Membuat Jera Koruptor
Monday, 29 June 2015 - 00:00
Sejak tahun 2004 hingga kuartal pertama 2015, 311 kasus dan tak kurang dari 460 residivis telah dieksekusi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Saat ini proses persidangan untuk kasus korupsi dengan pelaku, di antaranya, Fuad Amin, Sutan Bhatoegana, dan Waryono Karyo masih akan berlanjut. Mereka boleh jadi bukan penyelenggara negara terakhir yang dituntut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Gelombang proses penegakan hukum akan terus berlanjut sepanjang korupsi masih tetap jadi kebiasaan atau kelaziman dalam pemerintahan. Akan tetapi, walau sudah beratus orang diganjar sanksi pidana dan denda, dengan mengaitkan tindakan korupsi dengan pencucian uang yang berarti menambah berat sanksi yang diterima para koruptor, korupsi tetap bersemi.
Dampak dari terapi kejut terhadap pelaku korupsi belum membuat mereka kapok. Ada yang berpendapat sanksinya masih terlalu ringan sehingga korupsi masih diyakini sebagai kegiatan yang low cost, low risk and high profit alias tanpa usaha tapi untung terus.
Oleh karena itu, hukuman perlu diperberat agar timbul efek jera. Referensi yang kerap dijadikan acuan adalah hukuman mati di Tiongkok yang diyakini dapat meredam korupsi. Atau, hukuman berlapis yang lazim digunakan di negara-negara Eropa Timur pasca runtuhnya tembok Berlin dan kekuasaan Uni Soviet.
Pendekatan efektif lain adalah "operasi cuci gudang" yang dilakukan di Italia pada awal dekade 1990-an. Pemberantasan korupsi dipimpin oleh jaksa Antonio Di Pietro. Ia berhasil menggelandang tiga mantan perdana menteri dan lebih dari 12.000 orang diinvestigasi yang berujung pada penghukuman lebih dari 5.000 pebisnis dan politikus sepanjang Desember 1992 hingga Agustus 1999. Operasi pembersihan ini dikenal dengan nama Operation Clean Hands (Mani Pulite).
Akan tetapi, mengapa para penyelenggara negara di Indonesia beserta kaki tangannya tidak jera dan tetap saja korupsi?
Akar korupsi di Indonesia
Korupsi, menurut para sejarawan, telah tumbuh subur bahkan sebelum masa pemerintahan kolonial. Saat itu, konstelasi politik masih patrimonial dan feodal sehingga secara "hukum" belum dapat dikategorikan sebagai korupsi.
Gratifikasi pada masa itu disebut upeti dan bagian dari "tradisi" hierarkis simbol loyalitas bawahan kepada junjungannya. Memberi upeti bukanlah pelanggaran hukum. Kebiasaan ini kemudian dilanjutkan ke dalam "birokrasi modern" dalam naungan pemerintah kolonial walaupun birokrat disebut sebagai pamong praja, bukan lagi pangreh praja atau abdi dalem.
Etos dan karakter birokrasi demikian dilanjutkan pada masa kemerdekaan dan Orde Baru, bahkan berlanjut hingga sekarang (Tydey, 2012). Begitu juga dengan varian penyimpangan kekuasaan lain, seperti manipulasi aset dan penggelembungan nilai atau penyunatan anggaran.
Korupsi terjadi sebelum pemerintahan modern yang dinamakan Indonesia terbentuk. Kelompok sosial dan politik lebih dulu ada sebelum pemerintah, dan-celakanya-nilai, etos, relasi telah hadir dan "dilestarikan" sehingga menjadi aturan main yang mendominasi aturan formal yang berlaku. Memang ada perubahan institusional dan kerangka hukum, tetapi seperti pengamatan Silvia Tydey di salah satu provinsi di Indonesia timur, apa yang disebut shadow government oleh William Reno (2008) atau state of non-existence oleh Kalir dan Wilson (2010) menjadi fondasi berlangsungnya pemerintahan.
