Mengobral Remisi untuk Koruptor
Dalam beberapa waktu terakhir, wacana melonggarkan pemberian remisi untuk terpidana perkara korupsi masih menjadi polemik dan perdebatan sejumlah kalangan.
Pemicunya adalah rencana Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly untuk merevisi kebijakan pengetatan pemberian remisi kepada koruptor. Yasonna beralasan, wacana melonggarkan syarat pemberian remisi untuk koruptor merupakan bagian dari upaya memperbaiki sistem peradilan pidana. Menkumham juga berkeras, kebijakan remisi, termasuk untuk terpidana korupsi, akan terus dikaji dengan atau tanpa persetujuan Presiden Joko Widodo.
Pro dan kontra
Undang-Undang tentang Pemasyarakatan menyebutkan, remisi merupakan hak bagi setiap narapidana. Namun, syarat dan ketentuan pemberian remisi tetap harus mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Saat ini regulasi yang mengatur pemberian remisi untuk koruptor antara lain adalah Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 berkaitan dengan Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Berbeda dengan aturan lainnya, PP No 99/2012 lebih memperketat pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi narapidana korupsi, terorisme, narkoba, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya. Jika terhadap perkara pidana biasa hanya mensyaratkan berkelakuan baik dan telah menjalani sepertiga masa pidana, khusus remisi untuk terpidana korupsi syaratnya diperketat. Terpidana harus penuhi syarat antara lain bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya (justice collaborator), dan telah membayar lunas denda serta uang pengganti sesuai putusan pengadilan.
Ketatnya pemberian remisi untuk koruptor, sebagaimana diatur dalam PP 99/2012, saat ini justru akan direvisi oleh pemerintah. Data Kemenkumham tahun 2013 menyebutkan, terdapat 1.476 narapidana korupsi yang berada di lembaga pemasyarakatan. Dengan mengacu pada aturan remisi yang berlaku saat ini, narapidana korupsi yang tidak berstatus sebagai justice collaborator akan sulit mendapatkan remisi.
Sayangnya, syarat sebagai justice collaborator justru berupaya dikaji ulang oleh pemerintah karena dianggap menghambat seorang koruptor mendapatkan remisi. Kondisi ini kemudian menimbulkan pro dan kontra, sekaligus pertanyaan besar soal komitmen pemerintahan Jokowi dalam pemberantasan korupsi.
Muncul kekhawatiran adanya muatan atau tekanan politis dibalik rencana ini. Apalagi, melihat latar belakang Yasonna yang berasal dari partai politik (parpol) dan pernah menjadi anggota Komisi Hukum DPR, serta banyaknya politisi yang dijerat oleh aparat penegak hukum.
Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), sedikitnya terdapat 22 politisi dan kader dari sejumlah parpol yang divonis pengadilan di atas tiga tahun pada periode 2013-2014, dan saat ini masih mendekam di penjara. Beberapa di antaranya bahkan adalah bekas unsur pimpinan dan atau pengurus parpol yang saat ini masih berkuasa.
Soal remisi untuk koruptor, Jokowi dan Menkumham sebaiknya belajar dari pengalaman pemerintahan sebelumnya. Saat PP No 99/2012 belum diterbitkan, setiap hari raya keagamaan dan kemerdekaan, komitmen anti korupsi pemerintah selalu dipertanyakan dan bahkan dikecam oleh publik hanya karena masih memberikan remisi kepada koruptor.
Enam alasan
Sedikitnya ada enam alasan agar Presiden Jokowi dan khususnya Menkumham membatalkan rencana melonggarkan pemberian remisi untuk koruptor, dengan tetap mempertahankan keberadaan PP No 99/2012.
Pertama, komitmen anti korupsi dalam program Nawacita. Dalam salah satu program Nawacita, Jokowi secara tegas menyebutkan, "Kami berkomitmen untuk membangun politik legislasi yang jelas, terbuka, dan berpihak pada pemberantasan korupsi, penegakan HAM, perlindungan lingkungan hidup, dan reformasi penegak hukum."
Upaya melakukan revisi PP No 99/2012 atau wacana melonggarkan pemberian remisi untuk koruptor justru tidak sejalan dengan program Nawacita karena dinilai lebih berpihak terhadap koruptor daripada upaya pemberantasan korupsi.
