Korupsi Menggerogoti Dunia Pendidikan Kita
Korupsi telah menggerogoti pendidikan. Anggaran pendidikan yang minim menjadi berkurang. Akibatnya, warga negara tidak mendapat hak pendidikan sewajarnya.
Banyak sekolah rusak, jumlah anak putus sekolah meningkat, dan pungutan kian membebani orangtua murid. Ini merupakan dampak buruk korupsi pendidikan.
Selain itu, korupsi pendidikan juga merusak mental pejabat dari melayani menjadi dilayani. Birokrasi pendidikan tidak lagi mendahulukan kepentingan pendidikan, tetapi memprioritaskan kepentingan politik dan bisnis rekanan. Mereka sulit ditemui saat masyarakat kesulitan menghadapi masalah pendidikan. Padahal, sebagian besar pendapatan pajak dari masyarakat dihabiskan untuk membayar gaji, tunjangan, dan honor mereka.
Potensi korupsi pendidikan
Dalam lima tahun terakhir, korupsi pendidikan potensial terjadi. Hal itu terlihat dari hasil audit BPK terhadap laporan keuangan Departemen Pendidikan Nasional, pengelolaan dana alokasi khusus (DAK) dan dana bantuan operasional sekolah (BOS). Berdasarkan perhitungan ICW atas audit BPK hingga semester II-2007, ditemukan potensi penyelewengan di Depdiknas sebesar Rp 852,7 miliar. Penyimpangan itu antara lain terjadi pada pengelolaan aset (Rp 815,6 miliar), tidak tepat sasaran (Rp 10,5 miliar), tanpa bukti pertanggungjawaban (Rp 16,8 miliar), pemborosan (Rp 6,9 miliar), penyimpangan lain (Rp 2,9 miliar).
Selain itu, potensi penyimpangan juga ada dalam pengelolaan DAK 2007 untuk rehabilitasi dan pengadaan sarana prasarana sekolah. Penyimpangan terjadi dalam bentuk pengadaan sarana prasarana dinas pendidikan, penunjukan pihak ketiga tanpa melibatkan sekolah, dan pemotongan dana oleh dinas pendidikan. Bahkan, pihak ketiga juga menjadi kolektor terselubung guna mengumpulkan dana sekolah untuk pejabat di dinas pendidikan.
Hal serupa terjadi dalam pengelolaan dana BOS. Berdasarkan audit BPK tahun 2007, enam dari 10 sekolah penerima dana BOS tidak mencantumkan BOS dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah. Sekolah ini juga terbukti melakukan penyimpangan dari petunjuk teknis BOS. Praktik itu antara lain terjadi melalui penggunaan dana BOS untuk acara pisah sambut kepala dinas pendidikan, uang lelah kepala sekolah, iuran PGRI, dibungakan oleh kepala sekolah/bendahara, dan penyimpangan lain.
Penindakan
Tingginya potensi korupsi pendidikan ternyata tak disertai penindakan maksimal. Dari pantauan ICW selama lima tahun, penegak hukum hanya berhasil menindak 142 kasus korupsi dengan kerugian negara Rp 243,3 miliar. Adapun 287 pelaku ditetapkan sebagai tersangka.
Temuan menarik dalam pemantauan ini adalah dinas pendidikan diduga merupakan institusi pendidikan paling korup. Dari 142 kasus, 70 kasus terjadi di lingkungan dinas pendidikan dengan kerugian negara Rp 204,3 miliar. Kepala dinas dan jajarannya diduga merupakan tersangka paling banyak di antara pelaku lain. Di antara 142 kasus, 42 orang adalah kepala dinas pendidikan dan 67 birokrat di bawah kepala dinas pendidikan.
Selain itu, sekolah juga tidak luput dari praktik korupsi. Sebanyak 46 kasus terjadi dalam lingkungan sekolah dan 43 kepala sekolah telah ditetapkan sebagai tersangka. Kerugian negara yang ditimbulkan tidak sedikit, lebih dari Rp 4,1 miliar.
Ironisnya, penindakan terkesan tumpul saat mengusut dugaan korupsi di Depdiknas. Dalam lima tahun terakhir, penegak hukum hanya mampu mengusut dua kasus korupsi. Kasus itu terjadi dalam pengelolaan dana di Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah. Penanganan kasus ini pun terkesan tertutup dan cenderung luput dari pengawasan publik.
Pendorong korupsi
Korupsi pendidikan terjadi karena rendahnya kontrol publik atas kewenangan pengelolaan anggaran pendidikan. Publik tak memiliki akses signifikan terhadap pengelolaan anggaran pendidikan. Dokumen dan informasi anggaran pendidikan cenderung tidak transparan dan dikuasai segelintir elite birokrasi pendidikan. Hal ini meningkatkan peluang penyelewengan anggaran pendidikan.
Penyalahgunaan kewenangan ini juga diperkuat buruknya tata kelola di sektor pendidikan. Perencanaan dan penganggaran pendidikan dilakukan dari atas ke bawah. Politisi dan rekanan dengan mudah menitipkan proyek ke berbagai pos anggaran pendidikan. Akibatnya, alokasi anggaran tidak mencerminkan kebutuhan pendidikan, tetapi justru mengakomodasi kepentingan birokrasi, politisi, dan pengusaha.
Sementara itu, birokrat pendidikan menganggap pertanggungjawaban publik bukan hal penting. Pertanggungjawaban keuangan cukup disampaikan kepada instansi atau pejabat lebih tinggi. Lagi pula, sudah ada pengawas internal yang akan mengaudit laporan keuangan mereka.
Di lain pihak, audit oleh pengawas internal sering tidak mampu mendapatkan temuan penyimpangan signifikan. Sebaliknya, audit malah menjadi legitimasi dan pembenaran atas pengelolaan anggaran pendidikan. Pengawas internal pemerintah tumpul saat penyimpangan melibatkan atasan mereka sendiri.
Solusi
Korupsi pendidikan harus segera diusut tuntas. Hal ini diharapkan memberikan efek jera bagi aktor lain agar kebocoran anggaran dapat ditekan. Penindakan senantiasa didasarkan pada dampak buruk korupsi pendidikan, seperti meningkatnya ruang kelas rusak, guru tidak sejahtera, meningkatnya biaya pendidikan yang harus ditanggung orangtua murid, dan meningkatnya anak putus sekolah, terutama pada kelompok miskin dan perempuan.
Kontrol publik atas penyelenggaraan pendidikan harus terus ditingkatkan. Hal ini dilakukan dengan mendorong munculnya gerakan sosial untuk terlibat aktif dalam perumusan kebijakan dan pengelolaan anggaran pendidikan. Di tingkat pusat, kebijakan nasional pendidikan serta APBN pendidikan pantas mendapat fokus pengawasan. Begitu juga di daerah, pengelolaan dana pendidikan di tingkat dinas dan sekolah senantiasa diawasi. Tanpa perubahan ini, kebocoran anggaran pendidikan mustahil ditekan. Warga negara semakin jauh dari hak pendidikannya.
Febri Hendri AA Peneliti Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW)
Tulisan ini disalin dari Kompas, 24 September 2009