Menjerat Ring 1 Koruptor
Saturday, 11 June 2016 - 00:00
Menurut catatan ICW selama 12 tahun tak satu pun pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang pasif dijerat KPK. Hal ini membuktikkan bahwa KPK tidak secara serius menerapkan Pasal 5 UU No 8 tahun 2010. Amanat dari pasal ini jelas mengatakan bahwa aparat penegak hukum dapat mengambil tindakan kepada orang-orang yang menerima atau menikmati dana dari pelaku tindak pidana pencucian uang.
Jika membahas secara rinci isi dari pasal tersebut kita dapat menerima pesan bahwa tujuan dari pasal ini adalah untuk menjerat kroni-kroni koruptor. Pelaku korupsi sejatinya tidak bergerak sendiri, tapi mereka membangun suatu sinergitas dan kerjasama agar praktik-praktik kotor mereka tidak tercium oleh aparat penegak hukum.
Ditinjau dari proses terjadinya tindak pidana pencucian uang, ada 3 (tiga) tahapan yang akan dilakukan pelaku koruptor. Pertama, tahap penempatan. Pada tahap ini pelaku pencucian uang akan menempatkan uang hasil korupsinya ke sistem keuangan suatu negara. Kedua, tahap pelapisan. Pelaku pencucian uang akan berusaha untuk mentransfer uang hasil tindak pidana korupsi ke beberapa rekening untuk menyamarkan jejak agar tidak diketahui aparat penegak hukum.
Ketiga, tahap integrasi. Tahapan ini menjadi akhir dari perjalanan uang-uang yang sudah disebar untuk disatukan kembali kedalam keuangan milik pelaku pencucian uang. Sebenarnya titik inti jika ingin menjerat para kroni-kroni koruptor ada di tahap kedua, yaitu pelapisan. Pada tahap ini seharusnya PPATK bisa langsung menemukan transaksi-transaksi yang mencurigakan untuk kemudian dilaporkan kepada aparat penegak hukum.
Harus diakui memang dalam upaya pemberantasan korupsi, khususnya pencucian uang, KPK telah mengalami kemajuan yang signifikan setiap tahunnya. Sebut saja kasus M.Nazarudin, Wa Ode Nurhayati, Djoko Susilo, Luthfi Hasan Ishaq, Akil Mochtar menjadi sederet nama yang telah dikenakan UU No 8 tahun 2010 tentang tindak pidana pencucian uang. Sayang, pelaku pasif dari sekian banyak kasus tersebut belum tersentuh olek KPK.
Justru kepolisian yang harus diapresiasi terkait penerapan Pasal 5 UU No 8 Tahun 2010 tentang pelaku pasif pencucian uang. Dalam kasus artis Eddies Adhelia kepolisian menyatakan bahwa telah menemukan aliran dana Rp 10 miliar yang ditransfer secara bertahap ke rekening Eddies dari rekening suaminya (Ferry Setiawan, tersangka kasus penipuan investasi batu bara) dan menetapkan Eddies sebagai tersangka tindak pidana pencucian uang pasif.
Belum lagi jika kita berkaca pada penanganan kasus pencucian uang pasif di negara lain. Seperti di Yunani, sekitar Oktober 2013 lalu, Pengadilan Athena baru saja menghukum mantan Menteri Pertahanan Akis Tsohatzopoulos dengan pidana penjara 20 tahun untuk kasus korupsi dan pencucian uang. Kasus korupsi Tsohatzopoulos berawal ketika terdapat kontrak pengadaan peralatan persenjataan dari Rusia dan Jerman.
Pengadilan memvonis Tsohatzopoulos bersalah bersama 16 orang lainnya, termasuk istri, mantan istri, dan putri Tsohatzopoulos. Hal ini dilakukan karena mereka diduga menikmati hasil kejahatan Tsohatzopoulos. Pola penanganan ini yang harus ditiru oleh KPK, penguatan Pasal 5 harus menjadi salah satu fokus ketika menangani kasus pencucian uang.
Kekuatan Pasal 5
Setidaknya ada 3 (tiga) keuntungan jika KPK bisa menerapkan Pasal 5 kepada pelaku pencucian uang. Pertama, upaya pengembalian aset negara bisa lebih maksimal didapatkan. Beberapa kasus yang sedang ditangani KPK telah merugikan negara dalam jumlah yang banyak. Seperti contoh kasus M.Nazaruddin, pertengahan Mei lalu baru saja disidangkan dan Jaksa KPK mengatakan bahwa ia telah “mencuci” uang sebesar 500 Miliar dalam kurun waktu 2010 sampai 2014.