Kedua, mandat Strategi Nasional Pemberantasan Korupsi 2012-2015. Dalam Peraturan Presiden No 55/2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang Tahun 2012-2025 dan Jangka Menengah Tahun 2012-2014, pada bagian strategi penegakan hukum, telah diamanatkan untuk melakukan pengetatan pemberian remisi kepada terpidana korupsi.
Ketiga, Mahkamah Agung pernah menolak permohonan uji materi PP No 99/2012. Permohonan yang diajukan oleh Rebino, seorang terpidana perkara korupsi, mendalilkan bahwa sejumlah ketentuan dalam PP No 99/2012, khususnya yang berkaitan dengan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat, telah bertentangan dengan UU No 1/1995 tentang Pemasyarakatan, UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pada 26 November 2013, majelis hakim yang diketuai oleh Muhammad Saleh memutuskan menolak seluruh permohonan dan dalil-dalil yang diajukan oleh pemohon. Putusan ini sekaligus memberikan legitimasi yang kuat bagi pelaksanaan PP No 99/2012, sehingga tidak ada alasan diskriminatif dan melanggar HAM narapidana korupsi seperti yang dinyatakan sebelumnya oleh pemerintah.
Keempat, korupsi telah disepakati sebagai kejahatan luar biasa. Penjelasan UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi pada intinya menyatakan, korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), dalam upaya pemberantasannya tak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa. Pengetatan pemberian remisi bagi koruptor seharusnya dimaknai sebagai suatu cara luar biasa pemberantasan korupsi negara ini.
Kelima, adanya keinginan publik agar koruptor tidak diberikan remisi. Hal ini setidaknya bisa tergambar dari jajak pendapat harian Kompas edisi Senin, 23 Maret 2015. Di sana dilansir hasil jajak pendapat masyarakat antara lain tentang persetujuan publik terhadap rencana pemberian remisi bagi koruptor. Dari 736 responden di 12 kota besar di Indonesia, sebanyak 70,1 persen menyatakan tidak setuju remisi diberikan kepada koruptor. Hanya 26,9 persen menyatakan setuju dengan syarat antara lain telah menjalani sebagian hukumannya telah membayar lunas denda yang diputuskan pengadilan, dan mau bekerja sama membongkar pelaku yang lain.
Keenam, pemberian remisi untuk koruptor akan mengurangi efek jera terhadap pelaku. Pada 2014, ICW telah melakukan pemantauan terhadap 395 perkara korupsi dengan 479 terdakwa yang telah diputus oleh pengadilan di seluruh Indonesia. Dari 479 terdakwa, sebanyak 372 terdakwa (77,6 persen) divonis di bawah empat tahun. Sementara rerata vonis untuk koruptor adalah 2 tahun 8 bulan penjara.
Dengan rata-rata hukuman yang ringan, hanya 2 tahun 8 bulan penjara, ditambah dengan adanya remisi dan pembebasan bersyarat, sudah dipastikan tidak akan memberikan efek jera untuk pelaku. Koruptor bisa bebas lebih cepat keluar daripada waktu yang diputuskan oleh hakim. Ini tentu saja pesan yang buruk kepada publik.
Perbaiki koordinasi
Pada sisi lain, jika jajaran Kemenkumham mengeluhkan masalah implementasi PP No 99/2012, khususnya dalam pemberian remisi, solusinya adalah perbaikan koordinasi antarlembaga penegak hukum dan bukan justru mengubah peraturan yang sudah ada. Solusi lainnya adalah dapat saja disusun peraturan bersama mengenai prosedur pemberian remisi khusus untuk perkara korupsi.
Sekali lagi, publik menagih komitmen pemerintahan Jokowi untuk membuat kebijakan yang lebih berpihak kepada rakyat dan pemberantasan korupsi. Sebagai sebuah kejahatan luar biasa, remisi untuk terpidana korupsi harus diberikan secara ketat dan bukan justru diobral seperti yang biasa dilakukan oleh toko atau supermarket. Citra pemerintah akan selalu buruk di mata publik jika memperlakukan koruptor dengan istimewa, termasuk dengan memudahkan pemberian atau obral remisi untuk pencuri uang rakyat ini.
Emerson Yuntho, Anggota Badan Pekerja ICW
----------------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 April 2015, di halaman 7 dengan judul "Mengobral Remisi untuk Koruptor".