Faktor kedua adalah secara umum organisasi politik belum mandiri dari segi pendanaan. Tumpuan pendanaan pada donatur kakap dan kerap menjadi patron finansial kelompok tersebut. Cara lain adalah dengan membuat "kendaraan usaha" untuk mengerjakan proyek-proyek pemerintah atau mengurusi konsesi sumber daya alam. Namun, jalan termudah adalah menjadi broker yang mengharap rente dari pelayanan sebagai penengah.
Dua faktor di atas menjadi fondasi korupsi sebagai kejahatan terorganisasi. Kerangka "pemerintahan bayangan" dengan etos dan langgam yang telah mengakar selama ratusan tahun memfasilitasi manipulasi terhadap anggaran negara ataupun sumber daya alam. Prosesi ini dilakukan secara terorganisasi dan sinergis antarkelompok. Tanpa mengatasi kedua problem tersebut, pemberantasan korupsi akan terus berhadapan dengan kasus yang berulang.
Masyarakat permisif
Di sisi lain, masyarakat pun cenderung permisif terhadap korupsi. Warga dari struktur sosial bawah memandang korupsi sebagai mekanisme yang menindas mereka. Terkadang, untuk mendapatkan layanan publik, mereka harus mengeluarkan biaya tambahan yang tentu saja memberatkan kondisi ekonomi kelaurga.
Akan tetapi, temuan Mungiu-pippidi (1998) mengatakan bahwa warga di negara-negara berkembang cenderung menerima kondisi ini karena ketiadaan pilihan layanan publik. Mereka paham bahwa hanya dengan memberikan uang pungli, urusan mereka dapat dipercepat.
Kelompok warga dari strata sosial yang lebih tinggi, kelas menengah, juga terbawa pada kondisi apatis dan cenderung takluk pada iklim koruptif. Berbeda dengan warga dari strata sosial bawah, kelas menengah dan atas menghindari bertele-telenya proses layanan dengan memberikan pungli. Selain itu, bagi mereka yang bisnisnya tidak bersentuhan dengan pemerintah memilih menjauhi interaksi dengan "instansi terkait".
Tanpa melumerkan apatisme publik, akan sangat sulit untuk mendorong pelibatan warga secara aktif agar mereka benar-benar terlibat dalam membendung korupsi. Sikap apatisme dan cenderung berkompromi dengan sistem koruptif jadi lahan subur tindak korupsi bersemai.
Melanjutkan ikhtiar
Selama ini tak dimungkiri KPK telah menjadi garda depan dalam pemberantasan korupsi. Namun, sebagai institusi menjadi bersih sendiri ternyata tidak cukup. Pengalaman akhir-akhir ini yang dihadapi KPK menunjukkan institusi ini berjuang nyaris sendirian
Jika kita menyadari bahwa korupsi politik dan tumpulnya penegakan hukum menjadi perekat dari kejahatan terorganisasi korupsi, mencari politikus dan aparat penegak hukum di luar KPK yang memiliki integritas dan komitmen adalah prioritas. Memang, bergandengan tangan dengan mereka-khususnya dengan politikus-pada awalnya membuat canggung.
Namun, dari pengamatan penulis, masih ada politikus muda anggota legislatif daerah yang mumpuni. Penulis sangat yakin masih ada politikus, walau minoritas, yang memiliki komitmen membuat Indonesia berintegritas dan berkeadilan.
Begitu juga dengan menggerakkan masyarakat. Perlu energi ekstra untuk mengajak warga aktif dan berani meninggalkan kebiasaan "pasrah" terhadap sistem koruptif. Pembenahan korupsi memerlukan pelibatan sebanyak mungkin elemen bangsa.
Merambahnya korupsi penting dilokalisasi dengan membangun tidak hanya sistem, tetapi juga gerakan publik secara masif. KPK perlu memproduksi semangat kolektif guna meredam korupsi. Ajakan fastabiqul khairat, berlomba-lomba berbuat kebaikan, haruslah menggugah elemen bangsa untuk memberantas korupsi.
Luky Djani, Peneliti Institute for Strategic Initiatives (ISI)
---------------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Juni 2015, di halaman 7 dengan judul "Membuat Jera Koruptor".