Jika dalam pengusutan kasus itu KPK bisa menerapkan Pasal 5 maka kroni-kroni Nazaruddin akan banyak yang bisa dijerat. Kedua, membangun budaya integritas di keluarga. Pelaku-pelaku tindak pidana pencucian uang sering kali dalam tahapan pelapisan mentransfer dana-dana hasil korupsi ke keluarga terdekat. Hal ini harus dijadikan momentum untuk KPK, ketika telah berhasil menjerat keluarga koruptor maka akan menjadi “teguran” keras kepada keluarga-keluarga yang masih menikmati uang hasil tindak pidana pencucian uang.
Misalnya dalam kasus Djoko Susilo atau Ahmad Fathanah. Para istri diduga menikmati uang hasil tindak pidana suaminya. Namun, hingga saat ini tak ada satupun dari mereka yang ditetapkan menjadi tersangka. Keluarga merupakan orang terdekat dari pelaku korupsi, tidak mungkin seorang istri atau anak tidak mengetahui penghasilan dari pemimpin keluarga mereka.
Budaya untuk kritis bertanya soal harta yang didapatkan harus ditanampakan dalam sebuah keluarga. Ketika seorang Ayah memberikan sesuatu yang diluar dari kebiasaan dan dalam jumlah yang banyak, maka istri atau anak “patut menduga”. Jangan sampai anggota keluarga yang tidak bersalah terkena imbas oleh pelaku-pelaku pencucian uang ini.
Ketiga, membuat efek jera koruptor. Penerapan Pasal 5 ini setidaknya bisa menjadi teguran keras kepada para pelaku pencucian uang. Pelaku-pelaku tersebut bisa sadar bahwa akibat dari tindakannya maka akan banyak orang-orang yang awalnya tidak bersalah menjadi sasaran dari jeratan pelaku pencucian pasif.
Hilangnya Keberanian
KPK sebagai sebuah lembaga yang dianggap paling berani dan menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi harus lebih serius untuk menjerat kroni-kroni koruptor dalam kasus pencucian uang. Publik tentu tidak ingin melihat para penikmat-penikmat dana haram pencucian uang masih beraktivitas seperti biasanya. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh KPK untuk memaksimalkan penggunaan Pasal 5.
Pertama, KPK bisa membangun sinergitas yang lebih kuat dengan PPATK dan Penyedia Jasa Keuangan untuk membenahi sistem pengecekan transaksi kuangan yang mencurigakan agar bisa diikuti dengan tindakan represif untuk mengamankan uang tersebut.
Kedua, pola penanganan kasus tindak pidana pencucian uang harus dimaknai dengan pendekatan yang baru, bukan lagifollow the suspect tapi harus berubah menjadi follow the money. Sasaran utamanya adalah aliran uang, produk kejahatan pencucian uang ini harus dijadikan sebagai subjek dalam hukum. Sehingga penuntasan kasus pelaku aktif ataupun pasif pencucian uang dapat ditindak secara maksimal.
Ketiga, diperlukan komitmen yang kuat dari pimpinan serta penyidik KPK untuk berani menerapkan Pasal 5 dalam setiap kasus pencucian uang. Tindak pidana korupsi adalah sebuah kejahatan yang terus mengikuti perkembangan zaman, telah dibuktikan dari kasus pencucian uang. Pola terstruktur dan sistematis menggunakan media elektronik dalam sistem perbankan seringkali bisa mengelabui aparat penegak hukum. Perlu keberanian yang lebih dari jajaran KPK untuk bisa menjawab permasalahan penerapan Pasal 5 ini.
UU Tindak Pencucian Uang menjadi paket penting untuk pemberantasan korupsi. Peraturan ini menjadi pintu masuk untuk upaya perampasan aset-aset gelap para koruptor. Meminjam kata-kata dari Mahatma Gandhi “Jangan bekerja sama dengan kejahatan, karena kewajiban kita adalah bekerja sama dengan kebaikan” rasanya tepat untuk orang-orang yang masih menikmati harta dari pelaku pencucian uang.
Kurnia Ramadhana, Divisi Fundraising Indonesia Corruption Watch (ICW)
Disalin dari Jawa Pos, 10 Juni 2016