Memberantas (Polisi) Korup
Reformasi Polri yang telah berjalan 10 tahun tidak berpengaruh signifikan terhadap profesionalisme aparat baju cokelat itu. Berbagai kasus kekerasan Polri terhadap masyarakat masih kerap terjadi. Laporan atas rekayasa penanganan kasus terus bermunculan dan skandal besar yang melibatkan pati (perwira tinggi) Polri justru timbul silih berganti.
Terakhir, gonjang-ganjing rekening gendut yang dimiliki salah seorang pati Polri menjadi menu utama yang paling disorot publik. Kasus itu meledak saat HUT Ke-64 Polri, sebuah kado yang tidak enak.
Ada beberapa faktor yang membuat agenda pembenahan Polri tidak berjalan mulus. Dugaan korupsi sehingga bisa menggelembungkan pundi-pundi kekayaan pati Polri, misalnya, mengarahkan pada ingatan bahwa mafia hukum masih kukuh menjerat markas Trunojoyo. Kasus Gayus Tambunan barangkali hanya secuil perkara yang mewakili berbagai transaksi ilegal yang dilakukan anggota Polri dengan para ''pembeli'' kepentingan.
Jika miliaran rupiah bisa ditimbun, kita dapat membayangkan bahwa praktik beking terhadap pembalakan liar, penambangan liar, penyelundupan manusia, penanganan kasus pencucian uang, hingga kejahatan pajak menjadi sumber utamanya.
Barangkali, profesi sebagai aparat penegak hukum seperti polisi merupakan pekerjaan yang paling rentan godaan. Sebagaimana disebutkan Adrianus Meilala (2005), mantan staf ahli Kapolri, penyebab utama profesi polisi mudah diselewengkan adalah karena pekerjaan sebagai penegak hukum bersifat soliter, sangat otonom dan sewaktu-waktu dapat bertindak berdasar pertimbangan pribadi.
Unsur subjektivitas yang kuat dalam menjalankan fungsi sebagai penegak hukum mengondisikan penyimpangan. Di samping itu, sebagai aparat penegak hukum, polisi memiliki kewenangan diskresional yang tak terbatas.
Sebagaimana rumusan sederhana kejahatan korupsi Robert Klitgaard, korupsi adalah perpaduan antara kekuasaan diskresional dan monopoli kewenangan minus akuntabilitas (corruption = discretion + monopoly - accountability).
Karena itu, tak heran jika kecenderungan sewenang-wenang menjadi tak terbendung. Sangat mudah menangkap orang, menahan, menetapkan sebagai tersangka, menakut-nakuti, mengancam, melakukan kekerasan, serta berdamai dalam penanganan kasus dalam situasi yang keputusannya diambil tanpa mekanisme pertanggungjawaban.
Derajat akuntabilitas tugas Polri yang tidak memadai bisa kita periksa dalam sistem yang mengatur mereka. Secara internal, memang kita melihat ada beberapa instrumen untuk mengantisipasi penyelewengan fungsi.
Ada mekanisme dewan kehormatan perwira, irwasum, dan propam yang menjalankan fungsi kontrol atas pekerjaan pokok Polri. Tapi, dalam situasi yang tingkat penyimpangannya sudah menjalar hingga ke pucuk pimpinan, mustahil menyandarkan fungsi kontrol pada mekanisme internal.
Kompolnas (Komisi Polisi Nasional) yang dibentuk juga tak bertaring sebagai pengawasan eksternal. Gagasan awalnya, Kompolnas menjadi lembaga pengawas eksternal yang independen yang wewenangnya dapat memeriksa secara mandiri atas dugaan penyimpangan aparat kepolisian. Namun, postur ideal Kompolnas tak tercapai karena posisi Kompolnas dalam skema yang dibangun justru menjadi sebatas lembaga di bawah presiden yang memiliki tugas pokok memberikan saran dan masukan.
Mencari Jalan Keluar
Dengan pertimbangan bahwa sistem yang dibangun tak memadai sebagai mekanisme checks and balances dalam pelaksanaan kerja-kerja Polri, perlu ada gagasan lain yang bisa memperkuat agenda reformasi di tubuh kepolisian. Seandainya diserahkan kepada Mabes Polri, agenda perbaikan polisi ini bisa dibilang sebagai langkah konyol. Memercayai reformasi Polri dan pengawasannya dilakukan secara internal oleh polisi sama saja dengan membiarkan jatuhnya kredibilitas Polri di mata publik.
Tak bisa dimungkiri, membenahi Polri memang membutuhkan komitmen yang serius dari berbagai pihak. Karena tugas memperbaiki tatanan di kepolisian telah menjadi pekerjaan rumah bersama, peran -terutama- DPR dan presiden sangat diharapkan. Memperkuat pengawasan eksternal yang independen adalah salah satu solusinya.
Dengan wewenang legislasinya, DPR dan presiden bisa memperkuat posisi Kompolnas daripada menciptakan lembaga ad hoc seperti Satgas Pemberantasan Mafia Hukum yang kurang bergigi. Kompolnas yang ideal semestinya berada di luar lembaga eksekutif, independen, memiliki wewenang untuk mengawasi dan memeriksa skandal yang dilakukan -khususnya- perwira polisi, dan komposisinya mewakili kepentingan publik luas.
Presiden juga harus dapat memastikan perbaikan di lembaga penegak hukum itu dengan melakukan penyegaran yang radikal pada posisi-posisi strategis di Polri dengan para perwira Polri yang reformis.
Pemikiran lain yang bisa disodorkan, wewenang Polri dalam menangani kasus perlu dibatasi, tidak seperti sekarang yang demikian luas. Asumsinya, anggota Polri kerap bermain mata dalam penanganan kasus-kasus besar. Untuk kasus korupsi misalnya, akan lebih baik jika Polri tak lagi menangani karena sudah ada kejaksaan dan KPK. Selain bisa mempersingkat birokrasi penanganan kasus korupsi, hal tersebut ditujukan untuk mengantisipasi lempar tanggung jawab antarpihak. Misalnya, bolak-balik berkas perkara korupsi dari kepolisian ke kejaksaan.
Terakhir, KPK harus mengambil inisiatif untuk menjadikan aparat penegak hukum sebagai fokus dalam pemberantasan korupsi. Laporan rekening fantastis milik pati Polri bisa dijadikan pintu masuk untuk mendorong bersih-bersih di tubuh kepolisian. Kita berharap KPK tidak ragu untuk masuk ke wilayah yang selama ini tak disentuhnya. Jika KPK saja tak sanggup, tentu harapan publik terhadap perbaikan lembaga penegak hukum akan menjadi sirna.
Adnan Topan Husodo, wakil koordinator ICW
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 7 Juli 2010