi dengan reformasi birokrasi.
Selain itu, gerakan parlemen online juga merupakan acuan kerja Tim Pencari Fakta (TPF) agar dalam tugas yang dilakukan mengedepankan keadilan substantif ketimbang sekadar keadilan prosedural semata, karena inilah sebenarnya inti gugatan rakyat. Temuan TPF dapat dijadikan pintu masuk reformasi total institusi penegak hukum, yang dilakukan transparan dan memenuhi akuntabilitas publik.
Namun, dalam jangka panjang, kehadiran terus-menerus parlemen online menunjukkan rapor merah pemerintah karena dianggap tidak mampu mengelola dan memfungsikan aneka institusi negara sesuai dengan tujuan dan kebutuhan publik yang luas.
Jaleswari Pramodhawardani Peneliti Puslit Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) LIPI
Tulisan ini disalin dari Kompas, 6 November 2009