Menunggu Ketegasan Pemerintah
Salah satu jargon kampanye SBY-Boediono adalah pemerintahan bersih. Ada rencana menyelesaikan reformasi birokrasi pada 2011. Pertanyaannya, betulkah pemerintah mampu mewujudkan reformasi birokrasi pada 2011?
Pertanyaan ini didasari kenyataan yang justru bertentangan dengan rencana itu.
Kasus Bank Century
Contoh pertama kasus Bank Century. Tulisan ini menyoroti proses bukan kebijakan. Dari informasi di media, muncul dugaan kuat, ada ketidakberesan dalam penyelesaian soal itu. Pernyataan Wapres Jusuf Kalla bahwa ini adalah perampokan, mendorong kesimpulan ada dugaan pelanggaran hukum. Pernyataan Wapres tentu berdasar meski yang digunakan bukan uang rakyat.
Transparansi sebagai salah satu prinsip dasar pemerintahan bersih mungkin tidak penuh dipraktikkan. Aneka berita yang ada patut membuat kita menduga adanya upaya menutupi apa yang sebenarnya terjadi.
Jawaban Presiden SBY, ”kasus Bank Century bukan wilayah saya,” juga mengherankan. Seluruh masalah di pemerintahan adalah wilayah Presiden. Jika dikatakan perdamaian di Aceh tidak akan terjadi tanpa persetujuan Presiden, bail-out Bank Century tidak akan terjadi tanpa persetujuan Presiden, kecuali Wapres mengambil keputusan, saat Presiden ke luar negeri.
Menkeu mengatakan, jangan menilai kebijakan yang dilakukan hampir setahun lalu dengan kondisi sekarang yang berbeda. Menurut media, Menkeu melapor kepada Presiden sebelum melakukan bail-out dan melapor kepada Wapres setelah melakukan bail-out. Ketika Menkeu melapor, Wapres menyalahkan bail- out itu. Jadi, Wapres tak menilai bail-out tersebut dengan kondisi sekarang, tetapi kondisi saat itu.
Mengapa Menkeu tidak meminta pendapat Wapres lebih dulu terkait rencana bail-out itu? Apalagi Presiden sedang bertugas ke luar negeri. Kalaupun Presiden tidak ke luar negeri, idealnya pendapat Wapres didengar, paling tidak untuk mendapat second opinion, sebagai wujud sikap hati-hati yang menjadi prinsip kebijakan perbankan.
Menkeu bukanlah pihak yang membuat keputusan, hanya melaksanakan. Jika Presiden melarang, Menkeu bisa menolak permintaan BI dan LPS. Apa pun keputusan Presiden jika dilakukan dengan pertimbangan murni untuk kepentingan bangsa, kita harus menghormatinya karena itu adalah wewenang Presiden.
Sikap Boediono yang tak bersedia berkomentar, yang mungkin maksudnya baik agar kasusnya tak tambah ramai, juga tidak positif. Berita di media mengungkap dugaan, terjadi pembayaran dana nasabah di atas jumlah maksimum Rp 2 miliar kepada sejumlah deposan besar.
Jika itu benar, telah terjadi pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku.
Peralatan Depdiknas
Contoh lain adalah praktik yang melanggar prinsip pemerintahan bersih di Departemen Pendidikan Nasional. Ada informasi menarik tentang proses pengadaan alat peraga untuk mata pelajaran Matematika, IPS, dan lainnya. Pada 2006-2007, di banyak sekolah di sejumlah kabupaten yang menggunakan alat peraga itu dilakukan semacam tes terhadap 30-60 guru terpilih. Dari 17 lokasi, ada 11 lokasi di mana jumlah guru yang mencapai angka hasil tes di bawah 60 mencapai 70 persen sampai 94,74 persen.
Lalu diadakan pelatihan dengan menggunakan alat peraga B selama beberapa jam dan dilakukan tes ulang. Hasilnya, di Pandeglang, jumlah yang semula 70 persen dengan angka di bawah 60 menjadi nol persen. Di banyak tempat, terjadi peningkatan hasil tes yang amat tinggi. Kesimpulannya, alat peragaan B lebih efektif daripada alat peraga A.
Yang mengherankan, alat peraga B tak mendapat kesempatan ikut pelelangan, padahal guru- guru yang ikut tes dan pelatihan di 17 lokasi itu lebih dari 85 persen menyetujuinya. Kabarnya anggaran pengadaan alat peraga itu mencapai Rp 6 triliun. Dugaan logis atas praktik di atas adalah terjadi permainan dalam proses pengadaan, yang telah berjalan di bawah beberapa menteri.
Selain pengadaan alat peraga, pengadaan buku juga penuh permainan. Jika benar, peningkatan anggaran pendidikan yang amat tinggi telah disia-siakan. Jika pemerintah mendatang (presiden, wapres, dan menteri) mengabaikan masukan seperti tulisan ini, jangan berharap akan ada pemerintahan yang bersih.
Harus tanggap
Dua contoh kasus itu harus diusut tuntas. Jika ada pelanggaran pidana, harus diproses secara hukum. Tampaknya kasus seperti di Depdiknas masih banyak. Para rekanan di banyak departemen dan lembaga negara banyak mengeluhkan pungutan dari pimpinan proyek. Mereka bisa menerima praktik busuk itu jika jumlahnya tak besar, katakan sebagian keuntungan rekanan, sehingga tak perlu mengorbankan mutu pekerjaan atau menaikkan harga.
Kasus yang melibatkan mantan Menkes bisa menjadi contoh. Juga yang melibatkan sejumlah dirjen di beberapa departemen. Kawan saat saya menjadi rekanan pemerintah tahun 1980-an hingga pertengahan 1990-an mengatakan, kini pungutan lebih besar daripada sebelumnya.
Pemerintah tak boleh pura- pura tidak tahu atas banyak praktik busuk itu. Jika menginginkan pemerintahan bersih, pemerintah perlu membuka diri terhadap laporan masyarakat dan mengusutnya. Pengusaha juga harus berani melaporkan jika mendapat tekanan untuk memberi sesuatu yang bisa dianggap merugikan negara. Kita menunggu ketegasan pemerintah.
Salahuddin Wahid Pengasuh Pesantren Tebuireng
Tulisan ini disalin dari Kompas, 16 September 2009