Negara ''Dikanibal'' Markus
KASUS yang belakangan ini masih menyengat negeri, khususnya dunia peradilan sehubungan dengan pengungkapan rekaman KPK, tidak hanya terletak pada dugaan kriminalisasi terhadap KPK. Namun, juga bermainnya aktor di luar peradilan yang seolah-olah sukses memosisikan dirinya sebagai ''peradilan'' itu. Orang luar yang dianggap ''berjasa'' membuat dunia peradilan tak berdaya tersebut, salah satunya, diberi nama ''markus''.
Kawan yang sudah lama bekerja atau menahbiskan profesinya sebagai ''makelar kasus'' (markus) menyebutkan, 90 persen aparat penegak hukum di Indonesia telah dikuasai markus. Mereka tidak akan bisa berlaku objektif dalam menangani kasus hukum karena kinerjanya telah dipengaruhi sepak terjang markus.
Benarkah tuduhan bahwa komunitas penegak hukum kita telah dikuasai atau menjalani profesinya dalam ''ketiak'' markus? Apa memang sangat besar dampak yang harus ditanggung oleh bangsa ini manakala markus berhasil memengaruhi atau menghegemoni aparat penegak hukum?
***
Memang, belum ada hasil penelitian yang menyebutkan secara terbuka bahwa 90 persen markus berhasil menguasai dan jauh lebih berdaulat daripada aparat penegak hukum. Tapi, setidaknya beberapa kasus yang mencuat belakangan ini mengindikasikan dahsyatnya pengaruh markus dalam mewarnai atau mengobok-obok citra peradilan di Indonesia.
Untuk sampai pada konklusi menyalahkan atau memosisikan markus sebagai ''terpidana'' yang membuat karut-marutnya dunia peradilan, ada beberapa temuan yang bisa dilihat. Yakni, polling oleh berbagai lembaga survei atau lembaga pemantauan mengenai citra dunia peradilan, di samping membaca praktik-praktik penanganan kasus di lingkungan peradilan.
Sebagai sampel pembenar misalnya, awal 2007, Transparency International Indonesia (TII) merilis hasil survei terhadap institusi peradilan dan lembaga pelayanan publik lainnya. Hasilnya mengejutkan banyak pihak. Yakni, 100 persen inisiatif suap di lembaga peradilan justru berasal dari pejabat atau pegawai peradilan.
Kemudian, pada 2008, survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) menempatkan peradilan Indonesia di posisi terburuk di Asia. PERC menempatkan peradilan Indonesia pada posisi terburuk pertama se-Asia dengan skor 8,26 (Madril, JP, 27 Oktober 2009).
Temuan itu setidaknya bisa dijadikan acuan bahwa dunia peradilan yang diposisikan sebagai lembaga terkorup tidaklah lepas dari pengaruh atau ''jasa'' para markus.
Pendapat Fauzan Hadad (2008) pun demikian. Sudah lama dunia peradilan berada dalam cengkeraman pengaruh makelar-makelar yang pandai memanfaatkan kelemahan aparat penegak hukum. Kalaupun ada aparat yang terlihat berintegritas moral tinggi, mereka mencoba mencari celah atau kelemahan yang bisa digunakan untuk melemahkan atau menjinakkan atau mengamputasi.
Kalaupun sulit mencari kelemahannya, mereka mencoba bekerja sama dengan aparat untuk menjauhkan atau menyingkirkannya dari kemungkinan menangani kasusnya.
Tulisan itu setidaknya bisa dijadikan tolok ukur bahwa upaya pelemahan lembaga peradilan dari peran sakralnya dalam menegakkan hukum tidak hanya dilakukan orang luar yang mengintervensi. Tapi, bisa pula dilakukan oleh elemen peradilan sendiri yang mentalitasnya sudah terkooptasi atau berhasil ''dinajisi'' oleh kekuatan eksternal semacam markus.
Tragisnya lagi, tidak sedikit pula ditemukan elemen penegak hukum yang senang dan bangga berhasil dikalahkan oleh markus atau dijadikan ''piaraan'' elite ekonomi semacam konglomerat hitam yang dengan kekuatan modal dan lawyer yang dimilikinya mampu memanjakan dirinya. Elemen penegak hukum demikian akhirnya kehilangan kecerdasan etika atau gagal menjalankan misi profesionalismenya karena dilindas keuntungan besar yang diperoleh.
''Kedaulatan markus'' itu sudah lama, khususnya sejak Orde Baru, telah memasuki pori-pori peradilan. Tak ada peradilan di negeri ini yang steril dari kepintaran serta kelicikan markus. Hukum tak bisa dijadikan alat menembak orang yang sebenarnya dalam sisi pembuktian sudah lengkap karena peran markus yang bisa mengalahkan atau mengimpotensikan idealisme norma-norma hukum.
Ada markus yang tidak bergelar, namun berdasi. Di samping itu, tidak sedikit yang bergelar sarjana, magister, bahkan doktor. Mereka bisa berada di balik dinding peradilan (menemui polisi, jaksa, dan hakim) untuk bernegosiasi atas kasus yang sedang ditangani atau melibatkan kliennya atau orang lain yang menurutnya bisa dikalkulasi menguntungkan.
***
Ulah markus di zona peradilan tersebut mengakibatkan buruknya citra negara hukum. Identitas rechstaat ini tak ubahnya secara das sollen hanya menjadi identitas yang manis di atas kertas. Sementara dalam realitasnya (das sein), jati diri negara hukum telah terkoyak atau ''terkanibal'' sangat parah layaknya serpihan yang termakan dengan cara sadistis.
Marcus Tullius Cicero (Romawi) dalam ''De Legibus'' menyatakan, hukum merupakan akal tertinggi (the highest reason) yang ditanamkan oleh alam dalam diri manusia untuk menetapkan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Kalau manusia itu mengenal hukum, dalam dirinya mempunyai rambu-rambu yang menentukan opsi dari perbuatan yang merugikan dan menghancurkan ataukah memberdayakan dan mencerahkan.
Kalau negara itu sudah menggunakan hukum sebagai rule of game setiap warga bangsa dengan idiom negara hukum, seharusnya siapa pun orang yang hidup di negara itu, apalagi elemen penegak hukumnya, wajib menegakkan dan menjaga kedaulatannya.
Sayangnya, elemen penegak hukum kita tergelincir menjatuhkan opsi yang salah dengan menempatkan hukum bukan sebagai wujud akal tertinggi. Tapi, sebagai alat untuk ''mengadali'' (mengakali) objektivitas, keadilan, kejujuran, serta kebenaran hukum.
Elemen penegak hukum yang sedang sesat jalan atau menyelingkuhi amanatnya itu bahkan lebih senang bisa menempatkan markus sebagai sumber pendapatan tak resminya, namun jumlahnya sangat besar. Mereka bisa berkolaborasi dengan markus untuk mempermainkan atau membengkokkan hukum, kalau perlu sampai ke ranah kematiannya. (*)
*). Abdul Wahid, dekan fakultas hukum dan pengajar program Pascasarjana Ilmu Hukum Unisma Malang; penulis buku ''Republik Kaum Tikus''
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 7 November 2009