Momok Kenaikan Harga Elpiji
Terhitung mulai 10 Oktober 2009, Pertamina menaikkan harga jual elpiji kemasan 12 kg dari Rp 5.750/kg menjadi Rp 5.850/kg (hampir 2 persen). Atau naik dari Rp 69.000/tabung menjadi Rp 70.200/tabung. Harga jual elpiji kemasan 50 kg juga naik Rp 100 per kilogram, dari harga semula Rp 7.255/kg menjadi Rp 7.355/kg. Dengan demikian, harga dalam kemasan 50 kg naik dari Rp 362.750/tabung menjadi Rp 367.750/tabung. Sedangkan harga jual elpiji tabung 3 kg tetap, yaitu Rp 4.250/kg eks agen (Rp 12.750/tabung).
Para ibu rumah tangga, yang selama ini menjadi "manajer keuangan" keluarga, akan dibuat pusing tujuh keliling. Mereka jelas terkena dampaknya secara langsung. Maklum, berdasar data Pertamina, pengguna terbesar elpiji adalah sektor rumah tangga (85 persen). Sisanya yang 15 persen merupakan sektor industri.
Mereka jelas akan "kebakaran" menerima kenyataan pahit kenaikan harga elpiji ini. Bagaikan petir di siang bolong, mereka kaget dan terkesima. Sebab, kenaikan harga elpiji ini akan membawa dampak/efek spiral kenaikan harga komoditas yang terkait dengan elpiji.
Kenaikan harga elpiji ini akhirnya menjadi momok yang menakutkan. Memang, secara hitungan matematis, kebijakan ini harus diambil karena Pertamina selama ini senantiasa memberikan subsidi terhadap harga elpiji sekitar Rp 7 triliun setiap tahun (sesuai harga minyak dunia terbaru). Subsidi ini menurut rencana dicabut dan sebagai konsekuensi harga elpiji akan naik.
Menurut rencana, harga elpiji dinaikkan bertahap hingga mencapai harga keekonomian, sekitar Rp 11.400/kg atau Rp 136.800 per tabung 12 kg. Masyarakat akan "terbakar" ekonomi keluarganya. Dan, bukan tidak mungkin sebagian besar akan balik lagi menggunakan minyak tanah.
Korban Berjatuhan
Kendati secara rasional-empiris, semua alasan yang dikemukakan Pertamina di balik rencana kenaikan harga elpiji ini masuk akal, tak urung kebijakan ini akan memunculkan korban yang demikian besar dan banyak. Daya beli masyarakat pengguna elpiji, terutama keluarga-keluarga yang berpenghasilan mepet, akan semakin terpuruk. Padahal, sejak harga BBM naik, pendapatan mereka relatif tidak pernah meningkat. Itu berarti kehidupan mereka semakin memberat dengan kenaikan harga elpiji ini.
Terlebih belakangan ini terjadi gelombang besar pemutusan hubungan kerja (PHK) di bebeberapa sektor industri pascaresesi ekonomi global. Banyak industri manufaktur berorientasi ekspor yang gulung tikar. Berbagai sektor industri (kecil, menengah, besar) sudah berencana melakukan PHK masal.
Belum lagi bicara kemungkinan pengurangan produksi dan penutupan pabrik beberapa industri beorientasi ekspor, yang selama ini mengandalkan pasar AS dan Eropa Barat. Kondisi industri ini semakin runyam dan bukan tidak mungkin perusahaan akan bangkrut dalam waktu dekat.
Jelas, kondisi semacam ini sangat memprihatinkan masyarakat miskin di tengah-tengah tingginya angka pengangguran yang kini mencari pekerjaan. Nah, situasi bertambah runyam manakala terjadi kompetisi kenaikan harga pasca kenaikan elpiji, terlebih momentumnya bersamaan dengan kenaikan tarif jalan tol yang baru saja dilakukan.
Kualitas kehidupan masyarakat jelas terpengaruh. Jangankan memenuhi kebutuhan hidup minimum (KHM) -masih termasuk pendidikan, kesehatan, wisata-, untuk memenuhi kebutuhan fisik minimum (KFM) saja -hanya untuk makan semata-, mereka merasa kesulitan. Menurut perhitungan pemerintah, kenaikan berbagai komoditas strategis ini berpengaruh kecil terhadap inflasi. Bahkan, ada seorang peneliti dari sebuah universitas terkenal yang mengalkulasi bahwa dampak kenaikan harga elpiji sungguh tidak berpengaruh (kecil) terhadap struktur biaya produksi sebuah usaha yang rakus elpiji sekalipun.
Sesungguhnya, realitas yang terjadi di lapangan sangat berbeda. Dengan kenaikan berbagai komoditas strategis semacam elpiji ini, pengeluaran keluarga di Indonesia akan naik 10-15 persen, bahkan bisa di atas 15-20 persen. Padahal, kenyataannya, pendapatan mereka tidak naik. Kalaupun ada, persentasenya tidak pernah melampaui kenaikan pengeluaran akibat kenaikan harga komoditas dan jasa strategis.
Oleh sebab itu, Pertamina selayaknya berhitung ulang mengenai rencana kenaikan harga elpiji secara bertahap, yang dimulai pada 10 Oktober itu.
Memperparah Situasi
Pekerjaan rumah yang dihadapi pemerintah tidaklah usai dengan kenaikan harga elpiji. Terlebih hingga saat ini daya beli masyarakat banyak (dominan menggunakan elpiji) belumlah pulih pascaresesi ekonomi. Itu artinya, pekerjaan rumah pemerintah kian bertambah berat saja. Satu pekerjaan belum usai, sudah ditambah pekerjaan rumah yang baru lagi.
Prospek pemulihan ekonomi dengan serangkaian kebijakan moneter dan fiskal, berpotensi terganjal lagi. Fenomena ini jelas memperparah situasi ekonomi yang belakangan semakin kurang kondusif akibat kenaikan suku bunga.
Jadi, ekonomi kenaikan jalan tol (lalu) dan kenaikan elpiji menjadi agenda tersendiri. Kompleksitasnya sungguh tinggi, mengingat (mungkin) belum ada referensi yang bisa dijadikan pegangan kita bersama untuk mengatasi kedua hal secara simultan.
Mungkin negeri ini memang diizinkan oleh Yang Kuasa untuk mengalami dua fenomena yang sungguh menyesakkan dada. Sebab, yang berlangsung di depan mata adalah terjadinya upaya memorakporandakan fondasi struktur ekonomi masyarakat yang tengah dibangun bersama. Mudah-mudahan ini adalah pesan dan kejadian terakhir di negeri yang rakyatnya tengah kesulitan akibat tingginya biaya kehidupan. (*)
Susidarto, praktisi perbankan, pemerhati masalah ekonomi
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 13 Oktober 2009