Menuntaskan Rekening Liar
Belum lama ini, Tim Penertiban Rekening yang dibentuk Departemen Keuangan (Depkeu) menyerahkan 260 rekening liar dengan total nilai Rp 314,2 miliar dan USD 11 juta ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kasus rekening liar itu diserahkan ke KPK karena Tim Penertiban yang dipimpin Irjen Depkeu Hekinus Manau telah menyerah. Peringatan yang disampaikan Depkeu kepada lembaga negara dan departemen untuk menertibakan rekening-rekening yang dianggap liar tidak dihiraukan. Selain itu, tim menemukan adanya indikasi penyalahgunaan penggunaan rekening liar tersebut yang merugikan negara.
Sesuai laporan Depkeu, mayoritas rekening tersebut berasal dari Mahkamah Agung (MA), Depdagri, Depkum HAM dan Depsos, serta BP Migas. Langkah itu merupakan tindak lanjut atas pembekuan 4.127 rekening liar senilai Rp 1,17 triliun dan USD 9,3 juta (Jawa Pos, 26 Desember 2008).
Sesungguhnya, Tim Penertiban Depkeu sudah bekerja lebih dari setahun lalu. Hasilnya, pada semester I 2008, tim telah menutup 1.120 rekening liar lintas departemen dengan total nilai Rp 446,7 miliar dan USD 9,13 juta. Tercatat, dari penutupan rekening liar sepanjang 2007 dan 2008, Depkeu telah mengamankan dana Rp 7,28 triliun.
Jumlah temuan Depkeu kepada KPK berbeda dari laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menemukan 2.240 rekening liar yang dikelola kementerian/lembaga negara dengan total nilai Rp 1,39 triliun. Meski dinilai lamban karena BPK sudah menyampaikan temuan itu tiga tahun lalu, upaya pemerintah untuk melakukan penertiban dan mengambil tindakan tegas untuk melaporkan rekening liar tersebut patut diapresiasi.
Disebut rekening liar karena rekening itu digunakan untuk menyimpan uang negara dan menampung sejumlah penerimaan negara, tapi tidak disetorkan ke kas negara.
Selain itu, rekening tersebut tidak pernah dilaporkan kepada menteri keuangan sebagai bendahara umum negara. Adanya rekening liar tersebut juga menunjukkan tidak adanya rekening pemerintah yang terpadu. Pada sisi lain juga harus dinilai sebagai inefisiensi birokrasi.
Rekening liar umumnya digunakan untuk menyimpan pungutan tak resmi atau dana nonbujeter. Biasanya menjadi dana taktis yang peruntukannya sering tidak sesuai fungsi dari departemen atau lembaga negara tersebut.
Selain itu, ada rekening liar yang digunakan untuk menampung sebagian dana anggaran negara, tapi tidak dilaporkan. Pola tersebut banyak dilakukan pejabat di daerah. Mereka menyimpan dana bantuan pusat untuk daerahnya dalam rekening gelap seperti itu. Akibatnya, banyak pembangunan yang terbengkalai karena dana tersebut sulit dikeluarkan.
Melanggar Hukum
Praktik penggunaan rekening liar tersebut jelas melanggar hukum. Pejabat tidak dibenarkan mengumpulkan pungutan bukan pajak tanpa menyetorkannya ke kas negara. Hal itu jelas melanggar UU No 20/1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Pembuatan rekening untuk menampung dana anggaran pun tetap harus dilaporkan sebagaimana diatur dalam UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara. Atuaran itu menyebutkan, menteri atau pemimpin lembaga bisa membuka rekening untuk penerimaan hanya setelah mendapat persetujuan bendahara negara, dalam hal ini menteri keuangan. Tanpa persetujuan menteri keuangan, meski di bawah departemen atau lembaga negara, rekening itu harus dianggap rekening liar.
Adanya rekening liar tidak saja membuat uang negara triliuan rupiah menguap setiap tahun, namun juga menyebabkan laporan keuangan pemerintah kacau-balau serta sulit dipertanggungjawabkan.
Sejak 2003, BPK selalu tidak memberikan pendapat (disclaimer) atas laporan keuangan pemerintah pusat. Salah satu penyebabnya adalah akibat banyaknya rekening liar tersebut.
Penilaian disclaimer sebetulnya sangat memalukan karena berarti pemerintah dianggap tak sanggup mengelola keuangan negara secara terbuka dan bisa dipertanggungjawabkan. Hasil pemeriksaan BPK itu juga mengindikasikan kemungkinan korupsi masih merajalela di departemen dan lembaga-lembaga pemerintah.
Langkah yang dilakukan Tim Penertiban untuk meminta KPK mengusut rekening liar merupakan pilihan tepat. KPK telah membuktikan kemampuannya dalam mengusut rekening liar dan dana nonbujeter di Departemen Kelautan dan Perikanan yang kemudian menyeret mantan Menteri Rokhmin Dahuri. Diharapkan, pengusutan yang dilakukan KPK tuntas, sehingga tidak muncul rembali rekening liar pada masa datang.
Diumumkan ke Publik
KPK juga perlu mengumumkan kementerian yang masih memiliki rekening liar dan rekening-rekening itu harus segera ditutup. Pengumuman tersebut diharapkan dapat menjadi efek kejut terhadap pejabat publik yang membuat rekening liar atau yang berencana membuat rekening resmi lainnya.
Perlu diberikan sanksi administratif kepada aparatur negara yang melakukan kekeliruan atau penyimpangan pengelolaan keuangan negara dengan menyimpan di rekening yang tidak jelas.
Selagi KPK mengusut, pengawasan terhadap pengelolaan keuangan negara tetap perlu ditingkatkan. Pemerintah semestinya memberdayakan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk mengawasi departemen serta lembaga negara dalam mengelola uang negara. BPKP sebagai institusi pengawas keuangan di bawah pemerintah harus juga diberi wewenang mengawasi lebih intensif. Tak cuma mengaudit setahun sekali.
Upaya penertiban rekening liar di sejumlah departemen dan lembaga negara harus jadi bagian tidak terpisahkan dari reformasi birokrasi. Adanya rekening liar pada sisi lain juga harus dinilai sebagai inefisiensi birokrasi. Model birokrasi di Indonesia yang carut-marut harus segera dipangkas. Penemuan BPK soal rekening liar itu juga harus menjadi momentum pembersihan praktik korupsi di semua departemen dan lembaga negara.
Emerson Yuntho, anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) di Jakarta
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 5 Januari 2009