Mencari Kursi di Mahkamah Konstitusi
Sesudah Komisi Pemilihan Umum menetapkan hasil Pemilu Legislatif 2014, Mahkamah Konstitusi langsung dihadapkan pada gelombang permohonan sengketa oleh para caleg yang tak puas. Mahkamah Konstitusi (MK) dalam keterangan resminya mengabarkan bahwa mereka sudah menerima setidaknya 767 sengketa Pemilu Legislatif 2014 (Kompas, 16/5). Dibandingkan dengan Pemilu 2009, jumlah permohonan sengketa tahun ini naik cukup signifikan. Sengketa pemilu lima tahun lalu tercatat 628 perkara.
Sembilan hakim MK yang dipecah dalam tiga panel akan berkejaran dengan waktu untuk bisa menyelesaikan tumpukan perkara yang masuk. Waktu mereka tak panjang. Sesuai dengan ketentuan Pasal 78 UU MK, tugas mereka dibatasi hanya selama 30 hari saja sejak perkara diregistrasi untuk memutuskan semua perkara tersebut.
Alhasil saat ini MK bak keranjang sampah pemilu. Berbagai perkara masuk, mulai dari jenis perkara seorang caleg tengah mencari keadilan karena telah dicurangi hingga jenis caleg yang hanya mencari untung saja, syukur-syukur kalau MK mengabulkan.
Jenjang masalah
Memang disadari, sengketa pemilu tak terhindarkan. Kursi yang tersedia hanya 19.699 kursi di pelbagai tingkat dan terbagi pada 2.471 daerah pemilihan. Angka itu sangat kontras dengan lebih kurang 200.000 caleg yang memperebutkannya. Menggunakan teori peluang, jumlah kontestan yang tak sebanding dengan jumlah kursi akan membuat persaingan semakin keras.
Walaupun sengketa tak terhindarkan, secara kuantitas tetap bisa ditekan. Praktik di banyak negara di dunia menunjukkan sengketa pemilu bisa ditekan bila setiap jenjang penyelesaian masalah dan pelanggaran sudah bekerja sebagaimana mestinya. Begitu pula sebaliknya. Semakin deras gelombang sengketa dari pemilu ke pemilu menunjukkan bahwa mekanisme pengawasan dan penegakan hukum pemilu di pelbagai tahap yang tersedia tidak berfungsi optimal.
Dalam konteks nasional, walaupun kita sudah memiliki badan khusus yang mengawasi pemilu/Bawaslu, realitas di lapangan menunjukkan keberadaan lembaga ini tidak mampu menyelesaikan berbagai sengkarut dan pelanggaran pemilu. Inilah titik awal masalah.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, Bagian Tugas, Wewenang dan Kewajiban Badan Pengawas Pemilu, maka lembaga pengawas pemilu diberi mandat besar ihwal pengawasan pemilu itu sendiri. Bawaslu diberi tanggung jawab mengawasi pergerakan surat suara dan berita acara penghitungan suara di pelbagai tahap, yang selama ini dituding sebagai biang kerok sengketa pemilu.
Tidak hanya itu, Bawaslu juga diberi wewenang menerima laporan dugaan pelanggaran pemilu dari masyarakat. Dengan lingkup tanggung jawab dan kewenangan yang dimiliki Bawaslu, kita disadarkan: andaikan lembaga sebesar Bawaslu bekerja sebagaimana mestinya terkait pelanggaran pemilu, tentu secara alamiah akan tersaring perkara yang akan masuk ke MK nantinya. Maka, keadaan yang dihadapi MK saat ini tidak perlu terjadi.
Bawaslu yang ”gagal fungsi” dalam mengawasi pemilu bukan isapan jempol belaka. Sejumlah sukarelawan pemantau pemilu yang dibentuk Indonesia Corruption Watch (ICW) di 15 provinsi menyampaikan keluh kesah menyangkut kinerja mereka.
Beberapa memberikan testimoni seperti tidak ditindaklanjutinya laporan yang masuk, proses pemeriksaan yang berbelit-belit, hingga pelaku politik uang yang tak kunjung dipanggil untuk diperiksa.
Kinerja yang seadanya itu berakibat timbulnya ketidakpercayaan publik kepada Bawaslu. Hal ini sesungguhnya bukan cerita lama karena banyak kasus pilkada juga menunjukkan gejala yang sama.
Salah satunya, tim sukses dan kandidat dalam pergelaran pemilu lebih banyak memilih mendokumentasikan berbagai kecurangan lawan politiknya untuk kemudian disengketakan di MK. Hal ini muncul sebagai reaksi atas ketidakpercayaan kepada Bawaslu.
Mewaspadai MK
Sulit dibantah bahwa sebenarnya kita tengah dihadapkan pada dilema penanganan sengketa pemilu. Tidak hanya karena tingginya jumlah perkara yang masuk dan sempitnya batas waktu penanganan perkara, tetapi juga MK sebagai pengadil tengah berada dalam kondisi pincang. Kasus dugaan korupsi mantan Ketua MK Akil Mokhtar telah mengikis wibawa MK secara kelembagaan. Kasus ini tengah bergulir dan tidak tertutup kemungkinan akan meluas kepada pejabat hingga hakim konstitusi yang lain.
Pada saat yang bersamaan pula legitimasi yuridis dua hakim konstitusi dipertanyakan karena keputusan presiden tentang pengangkatan hakim MK Patrialis Akbar dan Maria Farida juga sudah dibatalkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta beberapa waktu yang lalu.
Maka, rasa waswas adanya persekongkolan dalam penanganan sengketa pemilu di MK tentu sangat tinggi. Terlebih lagi MK secara kelembagaan tampak enggan untuk diawasi setelah mereka membatalkan UU Nomor 14/2014 tentang Penetapan Perppu No 1 Tahun 2013 yang secara substansi mengatur desain pengawasan terhadap mereka.
Tumpukan perkara dan majelis hakim harus diawasi secara ketat. Kelompok masyarakat sipil harus lebih intens mengawasi pemilu sampai garis finis (baca: MK) agar putusannya tidak masuk angin. Para calon anggota badan legislatif yang bersengketa saat ini berpotensi melakukan tindakan-tindakan curang saat mencari kursi di Mahkamah Konstitusi.
Donal Fariz; Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW), Divisi Korupsi Politik
tulisan ini disalin dari Kompas, 26 Mei 2014