Memahami Putusan MK
Pagi-pagi sekali, dua orang rekan mengirim pesan singkat (SMS). Dua-duanya mengenai tulisan Mohammad Fajrul Falaakh berjudul ”Memaknai Putusan MK” (Kompas, 24/9) yang mengomentari putusan atas pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI yang diajukan Yusril Ihza Mahendra.
Yang pertama, SMS dari Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Saldi Isra. Ia mengundang saya untuk ikut memolemikkan tulisan Mohammad Fajrul Falaakh atau yang biasa saya panggil dengan Pak Fajrul. Saldi tidak saja berkeberatan terhadap isi tulisan Pak Fajrul, tetapi juga pada posisi beliau yang notabene adalah ahli pemerintah ketika kasus ini diperiksa di Mahkamah Konstitusi (MK).
Yang kedua, SMS dari Staf Khusus Kepresidenan Denny Indrayana. Denny ”menyuruh” membaca tulisan Pak Fajrul karena saya memiliki perspektif yang berbeda terhadap putusan MK tersebut dibandingkan dengan posisi yang diambil pemerintah hingga tulisan ini dibuat.
Bagi saya, dengan terbitnya putusan MK, Hendarman Supandji bukan lagi Jaksa Agung. Ini konsekuensi dari putusan MK apabila dibaca dengan cermat, konsekuensi yang juga disampaikan Ketua MK Mahfud MD dalam berbagai kesempatan. Bahkan, menurut Mahfud MD, begitu pulalah pendapat para hakim dalam rapat permusyawaratan hakim.
Keppres berakhir
Dalam putusannya atas pengujian Pasal 22 Ayat (1) Huruf d UU No 16/2004, MK menyatakan bahwa masa jabatan Jaksa Agung berakhir dengan berakhirnya masa jabatan Presiden dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet, atau diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan. Putusan MK ini memiliki kekuatan hukum yang mengikat sejak dibacakan (prospektif) dan tidak berlaku surut (retroaktif).
Bagi Pak Fajrul, karena putusan MK berlaku ke depan, masa jabatan Hendarman berlangsung hingga 2014, sesuai dengan periode kedua Presiden Yudhoyono (2009-2014) apabila ia tidak diberhentikan di tengah jalan. Pemikiran inilah yang menurut saya keliru. Perlu diingat, Hendarman diangkat sebagai Jaksa Agung menggantikan Abdul Rahman Saleh pada periode Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I (2004-2009), tepatnya 7 Mei 2007.
Ketika anggota-anggota kabinet lainnya diberhentikan dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 83/P Tahun 2009, Hendarman dikecualikan karena pemikiran Istana pada waktu itu Jaksa Agung bukan anggota kabinet. Hendarman terus menjabat dengan bekal keppres tahun 2007. Presiden tidak lagi mengeluarkan keppres baru.
Apa yang dilakukan Presiden tersebut tidaklah keliru karena memang tidak ada kejelasan mengenai masa jabatan Jaksa Agung di UU No 16/2004. Ketidakjelasan inilah yang diluruskan MK dengan menyatakan bahwa masa jabatan Jaksa Agung mengikuti periodisasi jabatan Presiden. Karena Hendarman diangkat pada periode Kabinet Indonesia Bersatu I, berdasarkan tafsir baru UU No 16/2004, masa jabatan itu berakhir pada 20 Oktober 2009 pada saat presiden baru dilantik. Otomatis keppres tahun 2007 tersebut tidak berlaku dengan sendirinya pada saat presiden baru dilantik walaupun presiden tetap orang yang sama.
Ini adalah konvensi ketatanegaraan yang berlaku di mana pun. Misalnya, Presiden diberhentikan bulan depan, semua anggota kabinet, termasuk Jaksa Agung, menjadi demisioner. Mereka boleh saja tetap berkantor, tetapi tidak boleh mengeluarkan keputusan atau kebijakan strategis. Mereka tinggal menunggu datangnya pejabat baru.
Putusan prospektif
Makna prospektif putusan MK tersebut adalah bahwa masa jabatan Hendarman mulai dari 20 Oktober 2009 hingga sebelum putusan MK dibacakan (22 September 2010) tetap dianggap sah karena belum ada putusan yang menafsirkan tentang periodisasi masa jabatan Jaksa Agung. Hendarman sah menjadi Jaksa Agung karena berbekal keppres tahun 2007.
Begitu ada putusan MK, keppres tahun 2007 yang mengangkat Hendarman tidak bisa digunakan lagi karena telah berakhir pada 20 Oktober 2009. Untuk periode Kabinet Indonesia Bersatu II (2009-2014), Presiden harus mengeluarkan keppres baru untuk posisi Jaksa Agung, bisa dengan mengangkat kembali Hendarman atau menunjuk pejabat lain.
Perlu dicatat, MK tidak mengabulkan semua permohonan Yusril yang ingin mengilegalkan Hendarman mulai dari 20 Oktober 2009. Putusan itu sudah tepat karena apabila dikabulkan semua permohonan Yusril, akan terjadi kekacauan hukum (legal disorder). Semua tindakan Jaksa Agung mulai 20 Oktober 2009 hingga hari ini akan dianggap ilegal.
Sikap negarawan
Justru putusan MK tersebut memberikan jalan bagi Presiden untuk dapat mengganti Jaksa Agung. Apabila mengacu pada UU No 16/2004 sebelum ditafsirkan MK, Jaksa Agung tidak dapat diganti jika tidak memenuhi salah satu syarat yang disebut dalam Pasal 22D Ayat (1), yaitu meninggal dunia, permintaan sendiri, sakit jasmani atau rohani terus-menerus, berakhir masa jabatannya, dan tidak lagi memenuhi salah satu syarat.
Wacana penggantian Hendarman dengan mengaitkannya dengan masa pensiun akhir-akhir ini bertentangan dengan UU No 16/2004 karena masa pensiun tidak masuk salah satu klausul dapat diberhentikannya Jaksa Agung.
Presiden juga tidak dapat menggantikan Jaksa Agung sewaktu-waktu dengan alasan subyektif, misalnya karena buruknya kinerja, sebagaimana anggota kabinet lainnya. Dengan adanya putusan MK, Presiden sekarang memiliki ruang yang lebih terbuka terhadap jabatan Jaksa Agung.
Untuk menutup tulisan ini, saran saya kepada Presiden, ambillah sisi positif dari putusan MK. Janganlah merasa kalah karena sepak terjang seorang Yusril yang mempersoalkan keabsahan tindakan Anda. Keluarkan saja keppres baru, baik yang mengangkat kembali Hendarman maupun menunjuk orang lain sebagai Jaksa Agung. Sewaktu-waktu, apabila merasa tidak puas dengan kinerja Hendarman dan orang lain itu, Anda tetap bisa menggantikannya berdasarkan putusan MK.
Tindakan mengeluarkan keppres baru akan mengakhiri polemik tentang keabsahan Jaksa Agung. Apabila bersikukuh dengan posisi sekarang, bahwa Hendarman tetap Jaksa Agung, Anda akan dianggap membangkang terhadap putusan MK. Lawan-lawan politik Anda, bisa jadi, mulai berimajinasi tentang pemakzulan.
Refly Harun Pengamat dan Praktisi Hukum Tata Negara
Tulisan ini disalin dari Kompas, 25 September 2010