KPK Setelah Antasari
Kasus-kasus korupsi berskala besar yang saat ini tengah mengantre di KPK harus segera diproses secara hukum sebagai bagian dari strategi pemulihan kepercayaan publik.
Ketua KPK, Antasari Azhar (AA) telah resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian Daerah Metro Jaya dalam kasus dugaan pembunuhan Nasudin, Direktur PT Putra Rajawali Banjaran (PRB). Setelah sebelumnya sempat menjadi kontroversial karena pengumuman status tersangka justru muncul dari Gedung Bundar, sekarang sudah dipastikan bahwa ada dugaan keterlibatan AA sebagaimana kesimpulan sementara penyidikan Polda Metro Jaya. Lebih jauh, AA bukan hanya disangka menjadi bagian dari pelaku, namun otak dari semua rencana pembunuhan itu.
Tentu saja sedikit banyak kasus ini telah menimbulkan banyak reaksi, khususnya yang tidak percaya bahwa AA bisa melakukan tindakan pembunuhan. Pasalnya, KPK sudah telanjur dicintai oleh publik luas. Boleh dibilang, harapan publik terhadap pemberantasan korupsi saat ini satu-satunya hanya di pundak KPK. Tanpa menafikan institusi penegak hukum yang lain, kepercayaan publik terhadap Kejaksaan atau Kepolisian berbanding terbalik dengan KPK.
Ekses Negatif
Masalahnya, di tengah membumbungnya harapan publik terhadap pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK, kasus yang menimpa AA tentu saja secara telak telah memukul KPK yang sejatinya memiliki citra positif di mata masyarakat luas, baik domestik maupun internasional.
Meskipun kasus yang menimpa AA bukanlah dugaan tindak pidana korupsi, melainkan perbuatan kriminal biasa, tetap saja kasus di atas akan menimbulkan gangguan dan guncangan pada institusi KPK, khususnya bagi para pihak yang selama ini sudah mencurahkan energi dan pikirannya untuk membangun institusi KPK menjadi lembaga yang disegani banyak pihak.
Di sisi lain, masalah yang menimpa AA bisa jadi akan ditunggangi oleh berbagai kelompok yang selama ini tidak menginginkan KPK. Mereka mungkin saja akan mendelegitimasi KPK dengan berbagai cara dan upaya. Salah satunya adalah dengan memperburuk citra KPK sebagai lembaga penegak hukum.
Langkah Darurat
Agar ekses yang timbul dari kasus yang menimpa Ketua KPK tidak sampai mengangggu kinerja KPK secara kelembagaan, ada beberapa langkah darurat yang harus diambil oleh keempat Pimpinan KPK lainnya.
Pertama, publik barangkali sudah kadung percaya bahwa AA adalah KPK, demikian sebaliknya KPK adalah AA. Pandangan ini tentu saja sangat menyesatkan karena mekanisme pengambilan keputusan di jajaran Pimpinan KPK tidak ditentukan oleh satu orang, yakni Ketua KPK. Akan tetapi diambil dengan cara kolektif-kolegial, berdasarkan pertimbangan dari masing-masing Pimpinan KPK.
Oleh karena itu, penting bagi keempat Pimpinan KPK minus AA untuk menunjukkan kepada publik bahwa proses pengambilan keputusan di KPK tetap bisa dilakukan dengan efektif, meski Ketua KPK tengah menghadapi masalah serius. Pendek kata, KPK harus bisa memainkan peran yang strategis dalam pemberantasan korupsi melalui proses pengambilan putusan kolektif-kolegial yang cepat sehingga perlahan lahan tapi pasti, persepsi publik bahwa KPK hanyalah AA bisa dikikis.
Kedua, KPK secara kelembagaan harus diselamatkan dari pengaruh negatif yang berkepanjangan akibat dari penetapan tersangka AA. Sepertinya, tidak ada cara lain yang bisa dilakukan oleh Pimpinan KPK saat kecuali memberikan bukti kepada publik bahwa pemberantasan korupsi akan terus berjalan, bahkan dengan target yang lebih tinggi dibandingkan sebelumnya.
Kasus-kasus korupsi berskala besar yang saat ini tengah mengantre di KPK harus segera diproses secara hukum sebagai bagian dari strategi pemulihan kepercayaan publik. Pasalnya, merosotnya harapan publik sama artinya dengan malapetaka bagi pemberantasan korupsi.
Ketiga, ada sebuah blunder besar yang dilakukan AA ketika menerima -dengan terpaksa atau tidak- pinangan para pengacara untuk membelanya secara hukum dalam kasus pembunuhan Nasrudin. Secara yuridis, AA berhak untuk mendapatkan pembelaan hukum, akan tetapi menjadi sangat ironis ketika pada akhirnya yang memberikan bantuan hukum adalah para pengacara terkenal yang selama ini dikenal luas aktif membela terdakwa korupsi, baik yang kasusnya ditangani oleh Kejaksaan maupun KPK sendiri.
Dengan adanya dukungan hukum diatas, implikasi terhadap KPK sebagai lembaga sangatlah berat. Jika kelak AA misalkan dibebaskan oleh pengadilan, yang tersisa adalah utang budi. Sulit untuk menempatkan independensi KPK dalam situasi dimana salah satu Pimpinan KPK pernah mendapatkan pembelaan hukum dari pengacara kasus korupsi. Tak dapat dihindari benturan kepentingan akan sangat terasa.
Demi agenda pemberantasan korupsi itu sendiri, sudah semestinya AA meletakkan jabatannya secara ikhlas supaya KPK tidak terseret-seret oleh masalah yang menimpa dirinya. Sekarang kita tinggal berharap KPK dapat melewati masa-masa sulit ini dengan cerdas sehingga tidak akan menganggu upaya pemberantasan korupsi yang masih menjadi pekerjaan rumah bangsa ini.
Adnan Topan Husodo, Wakil Koordinator ICW
Tulisan ini disalin dari Jurnal Nasional, 8 Mei 2009